Selasa, 11 Februari 2014

Biografi Soeharto



SOEHARTO

Jenderal Besar Purnawirawan Soeharto, atau Suharto ( EYD ), atau juga dikenal sebagai Haji Muhammad Soeharto adalah Presiden Indonesia yang kedua setelah Seokarno. Ia berkuasa selama 31 tahun ( 21 Maret 1967 – 21 Mei 1998 ) dan menamakan eranya sendiri sebagai Orde Baru, untuk membedakan dengan era sebelumnya yang disebut Orde Lama.

Soeharto pertama naik ke kekuasaan pada tanggal 12 Maret 1967 sebagai Pejabat Sementara Presiden dan dipilih sebagai Presiden pada tanggal 21 Maret 1967 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ( MPRS ). Ia dipilih kembali menjadi Presiden RI oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Kekuasaannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, menyusul demo besar-besaran menuntut reformasi dan berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang dinilai sebagi rezim otoritarian, ditandai dengan terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR RI oleh ribuan mahasiswa.

Biodata

Kelamin :
Laki-laki

Tempat/Tanggal lahir :
Kemusuk, Yogyakarta, 08 Juni 1921

Agama :
Islam

Alamat Lengkap :
Jl. Cendana No. 08
Menteng
Jakarta Pusat
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
Indonesia

Isteri :
Siti Hartinah ( Tien )

Anak :
  1. Siti Hardijanti Rukmana ( Tutut )
  2. Sigit Harjojudanto
  3. Bambang Trihatmodjo
  4. Siti Hediati Hariyadi ( Titiek )
  5. Hutomo Mandala Putra ( Tommy )
  6. Siti Hutami Endang Adiningsih ( Mamiek )

Riwayat Hidup

Latar Belakang

Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan batalion didalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA ( Pembela tanah Air ).
Setelah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno pada tahun 1945, pasukannya bentrok dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali hukum kolonialisme. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan seragam tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada tanggal 01 Maret 1949 ( lihat serangan Umum 01 Maret ) hanya dalam satu hari. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas sebenarnya dalam serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.

Di tahun berikutnya dia bekerjan sebagai pejabat militer di divisi Diponegoro Jawa Tengah. Pada tahun 1959 dia dituduh terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Namun atas saran Jenderal Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan komando Angkatan Darat ( SESKOAD ) di Bandung Jawa Barat, meskipun menurut koleganya di SESKOAD, Kolonel Hario Kecik yang akhirnya menjadi Pangdam Mulawarman, Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kolonel D.I. Panjaitan. Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di Makassar dibawah komando Kolonel Alex Kawilarang di mana Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kawilarang akibat keteledorannya sehingga huru-hara meletus kembali ketika Kawilarang melaporkan situasi Makassar yang dianggap aman kepada Presiden Soekarno di Jakarta.

Pada tahun 1961 dia mencapai pangkat Brigadir Jenderal dan memimpin Komando Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi Mayor Jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Seoharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat ( Kostrad ) hingga tahun 1965.

Pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom pada saat itu sehingga digambarkan pecah menjadi dua faksi, satu sayap kiri dan satu lagi sayap kanan, dengan Seoharto berada di bagian sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh Seoharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya kelak.

Naik ke Kekuasaan   

Pada pagi hari 01 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung Sutopo bersama pasukan lain menculikdan membunuh enam orang jenderal. Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagi Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan Kudeta adalah Mayor Jenderal Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan, apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G 30 S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan Kudeta militer yang didukung CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekusaan pada ” Hari ABRI ”, 05 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat  tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret ( Supersemar ) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Seoharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia ( PKI ) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G 30 S. Tindakan ini menurut pengamat internasioanal dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro- Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia dimana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro-Seokarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerhakan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsurkomunis ( PKI ) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500.000 ” tersangka komunis ”, kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoroitas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar ” operasi komunis ” Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di tahun 1990 bahwa : ” itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya., tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat ”. Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department’s Bureauof Intelligence and Research di tahun 1965 : ” Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka di bantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya ”. Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.

Jenderal Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden RI setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno ( NAWAKSARA ) ditolak MPRS pada tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.

Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jenderal Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen-Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ( Kopkamtib ) dan Badan Koordinasi IntelijenNasional ( Bakin ). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersiha massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut ” musuh negara ” dihukum mati ( meskipun beberapa hukuman ditunda samapi 1990 ).

Di duga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto ole CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam samapi invasi Timor Timur, dan terus berlangsung samapi akhitr tahun 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengunjungi Washington pada tahun 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah ” orang seperti kita ” orang golongan kita.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPRS. Pada tanggal 21 Maret dia resmi terpilh di masa lima tahun pertamanya sebagai Presiden. Dia secara langsung menunjuk 20 % anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.

Ekomomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonomi hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai “ mafia Berkeley “. Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai ruoiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagi asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.

Di bidang sosial politi, Soeharto menyerahkan kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan posisi dengan melemahkan kekuasaan partai politik dilakukan melalui fusi dalam soistem kepartaian.

Meredam Oposisi

Soeharto membangun dan memperluas konsep ” Jalan Tengah ”-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Murtopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada tahun 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK ( Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan ). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 Tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh ijin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatn pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tidak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.

Pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah menyekal mereka. Kelompok inipun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia banyak megangkat teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal       ( Amerika Serikat ) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada massanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor ( negara-negara maju ) yang tergabung dalam IGGI yang disponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasioanal lannya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO, dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect ( menetes ke bawah ) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan ( EKUIN ) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor internasional terutama paska krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukan dalam negara yang mendekati negara-negara industri baru bersama dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melekukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan ( PPP ), Golongan Karya ( Golkar ), dan Partai Demokrasi Indonesia( PDI ) dalam upanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik di masa Presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandegnya pembangunan. Kemudian dikeluarkannya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dimana muncullah istilah “ mayoritas tunggal “ diman Golkar dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain karena memang ketidakpuasan dari masyarakat.


Beberapa Catatan Atas Tindakan Represif Orde Baru

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang menggunakan tulisan Tionghoa tertulis diberbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.

Pada tahun 1970 Seoharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Seoharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tesebut. Korupsi kemudian menjadi endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Isalam.

Pada tahun 1973 dia memenangkan jangka lima tahun berikutnya melalui pemilihan “ electoral college “ dan juga terpilih kembali pada tahun 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Seoeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non Islam ( Katolik dan Protestan ) serta partai-partai nasioanlis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Pada tahun 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tindakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintah prointegrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi denagn Indonesia. Pada tanggal 15 Juli 1976 Timot Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada tahun 1999.

Korupsi menjadi beban berat pada tahun 1980-an. Pada tanggal 05 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah menyekal penandatangannya. Setelah pada tahun 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada tahun 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden Amerika Serikat Bill Clinton mendukungnya.

Pada tahun 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia ( PDI ), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996( peritiwa Sabtu Kelabu ) yang dikenal sebagai ” Peristiwa Kudatuli ” ( Kerusuhan 27 Juli ).

Soeharto Turun Takhta    

Pada tahun 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30 % dari dana pengembangan Indonesia telah disalah gunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.

Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998- 2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan Gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecdan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden RI B.J. Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya Era Soeharto




Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/soeharto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar