I D E O L O G I
1.
Makna dan fungsi
Ideologi
Secara etimologis ideologi yang
dibentuk dari idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logoi,
logos artinya pengetahuan. Dengan demikian ideologi bererti ilmu pengetahuan
tentang ide-ide, tentang keyakinan atau tentang gagasan. Orang yang pertama
kali menggunakan istilah ideologi adalah Antoine Destutt, seorang filosuf
Perancis, yang hidup semasa Revolusi Perancis.
Sesungguhnya istilah ideologi itu
sendiri bersifat netral, tidak memihak kamanapun. Ia dapat digunakan oleh siapa
saja, apakah oleh kaum kapitalis, kaum nasionalis atau kaum komunis, dan oleh
lainnya. Ideologi hakekatnya menggambarkan tentang suatu tatanan kehidupan
politik yang diyakininya sebagai yang paling ideal, disertai dengan cara-cara,
program dan strategi untuk mewujudkan dan memperjuangkannya.
Carl J. Friederich mendifinisikan ideologi
sebagai “suatu sistem pemikiran yang dikaitkan dengan tindakan. Ideologi secara
khas mengandung suatu program dan
strategi untuk mewujudkan ajarannya, dan fungsi utamanya adalah
untuk mempersatukan organisasi-organisasi yang dibangun berdasarkannya”.
Surjanto Poespowardojo mendefinisikan ideologi sebagai “suatu kompleks
pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan manjadi landasan bagi
seseorang/masyarakat untuk memahami jagad raya atau bumi seisinya serta
menentukan sikap dasar untuk mengolahnya”. Sedang Sastra Pratedja membatasinya
secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologi adalah “seperangkat gagasan
atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi
suatu sistem yang teratur” (Sastrapratedja dalam “Pancasila sebagai Ideologi
Negara, BP 7 Pusat: 142).
Dilihat dari peranan atau fungsi yang
diperankannya sebenarnya ideologi tidak lebih dari suatu instrumental, adalah
alat penjelas yang kaku dan ketat, yang dibutuhkan guna mengarahkan pikiran dan
tindakan secara efisien. Ideologi menjadi instrumen yang menggantikan nalar dan
daya pikir para pendukungnya.
2.
Unsur Ideologi
Setiap ideologi, apapun namanya di
dalamya pasti mengandung unsur-unsur yang sangat prinsip. Menurut Sastra
Pratedja unsur-unsur tersebut adalah pertama, adanya suatu penafsiran
(interprestasi) terhadap kenyataan/realitas. Kedua setiap ideologi memuat
seperangkat nilai atau suatu preskripsi (ketentuan) moral. Hal ini berarti
bahwa setiap ideologi secara implisit memuat penolakan terhadap sistem etika lainnya.
Ketiga, Ideologi memuat suatu orientasi pada tindakan. Ideologi merupakan suatu
pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya. Lain
halnya Kunto Wibisono yang mengemukakan bahwa setiap ideologi memuat tiga unsur
yang sangat menonjol, yaitu pertama, adanya keyakinan; yakni ada
gagasan-gagasan vital yang diyakini akan kebenarannya. Kedua, mitos; ada
sesuatu yang dimitoskan secara optimik dan diterministik pasti akan menjamin
tercapainya tujuan. Ketiga, Loyalitas; yakni menuntut adanya keterlibatan
secara optimal dari para pendukungnya.
Sementara itu ada pula pandapat yang
menyatakan bahwa dalam suatu ideologi ada beberapa hal yang akan
dipersonifikasikan dan disakralkan, mempunyai pahlawan (bapak pendiri,
penafsir, pemimpin kharismatis, dan martir), memiliki dokumen-dokumen suci
(manifesto, deklarasi, konstitusi), memiliki ritus-ritus sendiri (janji,
sumpah, hymne, mars, salam, dan hari-hari suci)
Dengan memperhatikan beberapa
definisi di atas dapat dinyatakan bahwa unsur y ang paling pokok dalam ideologi
adalah:
a.
Adanya suatu realitas hidup
yang diyakini sepenuhnya
b.
Andanya tujuan hidup yang
dicita-citakan
c.
Andanya cara atau program aksi
guna mewujudkan terealisasinya tujuan hidup yang dicita-citakan
3.
