KANCIL DAN BUAYA
Kancil berjalan begitu enteng setelah
keberhasilannya menipu sang Kera. Sepanjang perjalanan ia tersenyum dan kadang
pula tertawa terbahak. Betapa bangga ia sederet kemenangan yang telah ia raih.
Pertama, ia bisa dengan puas menikmati timun pak tani wa;upun pada akhirnya
tertangkap juga. Setelah itu, dengan mulus ia berhasil mengelabui anjing lugu
milik pak tani dengan berbagai cerita bohongnya. Dan barusan ia berhasil menipu
sekaligus membuat Kera meringis menahan sakit karena telah menyakitinya.
Berbagai keberhasilan yang telah dicapainya merasuki otak Kancil dan mulai
menganggap dirinya sebagi yang terbaik diantara semua hewan. Seharusnya akulah
yang menjadi raja hutan, bukan Harimau, pikirnya. Ia terus larut dalam euforia
kemenangannya hingga tak terasa hari sudah sore.
Kerongkongan Kancil terasa kering
setelah hampir seharian berjalan menyusuri lebatnya hutan. Iapun terus berjalan
untuk mencari keberadaan sumber air yang paling dekat. Tak beberapa berjalan,
akhirnya ia menemukan sungai dan segera ia minum sepuas-puasnya. Setelah hilang
semua dahaganya ternyata hari telah beranjak malam. Ia memutuskan untuk
menginap disitu dengan pertimbangan tidak akan kesulitan mencari sumber air
pada keesokkan harinya. Kancil menyandarkan badannya pada sebuah pohon besar
sambil membayangkan bagaimana muka Kera setelah tersengat ribuan lebah. Kembali
ia tertawa terpingkal-pingkal memecah heningnya malam dan pada akhirnya ia
terlelap dengan pulasnya.
Hangatnya pelukan sinar mentari dan
riuh kicau burung membangunkan Kancil yang terbuai mimpi. Hari sudah pagi,
ucapnya. Namun si Kancil tetap bermalas-malasan di tempatnya semula sambil
berpikir akan kemana ia hari ini. Ia mereka-reka rencana tentang perjalanannya
hari ini, namun belum selesai ia membuat rencana perjalanan perutnya berbunyi
tanda lapar. Matanya berkeliling mencari makanan, namun yang dicarinya tidak
kunjung ditemukan. Akhirnya Kancil berjalan kesungai untuk sekedar minum.
Kancil sama sekali tidak menyadari
bahwa didalam sungai tersebut telah menunggu seekor Buaya yang sudah
mengawasinya sejak tadi malam. Bersamaan dengan langkah kaki Kancil yang
mendekati sungai, Buaya tersebut juga turut berenang ketepi. Kancil berada
ditepi sungai untuk minum tanpa tahu bahaya apa yang sedang mengancam dirinya.
Ketika mulutnya menyentuh air, tiba-tiba Buaya menerkamnya dan barulah ia sadar
saat semuanya sudah terjadi. “Mati aku” kata Kancil. Sang Buaya kemudian
membawa Kancil berenang ketengah sungai untuk menyantapnya. Kancil harus bisa
berpikir cepat untuk bisa menyelamatkan diri.
Sesampainya ditengah sungai, Buaya
membuka mulutnya lebar-lebar hendak memakan Kancil. Disaat-saat yang sangat
kritis tersebut itulah Kancil kemudian menemukan ide untuk menyelamatkan
dirinya. Sesaat sebelum Buaya mengatupkan mulutnya, Kancil berkata, “tunggu
tuan Buaya, saya harap anda mau bersabar untuk mendengar penjelasan saya.”
Tentu saja Buaya merasa aneh dengan apa yang tengah terjadi. Kancil sosok
mungil itu berani berkata demikian. “beraninya kamu berkata demikian padaku?
Kamu itu hanya seekor kancil yang sudah tidak berdaya didalam mulutku.” Buaya
berkata penuh marah.
“benar tuan, saya memang hanya seekor
Kancil kecil yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa didalam mulut anda. Namun
jika tuan memakan saya, tuan sendirilah yang akan celaka.” Jawab Kancil.