Peranan Ideologi
Ideologi merupakan suatu kepercayaan
yang dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses memelihara
integritas pendukungnya. Dan kalau ia merupakan ideologi negara ia akan memainkan
peranan yang cukukp penting untuk memelihara integritas nasional. Namun
demikian suatu ideologi benar-benar dapat berfungsi demikian tergantung dari
kualitas yang ada pada dirinya, yang dapat diukur melalui tiga dimensi, yaitu
dimensi idealisme, dimensi realitasm dan dimensi fleksibilitas
a)
Dimensi Realitas, dimensi ini mencerminkan kemampuan ideologi untuk mengagregasikan
serta mengadaptasikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Ideologi mencerminkan citra bahwa dirinya sama dan sebangun (identik) dengan
realitas yang ada dalam masyarakat.
b)
Dimensi Idealisme, yaitu bahwa kadar atau
kualitas idealisme yang tekandung di dalamnya mampu menggugah harapan,
optimisme dan motivasi bagi para pendukungnya hingga gagasan-gagasan pokok (vital)
yang terkandung di dalamnya benar-benar diyakini pasti diwujudkan dalam
kenyataan.
c)
Dimensi Fleksibalitas, dimensi ini mencerminkan kemampuan suatu idiologi dalam mempengaruhi
dan sekaligus menyesuaiakan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya.
Mempengaruhi berarti ikut mewarnai
proses perkembangan masyarakat. Sedang menyesuaikan diri berarti bahwa
masyarakat berhasil menemukan interprestasi- interprestasi (penafsiran) baru
terhadap nilai-nilai dasar dari ideologi tersebut sesuai dengan realita-realita
baru yang muncul selalu relevan sebagai idealisme yang wajar. (Alfian, 1978 :
108 – 116)
Melalui ketiga dimensi ini akan dapat
diteliti apakah suatu ideologi memiliki kemampuian untuk memelihara
relevansinya, yaitu titik keseimbangan sebagai tempat bertemunya konsensus
antara berbagai kelompok/atau dimilikinya. Dan bagi suatu negara manakala titik
keseimbangan tersebut hilang akan dapat mengancam integritas nasional.
1.
Dua Macam Tipologi
Ideologi
Secara garis besarnya ada dua macam
tipologi ideologi, yaitu:
a.
Ideologi tertutup
b.
Ideologi terbuka
a)
Kunto Wibisono menjelaskan
bahwa salah satu unsur ideologi yang sangat menonjol adalah perlunya loyalitas
atau kesetiaan gai setiap anggota pendukung suatu ideologi. Namun harus diingat
bahwa kalau dalam menanamkan jiwa ideologi itu terlalu kelewat batas akan
melahirkan sikap ‘taqlid buta’. Dan hal itu akan lebih diperparah lagi kalau
dalam diri ideologi itu sendiri merupakan ideologi yang menutup diri
rapat-rapat dari berbagai interprestasi baru utnuk disesuaikan dengan tuntutan
zaman. Sastrapratedja menjelaskan bahwa “salah satu kecenderungan ideologi
adalah melebih-lebihkan sudut pandangnya dan kerapkali kebenaran, sehingga
pemahaman mengenai kenyataan mengalami ditorsi” (Sastrapratedja, Ibid.). Van
Peursen mengingatkan bahwa hakekatnya ideologi itu tidak lain dari sarana
manusia untuk memahami dunianya, mamahami dan menafsirkan kebudayaannya sendiri
dan kebudayaan bangsa lain. Oleh karena itu kalau ada sikap ketertutupan maka
ideologi itu akan kehilangan fungsinya sebagai pembimbing kelakuan manusia
(lihat Pancasial, dalam tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofi –
Mustafa Kamal dkk: 101 – 102).
b)
Ideologi terbuka yaitu ideologi
yang pada dirinya memiliki unsur flesiblilitas. Unsur ini mencerminkan adanya
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat.
2.
Beberapa Ideologi Besar
Pada dasarnya beberapa ideologi besar yang
akan diuraikan berikut adalah berangkat dari pemahaman mereka terhadap hakekat
sifat manusia sebagai mahluk individu maka akan melahirkan faham hidup:
Individualisme. Sebaliknya kalau hanya dilihat dari sifatnya sebagai mahluk
sosial maka akan melahirkan faham hidup: Sosialisme.
A. INDIVIDUALISME
Dunia Eropa selama berabad-abad
lamanya dikungkung oleh faham Universalisme, suatu pandangan hidup yang
membelenggu kebebasan berfikir dan berpendapat. Faham yang dikembangkan dari
faham Teokrasi ini mengajarkan bahwa manusia adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari dunia Kristen. Sebaliknya terhadap dunia, manusia mempunyai
arti tersendiri sebagai mahluk yang berpribadi dan bebas mandiri.
Dalam ajaran Individualisme liberal,
seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara
dikembangkan prinsip ‘free figt competation’ secara bertanggungjawab,
demi tetap eksis dan survivernya setiap individu (struggle for life and
survival of the fittest) Dan khususnya dalam manifestasi ekonominya, faham Liberalisme mengakui terhadap
hak-hak individu untuk melakukan aktifitas ekonomi yang bebas dan pertukaran
berdasarkan kepemilikian pribadi dan pasar.
Secara garis besarnya dalam ideologi Liberalisme
beberapa prinsip yang dikembangkan, yaitu:
a.
Penjaminan akan hak milik
seseorang; hak milik privat merupakan elemen paling penting dari ideologi
lIBERALISME. Dalam faham ini pemilikan sepenuhnya berada pada pribadi
masing-masing, dan dalam faham ini tidak berlaku istilah “hak milik berfungsi
sosial”. Faham Liberalisme manjamin sepenuhnya bahwa setiap orang mempunyai hak
sepenuhnya untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perjanjian dengan fihak
lain atas barang-barang ekonomi.
b.
Mementingkan diri sendiri (self
intterest); prinsip ini mengandung arti membiarkan kepada setiap orang
untuk melakukan berbagai aktifitas untuk kepentingannya sendiri. Aktifitas
untuk tujuan mementingkan diri sendiri diyakini tidak akan membawa kekacauan,
bahkan sebaliknya akan membawa kepada kemakmuran bersama.
c.
Pemberian kebebasan penuh;
prinsip ini menegaskan bahwa individu merupakan hal yang primer, sedangkan
lembaga, masyarakat dan negara adalah hal yang sekunder. Bila setiap orang
secara individu mendapatkan kepuasan, maka masyarakat akan mendapatkan
kemakmuran yang sebesar-besarnya, atauy yang disebut dengan keselarasan
kepentingan (harmony of intterest)
d.
Persaingan Bebas (free
competition)
(Hudiyanto, Keluar dari Ayun
Pendulum Kapitalisme – Sosialisme, PPE UMY: 21 – 24)
Berpangkal dari beberapa prinsip ini
sangat wajar sekali kalau pada akhirnya akan lahir kelompok pemilik modal besar
yang dapat memenangkan perkelahian. Kelompok inilah yang akan menentukan
segala-galanya, seperti kelompok ‘Wall Street’, yaitu kelompok Yahudi
Amerika yang memiliki lobi yang sangat kuat sekali terhadap pemerintah Amerika
Serikat yang dimulai sejak perang saudara sampai pada hari ini. Sementara
kelompok yang terkalahkan dalam perkelahian akan menjadi kelompok marginal,
kelompok yang terpinggirkan, yang sekalipun merupakan kelompok yang terbesar
namun tidak memiliki kekuatan yang siknifikan untuk menentukan kebijakan
pemerintahannya.
KRITIK TERHADAP IDEOLOGI INDIVIDUALISME LIBERAL
Kebebasan perseorangan yang merupakan
inti dari ajaran Individualisme Liberal ini dalam pelaksanaanya justru
menimbulkan kenyataan-kenyataan yang mengingkari asas-asas ajarannya sendiri,
yaitu asas persamaan manusia. Bahkan sebaliknya justru menimbulkan
ketidakadilan, yang di dalam pertumbuhan selanjutnya mengakibatkan muculnya
berbagai macam bentuk tindakan yang tidak manusiawi, seperti imperialisme dan
kolonialisme, baik gaya lama maupun gaya baru.
Cita-cita kebebasan individu yang
secara ‘an-sich’ memang ideal, namun ternyata dalam perkembangan pelaksanaannya
menimbulkan ekses-ekses yang mematikan asas yang sama bagi manusia atau bangsa
lain. Pelaksanaan asas persamaan individu ternyata hanya membawa segi yang
positif di lapangan politik semata, sementara, dalam lapangan sosial ekonomi
justru mengandung segi-segi negatif sebagaimana yang digambarkan di atas. (Roeslan
Abdulgani. Resapkan dan Amalkan Pancasila. 62)
Carol C. Gould menyebutkan ada dua
kritik terhadap individualis liberal, pertama, konsepnya tentang manusia
sebagai individu yang asosial dan egois, yang motivasi utamanya dalam bertindak adalah pemenuhan
kepentingan sendiri…Ideologi ini telah gagal menangkap sifaf sosial kegiatan
manusia, atau bahkan melegitimasi model-model perilaku yang anti sosial dan
keakuan – sesuatu yang tidak dapat diterima secara moral. Kedua, ideologi ini
mendukung dan membenarkan terhadap ketimpangan sosial ekonomi, dengan
melindungi hak untuk menumpuk kekayaan pribadi secara tak terbatas tanpa
memperhatikan akibat sosialnya. (C. Goudl, Demokrasi Ditinjau Kembali: 4).
B.
SOSIALIME
Robert Owen (1771 – 1858, Inggris)
seorang kapitalis kaya yang ‘self made’ dan berhasil, yang oleh umum dianggap
sebagai pendiri sosialisme. Inggris, adalah orang yang pertama kali menggunakan
istilah “SOSIALISME”. Tokoh sosialisme lainnya antara lain seperti Sir Thomas
More dari Inggris, Andreae dan Campanella dari Italiam, Saint Simon, Fourier,
Louis Blanc dan Proudhon dari Perancis, Albert Brisbane dan Horace Greeley dari
USA.
Dalam pemikiran Robert Owen pertalian
diantara demokrasi dan sosialisme adalah unsur satu-satunya yang paling penting
dalam pemikiran dan politik sosialis. Dalam lintasan sejarah akan terlihat
bahwa gerakan-gerakan sosial yang berhasil telah tumbuh hanya di negara-negara
yang mempunyai tradisi demokrasi yang kuat. Sebab dari kesejajaran ini adalah
sederhana sekali. Dimana-pun pemerintahan yang demokratis dan konstitusional
pada umumnya diterima, kaum sosialis dapat memusatkan perhatian pada program
mereka yang khusus, biarpun program itu kelihatannya terlalu luas, yakni:
menciptakan kesempatan yang lebih banyak bagi kelas-kelas yang berkedudukan
rendah.
Dalam menuju tata kehidupan yang
bersifsat sosialistis, kaum sosialis bersepakat bahwa semua itu tidak harus
dilalui secara revolusioner, dengan cara merebut kekuasaan lewat revolusi,
dengan menggunakan kekerasan, akan tetapi harus tetap berjalan secara wajar dan
tetap berpegang teguh pada cara-cara konstitusional. Mereka mencari kekuasaan
lewat pemilihan umum bukan dengan peluru, bukan dengan jalan revolusi.
Beatrice Webb menegaskan dalam buku
“Fabion Esseys” bahwa kehidupan sosialis hanya dapat terlaksana setapak demi
setapak dengan disertai empat syarat, yaitu:
a.
perubahan harus dilalui secara
demokratis, dapat diterima oleh mayoritas rakyat
b.
harus terlaksana secara
berangsur-angsur (evolutif), dan tidak menimbulkan dislokasi
c.
harus jaga jangan sampai
dianggap melanggar kesusilaan oleh rakyat
d.
harus dilalui secara
konstitusional dan bersifat damai (Idem:194)
C.
MARXISME-LENINISME-KOMUNISME
Ideologi Marxisme-Leninisme termasuk
salah satu varian dalam rumpun ideologi Sosialisme.
Ideologi Marxisme-Leninisme berasal
dari ajaran Heinrich Karl Marx (1813-1883, Jerman). Tokoh ini berasal dari
keluarga Yahudi yang sudah berganti agama menjadi Kristen Protestan. Ajaran
Marxisme-Leninisme dibangun atas dasar pemikiran Karl Marx dan Friederich
Engelsyang dikembangkan lebih jauh oleh W.E. Lenin.
Karl Marx menanamkan sosialisme yang
dikembangkan oleh Robert dan kawan-kawannya dengan istilah sosialisme utopis,
suatu sosialisme yang lahir karena merasa iba terhadap nasib orang-orang yang
dilapisan bawah, seperti kaum buruh dan kaum pengangguran. Ide mereka ini
muncul semata-mata karena terdorong oleh rasa kemanusiaan tanpa disertai
tindakan-tindakan maupun konsepsi yang nyata mengenai tujuan dan strategi dari
perbaikan yang mereka gagaskan. Sementara sosialisme yang dikembangkan (Karl
Marx) diklaimnya sebagai sosialisme ilmiah (scientific socialism), yaitu
sosialisme yang bukan lagi sebagai sebuah tuntutan etis, melainkan sebagai
hasil ilmu pengetahuan tentang hukum perkembangan masyarakat.
Unsur-Unsur Ajaran Marxisme
Ajaran Marxisme terdiri dari tiga
unsur, dan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Artinya bahwa tidak mungkin memahami Historis Materialisme yang dikembangkan oleh Karl Marx tanpa
memahami terlebih dahulu filsafat Dialektika Materialisme yang dikembangkan
olehnya. Adapun ketiga unsur tersebut ialah:
a.
Filsafat Dialektika, yaitu
filsafat yang diambil dari ajaran Hegel (1770-1831), tetapi telah dirubahnya
menjadi Dialektika Materialisme. Selanjutnya dari Dialektika Materialisme ini
timbullah Historis Materialisme.
b.
Historis Materialisme, yaitu
faham materialisme yang digunakan untuk memahami sejarah. Dan diantara bagian
yang terpenting adalah teori tentang nilai lebih (surplus value)
c.
Teori tentang Negara dan
Revolusi
Ajaran ini juga memberikan
petunjuk-petunjuk dalam mengorganisir dan menggerakkan rakyat yang lapar,
terhina dan tertindas, disertai juga dengan petunjuk-petunjuk mengenai aksi politik
(Roeslan Abdulgani, Sosialisme Indonesia: 15)
a)
Filsafat Materilisme
Dialektis
Dialektika
Ajaran yang digunakan dalam teorinya
Karl Marx berasal dari filsafat Hegel. Marx mengambil dua unsur dari ajaran
Hegel, yaitu gagasan mengenai terjadinya pertentangan antara segi-segi yang
berlawanan, dan kedua, gagasan bahwa semua berkembang terus. Kalau pada teori
Hegel pertentangan yanga berlangsung terus-menerus terjadi dalam dunia
abstrak/ide, atau yang ada di alam fikiran manusia, Marx memindahkannya hukum
dialektika tersebut dalam dunia kebendaan (materi). Oleh karena itu ia
menamakan gagasannya dengan istilah MATERIALISME (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik: 80). Berangkat dari pemikiran inilah ajaran Karl Marx
dinamakan Materialisme Dialektika.
Adapun unsur-unsur dari dialektika
adalah: tesis, antitesis dan sintetis. Tesis merupakan suatu keadaan yang
tertentu, dan antitesis merupakan suatu tantangan terhadap tesis yang
merombaknya. Kemudian dari pertentangan antara tesis dengan antitesis akan timbul
suatu keadaan baru sebagai hasil dari adu kekuatan, yang dinamakan sintetis.
Akan tetapi pada saat sintetis itu muncul, ia telah menjadi tesis baru karena
berhadapan dengan tantangan baru dan begitu seterusnya. Mark memberi contoh
untuk tesis, antitesis dan sintetis ini apa yang terjadi dalam masyarakat,
yaitu Feodalisme, Kapitalisme, dan kemudian menjadi Sosialisme (M. Rasyidi, Islam
Menentang Komunisme, 12)
Filsafat Materialisme
Filsafat Materialisme Adalah salah
satu aliran dalam filsafat Metafisika. Faham ini merupakan suatu bentuk
realisme, karena ia telah menumbuhkan yang nyata dengan materi. Tanpa
mengecualikan sesuatu, seseorang penganut materialisme menganggap bahwa materi
ialah satu-satunya hal yang nyata. Materi ialah hal yang terdalam dan bereksistensi
atas kekuatan sendiri, dan tidak memerlukan suatu prinsip yang lain untuk
menerangkan eksistensinya sendiri. Materi itu sendiri merupakan sumber serta
keterangan terdalam bagi bereksistensinya segala sesuatu yang ada, bahkan juga
bagi adanya jiwa manusia. (Kattsoff, Pengantar Filsafat, 1986: 123 –
124). Dengan demikian aliran ini berusaha menjalankan manusia menjadi
proses-proses badaniyah atau dari aspek kebendaan semata-mata. Mereka berkeyakinan
bahwa satu-satunya ’realitas’, ‘ada’, ‘boeing’, atau ‘ontos’ dalam hidup ini
adalah materi, benda. Di luar benda sama sekali tidak ada sesuatu apapun. Dari
pangkal keyakinan seperti ini filsafat Materialisme mengajarkan bahwa apa yang
namanya jiwa/roh, akherat, surga neraka, sampai-pun Tuhan, karena semuanya
bukan materi maka mereka secara apriori menolak eksistensi atau keberadaanya.