“apa maksudmu?’ Tanya Buaya semakin
marah.
“kalau tuan memakan saya sekarang,
tuan dan semua keturunan tuan akan dikutuk oleh para dewa penguasa langit yang
marah.” Jelas Kancil.
Buaya semakin tidak mengerti dengan
apa yang dijelaskan Kancil. Ia tidak peduli lagi dan ingin segera mengunyah
Kancil.
“sekali mohon tuan mau meunggu untuk
tidak memakan saya. Saya akan jelaskan semuanya. Setelah itu terserah tuan
hendak melakukan apa.” Kancil memelas.
“sekarang cepat katakan! Aku sudah
tidak sabar untuk memakanmu.” Bentak buaya.
Dengan posisi yang masih terjepit
didalam mulut Buaya, Kancil kemudian bercerita. “sebenarnya, sekarang ini saya
sedang diutus oleh para dewa untuk mengambil pusaka kenong wasiat mereka yang
tertinggal di hutan ini. Malam tadi sewaktu saya menginap dibawah pohon itu,
saya diberi petunjuk bahwa keberadaan pusaka tersebut sudah tidak jauh lagi
dari tempat ini. Oleh karena itulah saya buru-buru bangun untuk melaksanakan
perintah tersebut.”
Semua hewan di hutan tempat hidup
Kancil dan Buaya memang sangatlah mempercayai berbagai cerita mistis, baik itu
tentang pusaka, hantu, dan lainnya. Hal tersebutpun terbukti ketika Buaya
tiba-tiba menjadi mengendorkan cengkraman mulutnya pada tubuh Kancil. “benarkah
apa yang kau katakan itu?” tanya Buaya.
“saya sudah hampir mati dimakan oleh
tuan. Jadi untuk apa saya berbohong kepada anda. Malah akan menambah dosa saya
ketika menghadap para dewa.” Tegas Kancil.
Buaya mulai berpikir untuk melepaskan
Kancil, namun perutnya juga sudah sangat lapar dan Kancil merupakan menu
sarapannya pagi ini. “lalu apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku
melepaskanmu, sementara aku juga memerlukan kamu sebagai sarapanku?”
Kancil langsung tanggap dengan situasi
yang sedang dihadapi. “untuk sekarang ini, saya mohon kebaikan hati tuan agar
mau melepaskan saya. Setelah saya menjalan tugas dari para dewa, saya akan
kembali kesini lagi untuk menjadi santapan tuan. Apabila semua tanggung jawab
saya telah usai, saya juga tidak ingin berlama-lama hidup karena para dewa
pasti telah menunggu saya.” Jawab Kancil diplomatis.
“baiklah kalau begitu, aku akan
melepaskanmu. Namun kau harus kembali lagi kesini untuk menjadi santapanku.”
Buayapun berenang lagi ketepi sungai untuk mengembalikan Kancil setelah merasa
yakin dengan semua penjelasan dari mangsanya tersebut.
“besar terimakasih saya kepada tuan
Buaya yang sudi bermurah hati. Saya berjanji akan segera kembali kesini untuk
menjadi santapan tuan setelah mengambil pusaka dan mengembalikannya. Dan juga
akan saya sampaikan kepada para dewa bahwa anda adalah hewan yang paling baik
hati, hingga mereka mau melimphakan anugerahnya kepada tuan.” Ucap Kancil penuh
rayu.
“benarkah kau akan bertemu dewa dan
menyampaikan hal itu pada-Nya?” Kata Buaya menyelidiki.
“saya tidak akan berbohong. Bukankah
sudah saya katakan tadi bahwa setelah mengembalikan pusaka, saya akan segera
kembali kesini untuk menjadi santapan tuan? Jadi biarlah saya melimpahkan semua
anugerah yang akan diberikan para dewa kepada saya untuk tuan. Karena setelah
mati, saya akan menerima anugerah yang jauh lebih besar. Kalau begitu saya
permisi dulu tuan. Saya tidak ingin menunda-nunda perjalanan saya dalam
mengmban tugas.” Kancil segera mohon pamit karena khawatir Buaya akan berubah
pikiran dan kembali menyantapnya.
Tanpa menunggu jawaban Buaya, ia
langsung meinggalkan tempat itu dan berlari sekuatnya walau kakinya terluka
akibat gigitan Buaya yang hendak memangsanya. Kancil terus berlari mengikuti
arus aliran sungai untuk mencegah kecurigaan dari sang pemangsa. Setelah
melewati kelokan sungai, barulah ia merasa yakin bahwa Buaya bodoh itu sudah
tidak bisa lagi melihatnya dan kemudian si Kancil berhenti untuk memeriksa luka
dikakinya. Ternyata lutunya terluka akibat gigitan taring Buaya yang tajam.
Tapi semua sakit disekujur badannya setelah ia melihat beberapa pohon Ketela
yang nampaknya sudah berbuah besar. Ia berlari mendekati rumpun pohon buah
tersebut dan dengan kakinya Kancil mulai mengais-ngais tanah agar dapat memakan
buah yang tersembunyi didalamnya. Benar juga, ternyata pohon tersebut telah
berbuah. Begitu Kancil melihat Ketela merah yang sudah masak, langsung ia
menyantapnya dengan lahap.
Selesai makan, Kancil berjalan menuju
pohon beringan besar yang tak jauh dari situ. Ia menyandarkan badannya dipohon
itu untuk sekedar beristirahat. Lama Kancil duduk dibawah pohon beringin,
barulah ia kembali merasakan sakit di lututnya. “kalau begini aku juga tidak
akan mampu berjalan jauh, lebih baik aku tinggal sementara disini. Bukankah
disini banyak terdapat makanan dan dekat dengan sumber air?” ucapnya. Merasa
tidak mungkin lagi dapat berjalan untuk jauh-jauh meninggalkan Buaya, Kancil
memutuskan untuk tinggal sementara ditempat itu.
Beberapa hari terlewati, luka di lutut
Kancil telah sembuh sempurna. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu hari
ini. kancil akan meneruskan pengembaraanya untuk menyusuri seluruh hutan.
Selesai sarapan, ia berjalan menyusuri arus aliran sungai guna menghindari
Buaya. Setelah cukup jauh, ia membelokkan langkahnya memasuki hutan. Kancil
terus berjalan melawati pepohonan besar dengan akar-akarnya yang menonjol
keluar.
Dari depan terdengar sayup-sayup suara
menggerutu. Kancil mencoba mencari tahu sumber suara. Ia terus berjalan dan
mendekati sumber suara, “sepertinya aku mengenal suara ini” kata Kancil. Semakin
mendekat, semakin ia bisa memastikan sang empunya suara. “ini adalah suara
Kera, bisa bahaya kalau dia melihatku. Namun aku juga penasaran ingin melihat
bagaimana keadaannya sekarang, setelah ribuan lebah menyengatnya beberapa hari
yang lalu.” Kancil mengendap-endap untuk mengintip keadaan Kera. Benar dugaan
Kancil, bahwa pemilik suara itu adalah Kera yang ditipunya kemarin. Setengah
ketakutan, Kancil mengintip Kera lebih dekat lagi. Dilihatnya sekujur tubunya
masih bengkak dan kedua mata sang Kera hampir tidak terlihat akibat sengatan
lebah. Melihat keadaan Kera, Kancil menahan tawa. Ia sangat puas dengan apa
yang telah menimpa Kera.
“aku akan melaporkan perbuatan Kancil
kepada sang raja. Aku yakin pasati sang raja akan marah besar dan memangsanya.”
Kata Kera. Mendengar ucapan Kera barusan membuat Kancil terperanjat kaget.