Tegasnya, kata Feuerbach bahwa “di balik badan manusia itu tidak berada mahluk
yang lain lagi, yang misterius, yaitu jiwa. Seperti juga dibalik alam tidak ada
suatu Tuhan” (vab Peursen, Badan Jiwa-Roh: 59)
Kaum Materialis menyangkal adanya
jiwa atau roh, (roh) ini mereka anggap sebagai pancaran dari materi (van
Peursen, Orientasi di alam Filsafat, 1980, 158). La Metrie dalam bukunya
“L’Homme machine” atau manusia adalah mesin menyatakan bahwa badan dan jiwa
manusia itu tersusun sebagai suatu mesin yang banyak seluk beluknya dan yang
dapat diselidiki seteliti-telitinya oleh ahli ilmu alam. Bahwa materi itu
mempunyai sifat pandai bergerak, pandai, mengindera, pandai berfikir. Jacob
Moleschortt (1822-1893) terkenal sekali dengan ucapannya “Ohne Fosfor keine
Gedanke”, kalau tidak ada fosfor tidak akan ada pikiran manusia (ST
Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat Metafisika, 32-33)
b)
Materialisme Historis
Historical Materialsasm artinya
Materialisme dalam memahami sejarah. Menurut Thomas Carlyle dalam bukunya
“Heroes and hero-worship” yang namanya sejarah adalah hanya beisi sejarah dari
orang-orang besar , “The history of the world is but the biography
of greatmen”. Lain halnya dengan
faham Historis Materialisme yang dikembangkan oleh Marx, di mana dalam
“Manifesto Komunis” secara tegas dinyatakan bahwa “The history of all
bithero existing society is the class struggles”. Sejarah dan semua
masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan khas.
Lebih jauh Marxisme mengajarkan bahwa
kehidupan masyarakat ditentukan oleh bidang ekonomi; bahwa negara dan ideologi
hanyalah bangunan atas (upper-structure); bahwa bidang ekonomi
ditentukan oleh pertentangan antara kelas pemilik dan klas pekerja; bahwa
dinamika perkembangan perkembangan
ekonomi bersama dengan perjuangan klas niscaya bermuara dalam revolusi yang
menciptakan masyarakat yang struktur kekuasaan dan perekonomiannya lebih
tinggi; bahwa pertentangan itu akan diradikalkan dalam sistem kapitalis; bahwa
oleh karena itu kapitalis itu sendiri akan melahirkan kehancurannya dalam
revolusi sosial; bahwa revolusi sosialis akhirnya akan berhasil menciptakan
klas; jadi tanpa bangunan atas, tanpa penghisapan, di mana “pra sejarah umat
manusia berakhir” dan “Kerajaan Kebabasan” didirikan, demikian ditegaskan oleh
Engels (Mudji Sutrisno: 136)
Dengan singkat, Karl Marx dengan
historis materialismenya ingin menegaskan bahwa unsur pokok penggerak sejarah
adalah tenaga produktifitas manusia, berdasarkan dorongan-dorongan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan kebendaan-ekonominya.
Teori Nilai Lebih (Surplus-Value)
Teori nilai lebih, Surplus value,
Meerwaarde (Bld), Mehrwert (Jrm) merupakan pelengkap dari teori historia
materialisme Karl Marx, di mana Marx dengan tajamnya menyoroti adanya nilai
lebih dalam masyarakat Kapitalis. Teori Nilai lebih ini oleh Lenin disebutnya
sebagai batu sudut (corner stone) doktrin ekonominya Karl Marx.
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme fungsi tenaga buruh dianggap sebagai barang
dagangan, yang disejajarkan dengan faktor-faktor produksi lainnya, seperti
faktor modal tetap (seperti gedung, mesin industri), modal lancar (seperti
benang tenun dalam industri sandang) dsb. Tenaga kerja buruh itu adalah barang
dagangan yang dijualnya kepada pemilik modal.
c)
Negara Dan Revolusi
Unsur ketiga dalam ajaran Marxisme
adalah teori tentang Negara dan Revolusi. Dalam Manifesto Komunisme dikatakan
bahwa negara merupakan lembaga ekskutif dari kaum borjuis. Engels berkata “The
state is nothing more than a machine for apression of one class by another”
Karl Marx dan Engels bersepakat bahwa negara ini suatu kejahatan (evil), karena
negara adalah akibat dari adanya klas. Dalam masyarakat yang tidak berklas
sebagaimana yang dicita-citakan oleh komunis dengan sendirinya negara itu tidak
ada.
Kegiatan Komunis, demikian pendapat
Lenin, harus dilakukan dengan dua jalan. Pertakma, kaum pekerja harus membentuk
organisasi-organisasi buruh dengan tujuan ekonomi sebagai pokok aktifitasnya,
yang bekerja secara terbuka, sah, dan sedapat mungkin secara umum. Berdampingan
dengan organisasi-organisasi semacam itu, harus ada kumpulan-kumpulan kecil
kaum revolusioner profesional, yang diatur menurut organisasi-organisasi
tentara dan polisi, yang paling
terpilih, dan seluruhnya dirahasiakan…Lenin terutama mengajarkan agar
kaum revolusioner provesional merembes dan membentuk sel-sel dalam semua
badan-badan sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi masyarakat, baik
badan-badan tersebut berupa sekolah-sekolah, gereja-gereja, serikat-serikat
buruh, maupun partai-partai politik. Terutama sekali Lenin menganjurkan agar
kaum revolusioner profesional merembes ke dalam angkatan perang, polisi dan
pemerintahan. Lenin juga mengajarkan agar kaum komunis hendaknya melakukan
kegiatan di bawah tanah. Ia menganjurkan kapada kaum aktivis komunis untuk
bekerja melalui organisasi-organisasi front, senantiasa mengubah nama dan
petugas-petugas organisasi, tetapi selalu mengingat tujuan terakhir: PEREBUTAN
KEKUASAAN SECARA REVOLUSIONER.
KRITIK TERHADAP IDEOLOGI MARXISME-LENINISME
Kritik terhadap filsafat
Materialisme
Filsafat Materialisme yang
dikembangkan oleh Karl-Mark adalah filsafat yang mengingkari terhadap hal yang
bersifat non materi, termasuk juga tidak mempercayai adanya Tuhan. Abu Hanifah
menjelaskan faham Materialisme sebagai suatu aliran pikiran yang mengutamakan
benda (materi) dan membelakangi batin, dan dengan sendirinya segala keadaan
batin, jiwa, dan yang bersangkutan dengan itu menurut Materialisme berasal dari
benda-benda (Abu Hanifah, Rintisan Filsafah: 72). Materialisme
mengatakan, bahwa pada akhirnya, pada dasarnya, atau pada prinsipnya, pada
instansi yang terakhir, manusia itu hanya barang material, atau dengan kata
lain hanya materi, tidak lain dari materi, betul-betul hanya materi, lain
tidak. Menurut bentuknya dia memang lebih unggul. Akan tetapi hakekatnya sama
saja. Manusia hanyalah resultante atau akibat dari proses unsur-unsur kimia
(Driyarkara, 1966: 58). Kaum Materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh. Jiwa
atau roh ini mereka anggap sebagai pancaran dari materi “(van Peursen, Orientasi
di Alam Filsafat: 158)
D.
SOSIAL DEMOKRASI
Ideologi Sosial Demokrasi yang pada
hakekatnya merupakan ideologi sosialisme dengan menggunakan baju baru. Sosial
Demokrasi ini merupakan ideologi yang kini banyak diterapkan di negara-negara
Eropa.
Di negara-negara Eropa, 13 dan 15
pemerintahannya saat ini beraliran sosialisme atau sosial demokrasi, termasuk
tiga negara utama: Inggris (Tony Blair), Perancis (Liones Jospin) dan Jerman
(Gerhard Scrhoeder). Ideologi ini bertujuan membuat demokrasi lebih nyata
dengan jalan memperluas pemakaian prinsip-prinsip demokrasi dari lapangan
politik ke lapangan bukan politik dari masyarakat (William Ebenstein: 179)
Secara demokrasi mendasarkan
ideologinya pada pikiran-pikiran Karl Marx. Namun demikian mereka bukannya
termasuk pengikur yang bertaqlid buta, yaitu menerima begitu saja apapun yang
diajarkannya, melainkan termasuk penganut faham Marxisme yang kritis. Mereka
bukan pengikut Marxisme ortodoks, bukan pengikut Marx yang ditafsirkan Lenin,
yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Stalin dan Mao. Mereka menolak
konsep yang dikembangkan oleh Lenin, Stalin dan Mao, antra lain:
1.
konsep perjuangan revolusioner
bersenjata selalu memakan korban yang tak terhingga nilainya;
2.
konsep demokrasi sentralisme di
mana segala kebijakan ditentukan oleh pimpinan dan rakyat hanya boleh
berdemokrasi pada tingkat pelaksanaanya;
3.
konsep partai pelopor yang
disusun dengan disiplin dan struktur militer yang menghasilkan klas baru yang
amat kejam;
4.
konsep diktator ploretariat
yang pada hakekat dan kenyataannya adalah diktator yang sebenar-benarnya
5.
konsep penghapusan hak milik
sebagai hal yang tidak manusiawil; dan
6.
konsep tentang sistem kapitalis
negara sebagai hal yang sangat tidak realistis.
E.