Kalau sampai ia dilaporkan kepada sang raja, tentulah ia akan menjadi
santapannya. “lepas dari mulut Buaya, mulut Harimau telah menanti” kata kancil
dalam hati. “aku harus segera pergi menjauhi Kera.” Kancil terus mengawasi
gerak-gerik Kera agar bisa memastikan kemana ia harus mengambil arah. Benar
saja, tak lama setelah itu Kera beranjak meninggalkan tempat tersebut untuk
masuk ketengah hutan menemui sang raja. Melihat Kera berjalan menuju tengah
hutan, Kancil mengambil arah sebaliknya. Ia langsung berlari kencang agar bisa
menghindari kejaran Harimau jika suatu saat memburunya.
Menjelang siang, sampailah ia ditepian
sungai yang mengalir begitu deras hingga tidak mungkin ia menyeberanginya.
Kancil melangkahkan kakinya untuk mencari tempat dangkal disungai itu dan
menyebrang. Namun sudah jauh ia melangkah, tidak juga ia menmukan apa yang
dicarinya. Kancil kemudian beristirahat ditepi sungai untuk mencari akal. Lama
ia memutar otak untuk menemukan caramelewati sungai didepannya namun tetap saja
ia tidak manemukan akal. “padahal arus disini tidak begitu deras seperti
sebelah sana. Tapi, sungai ini pastilah dalam.” Kata Kancil. “kalau aku tidak
bisa menyebrangi sungai ini, tentulah Kera dan Harimau akan dengan mudah
menemukanku kelak.” Kancil melanjutkan.
Kancil sudah hilang harapan. Ia
bangkit dan hendak meninggalkan sungai, namun belum sempat ia membalikkan badan
untuk melangkah pergi seekor Buaya menerkamanya. Ternyata Buaya yang
menerkamnya sekarang meruoakan Buaya yang dulu melepaskannya. Kali ini giliran
kaki Kancil yang sudah berada didalam mulut Buaya itu. “hendak kemana lagi kamu
sekarang? Inginmembohongiku lagi?” Kata Buaya. Kancil sadar bahaya yang sangat
besar tengah mengancamnya. Namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“justru sebaliknya tuan Buaya. Sudah
berhari-hari, saya menyusuri sungai ini untuk mencari tuan dan ternyata kita
bertemu disini.” Kata Kancil.
“apa maksudmu dengan mencariku? Aku
menunggumu ditempat yang sama selama dua hari. Namun kamu sama sekali tidak
menampakkan diri.” Buaya menanggapi.
Kancil melihat kemarahan Buaya yang
sepertinya sudah mencapai titik puncak. Ia berkata dengan lembut untuk
menenangkan pemangsanya ini, “maafkan saya kalau telah membuat tuan lama
menunggu. Kemarin, setelah saya berhasil melaksanakan tugas para dewa, mereka
mengundang saya untuk mampir di istana kahyangan. Karena itulah saya tidak bisa
menemui tuan.”
Buaya percaya saja dengan alasan yang diberikan Kancil. Ia melepaskan kaki
kancil dari cengkraman gigitannya dan balik bertanya, “benarkah kau diajak
untuk mengunjungi istana dewa?”
Mengetahui kakinya telah dilepaskan
dan Buaya sudah mulai percaya dengan alasan yang diberikannya, Kancil malah
mendekati mulut Buaya agar ia tidak curiga.
“sebenarnya, disana saya disuruh
memilih berbagai anugerah termasuk untuk menggantikan posisi Harimau menjadi
raja hutan. Tapi saya tidak bisa menerimanya karena masih punya janji dengan
tuan.” Kancil menjelaskan. “namun setelah bertemu dan mengunjungi istana para
dewa saya mempunyai tawaran yang lebih baik untuk tuan dan seluruh buaya
disungai ini.”
Buaya terlihat bingung dengan
penjelasan Kancil. “kamu hendak menawarkan apa untukku?”
“tuan, sewaktu saya berada di
kahyangan saya menceritakan kebaikan hati tuan yang sudi melepaskan saya
walaupun anda tengah dilanda kelaparan. Maka dari itu, mereka menghadiahkan
kepada saya puluhan Kerbau untuk dijadikan mangsa tuan.” Kancil melanjutkan
kebohongannya.
“lalu dimana Kerbau-kerbau itu sekarang?”