SOSIALISME RELIGIUS
Dalam prakteknya ada sekian banyak varian sosialisme, namun
kalau kemudian dilihat dari flsafah yang melatarbelakanginya secara garis
besarnya faham sosialisme ini dapat dibedakan menjadi dua, pertama sosialisme
yang besifat sekuler, dan inipun masih dapat dibedakan lagi menjadi dua macam
sosialisme, pertama, sosialisme Marxian dan sosialisme non Marxian. Kedua,
sosialisme yang bersifat religius, yaitu sosialisme yang mendasarkan dirinya
pada revelasi (a Genesis Theory). Secara garis besarnya sosial religius inipun
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sosialisme non Islam dan sosialisme
Islam, yaitu sosialisme yang mendasarkan diri pada ajaran-ajaran al-Qur’an.
Tokoh Islam di Indonesia yang pertama
kali menggagaskan ide sosialisme Islam adalah HOS Tjokroaminoto. Tokoh ini oleh
Bung Karno disebut-sebut sebagai guru para aktifis pergerakan kemerdekaan,
rumahnya disebutnya sebagai dapur nasionalisme Indonesia, karena dari pengakuan
HOS Tjokroaminoto bermunculan generasi pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdekaan
berikutnya; bukan saja yang nasionalis seperti Soekarno, tapi juga tokoh
komunis (PKI) seperti Semaoen dari SI cabang Semarang dan tokoh Islam
fundamentalis (DI/TII) Sekarmadji Maridjan Kartosuwiro (Muhidin M. Dahlan: 111)
F.
PANCASILA
Dalam suatu kesempatan sewaktu Bung
Karno menjelaskan Pancasila dikatakan bahwa ideologi Pancasila merupaka
sublimasi dari ‘Declaration of Independence’ Amerika Serikat dengan ‘Menisfesto
Komunisme’ atau ‘Hat Communitisch Manifest’ Karl Marx dan Engel.
Sebagaimana diketahui bahwa kalau
dalam ‘Declaration of Independence’ orientasinya lebih ditekankan pada
hakekat manusia sebagai mahluk individu yang bebas merdeka, tidak ada
seorangpun yang berhak mencampuri urusan pribadinya. Manusia adalah pribadi
yang memiliki harkat dan martabat yang sangat luhur lagi mulia. Dalam ‘Menisfesto
Komunisme’ orientasinya sangat menekankan pada hakekat manusia sebagai
mahluk sosial semata. Dalam faham ini manusia selaku mahluk pribadi, yang
memiliki hak-hak dasar sama sekali tidak dihargai. Pribadi dikorbankan demi
untuk kepentingan negara.
Di dalam ideologi Pancasila hakekat
sifat manusia sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial
diletakkan secara seimbang (well balance). Bung Karno dalam menerangkan
tentang seimbangnya antara kedua hakekat sifat tersebut digambarkan dengan
ungkapan “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup
dalam taman sarinya Internasionalisme” (Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD
1945: 74). Perpaduan secara harmonis antara hakekat sifat manusia sebagai
mahluk sosial sekaligus juga sebagai
mahluk individu dalam ideologi Pancasila diformulasikan dalam sila kedua dan
ketiga. Dan untuk menjaga agar hidup berkesinambungan tersebut terjaga dengan
baik maka ia harus dilandasi dengan moral dan etika yang kokoh, yang bersumber
pada ajaran agama.
Ideologi Pancasila adalah Ideologi Terbuka
Dari uraian di atas terlihat bahwa
Ideologi Pancasila adalah ideologi yang memiliki dimensi realitas, karena
nilai-nilai yang ada di dalamnya diambil dari nilai-nilai dasar yang hidup
ditengah-tengah masyarakat pendukungnya, baik dari nilai-nilai budaya bangsa
maupun nilai-nilai agama. Demikian pula ia memiliki dimensi idealisme, karena
ia memberikan harapan dari optimisme untuk mewujudkan tujuan yang
dicita-citakannya. Dan terakhir agar supaya ideologi Pancasila jangan sampai
menjadi sebuah ideologi yang tertutup, suatu ideologi yang sama sekali tidak
mau menerima interprestasi- interprestasi baru, sekalipun zaman dan masyarakat
sudah berubah dan berkembang jauh ke depan, maka ideologi Pancassila harus
memiliki dimensi fleksibilitas, yaitu menjadi ideologi yang terbuka
terhadap penafsiran-penafsiran baru
karena tuntunan masyarakat. Dan bagi bangsa Indonesia sampai kapanpun harus
dengan jujur, obyektif dalam mencermati sejarah terbentuknya ideologi Pancasila
sebagaimana di atas ketika akan menginterprestasikannya dalam menghadapi
perkembangan dan tuntunan masyarakat.