Buaya bertanya.
“mereka tengah dalam perjalalan
kemari, oleh karena itu saya minta kepada tuan untuk mengumpulkan semua teman-teman tuan agar saya bisa membagikan
Kerbau-kerbau itu dengan adil. Sementara tuan memanggil teman-teman anda, saya
akan tetap berada disini untuk menunggu para Kerbau.”
Buaya percaya saja dengan bualan
Kancil, “baiklah, aku akan segera memanggil teman-temanku. Tunggulah disini dan
jangan-bernai-berani berbohong padaku!” Buaya kemudian pergi untuk memanggil
semua teman-temannya. Kancil sama sekali tidak meninggalkan tempat tersebut. Ia
sudah menemukan ide supaya dirinya bisa menyebrangi sungai.
Tidak lama kemudian datanglah Buaya
dan serombongan temam-temannya. “mana Kerbau yang kau janjikan?” Tanya Buaya.
Kancil berjalan mendekati serombongan
buaya tersebut, “sabar tuan-tuan, bukankah tadi saya sudah berkata bahwa saya
akan menghitung dulu berapa jumlah Buaya di sungai ini agar saya bisa
membagikan Kerbau-kerbau itu dengan adil.”
Buaya yang paling besar diantara semua
rombongan berkata dengan suara tinggi, “kami semua sudah berkumpul disini,
cepat kamu bisa menghitung kami semua sekarang.”
“jika anda semua bergerombol seperti
itu, bagaimana mungkin saya bisa menghitung tuan-tuan dengan tepat.” Jawab
Kancil tenang.
“lalu?”
“saya harap, tuan-tuan mau berbaris
agar saya mudah menghitungnya.” Perintah Kancil.
Buaya tersebut menurut saja dengan
perintah yang diberikan Kancil. Mereka kemudian berbaris disepanjang tepian
sungai. Namun beluk selesai mereka berbaris, Kancil bersuara. “bukan seperti
itu yang saya inginkan. Kalau tuan-tuan berbaris disepanjang tepian sungai,
saya juga akan kesulitan menghitungnya, karena harus berjalan dari ujung sini
sampai ujung satunya.”
“jadi kami harus berbaris seperi apa?”
tanya Buaya yang sudah tidak sabar.
“berbarislah tuan-tuan layaknya
jembatan di sungai, san saya akan menghitungnya dengan cara menaiki punggung
anda satu persatu.” Komando Kancil berikutnya.
Puluhan buaya itupun kembali menurut
saja dengan perintah dari Kancil. Mereka merubah formasi barisan, dimana semula
mereka berbaris disepanjang tepian sungai sekarang berubah menjadi layaknya
jembatan hidup disepanjang derasanya arus sungai.
“kalau begitu saya akan mulai
menghitung.” Bersamaan dengan itukancil melompat ke punggung Buaya pertama yang
berada tepat didepannya. “saya harap semuanya bisa tenang, karena saya juga
tidak ingin tenggelam di sungai ini.”
“satu, dua, tiga,..... dan
seterusnya.” Kancil menghitung Buaya-buaya itu. Dasar Kancil, semual ia hanya
berada diatas punggung buaya. Namun lama-kelamaan ia berpindah keatas kepala
Buaya dan hitungannya bersamaan dengan pukulan kakinya kekepala-kepala itu.
“empat puluh.” Hitung Kancil ketika sampai pada Buaya yang terakhir sekaligus
ia sudah berada disebrang sungai dan segera ia melompat untuk mencapai daratan.
Setelah menginjakkan kakinya di daratan, ia langsung berlari secepatnya guna
menghindari kejaran Buaya jika mereka menyadari bahwa ia telah membohonginya.
Melihat Kancil yang melarikan diri setelah berhasil menyebrang sungai, barulah
mereka sadar telah ditipu lagi. Gerombolan Buaya tersebut kemudian
menghantam-hantamkan ekor mereka kesungai sebagai pelampiasan rasa marah. Namun
kemarahan mereka tidak bisa berbuat banyak, karena Kancil telah jauh berlari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar