Kamis, 24 Mei 2012

Dongeng Kancil dan Buaya


KANCIL DAN BUAYA

Kancil berjalan begitu enteng setelah keberhasilannya menipu sang Kera. Sepanjang perjalanan ia tersenyum dan kadang pula tertawa terbahak. Betapa bangga ia sederet kemenangan yang telah ia raih. Pertama, ia bisa dengan puas menikmati timun pak tani wa;upun pada akhirnya tertangkap juga. Setelah itu, dengan mulus ia berhasil mengelabui anjing lugu milik pak tani dengan berbagai cerita bohongnya. Dan barusan ia berhasil menipu sekaligus membuat Kera meringis menahan sakit karena telah menyakitinya. Berbagai keberhasilan yang telah dicapainya merasuki otak Kancil dan mulai menganggap dirinya sebagi yang terbaik diantara semua hewan. Seharusnya akulah yang menjadi raja hutan, bukan Harimau, pikirnya. Ia terus larut dalam euforia kemenangannya hingga tak terasa hari sudah sore.
Kerongkongan Kancil terasa kering setelah hampir seharian berjalan menyusuri lebatnya hutan. Iapun terus berjalan untuk mencari keberadaan sumber air yang paling dekat. Tak beberapa berjalan, akhirnya ia menemukan sungai dan segera ia minum sepuas-puasnya. Setelah hilang semua dahaganya ternyata hari telah beranjak malam. Ia memutuskan untuk menginap disitu dengan pertimbangan tidak akan kesulitan mencari sumber air pada keesokkan harinya. Kancil menyandarkan badannya pada sebuah pohon besar sambil membayangkan bagaimana muka Kera setelah tersengat ribuan lebah. Kembali ia tertawa terpingkal-pingkal memecah heningnya malam dan pada akhirnya ia terlelap dengan pulasnya.
Hangatnya pelukan sinar mentari dan riuh kicau burung membangunkan Kancil yang terbuai mimpi. Hari sudah pagi, ucapnya. Namun si Kancil tetap bermalas-malasan di tempatnya semula sambil berpikir akan kemana ia hari ini. Ia mereka-reka rencana tentang perjalanannya hari ini, namun belum selesai ia membuat rencana perjalanan perutnya berbunyi tanda lapar. Matanya berkeliling mencari makanan, namun yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Akhirnya Kancil berjalan kesungai untuk sekedar minum.
Kancil sama sekali tidak menyadari bahwa didalam sungai tersebut telah menunggu seekor Buaya yang sudah mengawasinya sejak tadi malam. Bersamaan dengan langkah kaki Kancil yang mendekati sungai, Buaya tersebut juga turut berenang ketepi. Kancil berada ditepi sungai untuk minum tanpa tahu bahaya apa yang sedang mengancam dirinya. Ketika mulutnya menyentuh air, tiba-tiba Buaya menerkamnya dan barulah ia sadar saat semuanya sudah terjadi. “Mati aku” kata Kancil. Sang Buaya kemudian membawa Kancil berenang ketengah sungai untuk menyantapnya. Kancil harus bisa berpikir cepat untuk bisa menyelamatkan diri.
Sesampainya ditengah sungai, Buaya membuka mulutnya lebar-lebar hendak memakan Kancil. Disaat-saat yang sangat kritis tersebut itulah Kancil kemudian menemukan ide untuk menyelamatkan dirinya. Sesaat sebelum Buaya mengatupkan mulutnya, Kancil berkata, “tunggu tuan Buaya, saya harap anda mau bersabar untuk mendengar penjelasan saya.” Tentu saja Buaya merasa aneh dengan apa yang tengah terjadi. Kancil sosok mungil itu berani berkata demikian. “beraninya kamu berkata demikian padaku? Kamu itu hanya seekor kancil yang sudah tidak berdaya didalam mulutku.” Buaya berkata penuh marah.
“benar tuan, saya memang hanya seekor Kancil kecil yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa didalam mulut anda. Namun jika tuan memakan saya, tuan sendirilah yang akan celaka.” Jawab Kancil.
“apa maksudmu?’ Tanya Buaya semakin marah.
“kalau tuan memakan saya sekarang, tuan dan semua keturunan tuan akan dikutuk oleh para dewa penguasa langit yang marah.” Jelas Kancil.
Buaya semakin tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan Kancil. Ia tidak peduli lagi dan ingin segera mengunyah Kancil.
“sekali mohon tuan mau meunggu untuk tidak memakan saya. Saya akan jelaskan semuanya. Setelah itu terserah tuan hendak melakukan apa.” Kancil memelas.
“sekarang cepat katakan! Aku sudah tidak sabar untuk memakanmu.” Bentak buaya.
Dengan posisi yang masih terjepit didalam mulut Buaya, Kancil kemudian bercerita. “sebenarnya, sekarang ini saya sedang diutus oleh para dewa untuk mengambil pusaka kenong wasiat mereka yang tertinggal di hutan ini. Malam tadi sewaktu saya menginap dibawah pohon itu, saya diberi petunjuk bahwa keberadaan pusaka tersebut sudah tidak jauh lagi dari tempat ini. Oleh karena itulah saya buru-buru bangun untuk melaksanakan perintah tersebut.”
Semua hewan di hutan tempat hidup Kancil dan Buaya memang sangatlah mempercayai berbagai cerita mistis, baik itu tentang pusaka, hantu, dan lainnya. Hal tersebutpun terbukti ketika Buaya tiba-tiba menjadi mengendorkan cengkraman mulutnya pada tubuh Kancil. “benarkah apa yang kau katakan itu?” tanya Buaya.
“saya sudah hampir mati dimakan oleh tuan. Jadi untuk apa saya berbohong kepada anda. Malah akan menambah dosa saya ketika menghadap para dewa.” Tegas Kancil.
Buaya mulai berpikir untuk melepaskan Kancil, namun perutnya juga sudah sangat lapar dan Kancil merupakan menu sarapannya pagi ini. “lalu apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku melepaskanmu, sementara aku juga memerlukan kamu sebagai sarapanku?”
Kancil langsung tanggap dengan situasi yang sedang dihadapi. “untuk sekarang ini, saya mohon kebaikan hati tuan agar mau melepaskan saya. Setelah saya menjalan tugas dari para dewa, saya akan kembali kesini lagi untuk menjadi santapan tuan. Apabila semua tanggung jawab saya telah usai, saya juga tidak ingin berlama-lama hidup karena para dewa pasti telah menunggu saya.” Jawab Kancil diplomatis.
“baiklah kalau begitu, aku akan melepaskanmu. Namun kau harus kembali lagi kesini untuk menjadi santapanku.” Buayapun berenang lagi ketepi sungai untuk mengembalikan Kancil setelah merasa yakin dengan semua penjelasan dari mangsanya tersebut.
“besar terimakasih saya kepada tuan Buaya yang sudi bermurah hati. Saya berjanji akan segera kembali kesini untuk menjadi santapan tuan setelah mengambil pusaka dan mengembalikannya. Dan juga akan saya sampaikan kepada para dewa bahwa anda adalah hewan yang paling baik hati, hingga mereka mau melimphakan anugerahnya kepada tuan.” Ucap Kancil penuh rayu.
“benarkah kau akan bertemu dewa dan menyampaikan hal itu pada-Nya?” Kata Buaya menyelidiki.
“saya tidak akan berbohong. Bukankah sudah saya katakan tadi bahwa setelah mengembalikan pusaka, saya akan segera kembali kesini untuk menjadi santapan tuan? Jadi biarlah saya melimpahkan semua anugerah yang akan diberikan para dewa kepada saya untuk tuan. Karena setelah mati, saya akan menerima anugerah yang jauh lebih besar. Kalau begitu saya permisi dulu tuan. Saya tidak ingin menunda-nunda perjalanan saya dalam mengmban tugas.” Kancil segera mohon pamit karena khawatir Buaya akan berubah pikiran dan kembali menyantapnya.
Tanpa menunggu jawaban Buaya, ia langsung meinggalkan tempat itu dan berlari sekuatnya walau kakinya terluka akibat gigitan Buaya yang hendak memangsanya. Kancil terus berlari mengikuti arus aliran sungai untuk mencegah kecurigaan dari sang pemangsa. Setelah melewati kelokan sungai, barulah ia merasa yakin bahwa Buaya bodoh itu sudah tidak bisa lagi melihatnya dan kemudian si Kancil berhenti untuk memeriksa luka dikakinya. Ternyata lutunya terluka akibat gigitan taring Buaya yang tajam. Tapi semua sakit disekujur badannya setelah ia melihat beberapa pohon Ketela yang nampaknya sudah berbuah besar. Ia berlari mendekati rumpun pohon buah tersebut dan dengan kakinya Kancil mulai mengais-ngais tanah agar dapat memakan buah yang tersembunyi didalamnya. Benar juga, ternyata pohon tersebut telah berbuah. Begitu Kancil melihat Ketela merah yang sudah masak, langsung ia menyantapnya dengan lahap.
Selesai makan, Kancil berjalan menuju pohon beringan besar yang tak jauh dari situ. Ia menyandarkan badannya dipohon itu untuk sekedar beristirahat. Lama Kancil duduk dibawah pohon beringin, barulah ia kembali merasakan sakit di lututnya. “kalau begini aku juga tidak akan mampu berjalan jauh, lebih baik aku tinggal sementara disini. Bukankah disini banyak terdapat makanan dan dekat dengan sumber air?” ucapnya. Merasa tidak mungkin lagi dapat berjalan untuk jauh-jauh meninggalkan Buaya, Kancil memutuskan untuk tinggal sementara ditempat itu.
Beberapa hari terlewati, luka di lutut Kancil telah sembuh sempurna. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu hari ini. kancil akan meneruskan pengembaraanya untuk menyusuri seluruh hutan. Selesai sarapan, ia berjalan menyusuri arus aliran sungai guna menghindari Buaya. Setelah cukup jauh, ia membelokkan langkahnya memasuki hutan. Kancil terus berjalan melawati pepohonan besar dengan akar-akarnya yang menonjol keluar.
Dari depan terdengar sayup-sayup suara menggerutu. Kancil mencoba mencari tahu sumber suara. Ia terus berjalan dan mendekati sumber suara, “sepertinya aku mengenal suara ini” kata Kancil. Semakin mendekat, semakin ia bisa memastikan sang empunya suara. “ini adalah suara Kera, bisa bahaya kalau dia melihatku. Namun aku juga penasaran ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang, setelah ribuan lebah menyengatnya beberapa hari yang lalu.” Kancil mengendap-endap untuk mengintip keadaan Kera. Benar dugaan Kancil, bahwa pemilik suara itu adalah Kera yang ditipunya kemarin. Setengah ketakutan, Kancil mengintip Kera lebih dekat lagi. Dilihatnya sekujur tubunya masih bengkak dan kedua mata sang Kera hampir tidak terlihat akibat sengatan lebah. Melihat keadaan Kera, Kancil menahan tawa. Ia sangat puas dengan apa yang telah menimpa Kera.
“aku akan melaporkan perbuatan Kancil kepada sang raja. Aku yakin pasati sang raja akan marah besar dan memangsanya.” Kata Kera. Mendengar ucapan Kera barusan membuat Kancil terperanjat kaget. Kalau sampai ia dilaporkan kepada sang raja, tentulah ia akan menjadi santapannya. “lepas dari mulut Buaya, mulut Harimau telah menanti” kata kancil dalam hati. “aku harus segera pergi menjauhi Kera.” Kancil terus mengawasi gerak-gerik Kera agar bisa memastikan kemana ia harus mengambil arah. Benar saja, tak lama setelah itu Kera beranjak meninggalkan tempat tersebut untuk masuk ketengah hutan menemui sang raja. Melihat Kera berjalan menuju tengah hutan, Kancil mengambil arah sebaliknya. Ia langsung berlari kencang agar bisa menghindari kejaran Harimau jika suatu saat memburunya.
Menjelang siang, sampailah ia ditepian sungai yang mengalir begitu deras hingga tidak mungkin ia menyeberanginya. Kancil melangkahkan kakinya untuk mencari tempat dangkal disungai itu dan menyebrang. Namun sudah jauh ia melangkah, tidak juga ia menmukan apa yang dicarinya. Kancil kemudian beristirahat ditepi sungai untuk mencari akal. Lama ia memutar otak untuk menemukan caramelewati sungai didepannya namun tetap saja ia tidak manemukan akal. “padahal arus disini tidak begitu deras seperti sebelah sana. Tapi, sungai ini pastilah dalam.” Kata Kancil. “kalau aku tidak bisa menyebrangi sungai ini, tentulah Kera dan Harimau akan dengan mudah menemukanku  kelak.” Kancil melanjutkan.
Kancil sudah hilang harapan. Ia bangkit dan hendak meninggalkan sungai, namun belum sempat ia membalikkan badan untuk melangkah pergi seekor Buaya menerkamanya. Ternyata Buaya yang menerkamnya sekarang meruoakan Buaya yang dulu melepaskannya. Kali ini giliran kaki Kancil yang sudah berada didalam mulut Buaya itu. “hendak kemana lagi kamu sekarang? Inginmembohongiku lagi?” Kata Buaya. Kancil sadar bahaya yang sangat besar tengah mengancamnya. Namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“justru sebaliknya tuan Buaya. Sudah berhari-hari, saya menyusuri sungai ini untuk mencari tuan dan ternyata kita bertemu disini.” Kata Kancil.
“apa maksudmu dengan mencariku? Aku menunggumu ditempat yang sama selama dua hari. Namun kamu sama sekali tidak menampakkan diri.” Buaya menanggapi.
Kancil melihat kemarahan Buaya yang sepertinya sudah mencapai titik puncak. Ia berkata dengan lembut untuk menenangkan pemangsanya ini, “maafkan saya kalau telah membuat tuan lama menunggu. Kemarin, setelah saya berhasil melaksanakan tugas para dewa, mereka mengundang saya untuk mampir di istana kahyangan. Karena itulah saya tidak bisa menemui tuan.”
Buaya percaya saja dengan alasan  yang diberikan Kancil. Ia melepaskan kaki kancil dari cengkraman gigitannya dan balik bertanya, “benarkah kau diajak untuk mengunjungi istana dewa?”
Mengetahui kakinya telah dilepaskan dan Buaya sudah mulai percaya dengan alasan yang diberikannya, Kancil malah mendekati mulut Buaya agar ia tidak curiga.
“sebenarnya, disana saya disuruh memilih berbagai anugerah termasuk untuk menggantikan posisi Harimau menjadi raja hutan. Tapi saya tidak bisa menerimanya karena masih punya janji dengan tuan.” Kancil menjelaskan. “namun setelah bertemu dan mengunjungi istana para dewa saya mempunyai tawaran yang lebih baik untuk tuan dan seluruh buaya disungai ini.”
Buaya terlihat bingung dengan penjelasan Kancil. “kamu hendak menawarkan apa untukku?”
“tuan, sewaktu saya berada di kahyangan saya menceritakan kebaikan hati tuan yang sudi melepaskan saya walaupun anda tengah dilanda kelaparan. Maka dari itu, mereka menghadiahkan kepada saya puluhan Kerbau untuk dijadikan mangsa tuan.” Kancil melanjutkan kebohongannya.
“lalu dimana Kerbau-kerbau itu sekarang?” Buaya bertanya.
“mereka tengah dalam perjalalan kemari, oleh karena itu saya minta kepada tuan untuk mengumpulkan semua  teman-teman tuan agar saya bisa membagikan Kerbau-kerbau itu dengan adil. Sementara tuan memanggil teman-teman anda, saya akan tetap berada disini untuk menunggu para Kerbau.”
Buaya percaya saja dengan bualan Kancil, “baiklah, aku akan segera memanggil teman-temanku. Tunggulah disini dan jangan-bernai-berani berbohong padaku!” Buaya kemudian pergi untuk memanggil semua teman-temannya. Kancil sama sekali tidak meninggalkan tempat tersebut. Ia sudah menemukan ide supaya dirinya bisa menyebrangi sungai.
Tidak lama kemudian datanglah Buaya dan serombongan temam-temannya. “mana Kerbau yang kau janjikan?” Tanya Buaya.
Kancil berjalan mendekati serombongan buaya tersebut, “sabar tuan-tuan, bukankah tadi saya sudah berkata bahwa saya akan menghitung dulu berapa jumlah Buaya di sungai ini agar saya bisa membagikan Kerbau-kerbau itu dengan adil.”
Buaya yang paling besar diantara semua rombongan berkata dengan suara tinggi, “kami semua sudah berkumpul disini, cepat kamu bisa menghitung kami semua sekarang.”
“jika anda semua bergerombol seperti itu, bagaimana mungkin saya bisa menghitung tuan-tuan dengan tepat.” Jawab Kancil tenang.
“lalu?”
“saya harap, tuan-tuan mau berbaris agar saya mudah menghitungnya.” Perintah Kancil.
Buaya tersebut menurut saja dengan perintah yang diberikan Kancil. Mereka kemudian berbaris disepanjang tepian sungai. Namun beluk selesai mereka berbaris, Kancil bersuara. “bukan seperti itu yang saya inginkan. Kalau tuan-tuan berbaris disepanjang tepian sungai, saya juga akan kesulitan menghitungnya, karena harus berjalan dari ujung sini sampai ujung satunya.”
“jadi kami harus berbaris seperi apa?” tanya Buaya yang sudah tidak sabar.
“berbarislah tuan-tuan layaknya jembatan di sungai, san saya akan menghitungnya dengan cara menaiki punggung anda satu persatu.” Komando Kancil berikutnya.
Puluhan buaya itupun kembali menurut saja dengan perintah dari Kancil. Mereka merubah formasi barisan, dimana semula mereka berbaris disepanjang tepian sungai sekarang berubah menjadi layaknya jembatan hidup disepanjang derasanya arus sungai.
“kalau begitu saya akan mulai menghitung.” Bersamaan dengan itukancil melompat ke punggung Buaya pertama yang berada tepat didepannya. “saya harap semuanya bisa tenang, karena saya juga tidak ingin tenggelam di sungai ini.”
“satu, dua, tiga,..... dan seterusnya.” Kancil menghitung Buaya-buaya itu. Dasar Kancil, semual ia hanya berada diatas punggung buaya. Namun lama-kelamaan ia berpindah keatas kepala Buaya dan hitungannya bersamaan dengan pukulan kakinya kekepala-kepala itu. “empat puluh.” Hitung Kancil ketika sampai pada Buaya yang terakhir sekaligus ia sudah berada disebrang sungai dan segera ia melompat untuk mencapai daratan. Setelah menginjakkan kakinya di daratan, ia langsung berlari secepatnya guna menghindari kejaran Buaya jika mereka menyadari bahwa ia telah membohonginya. Melihat Kancil yang melarikan diri setelah berhasil menyebrang sungai, barulah mereka sadar telah ditipu lagi. Gerombolan Buaya tersebut kemudian menghantam-hantamkan ekor mereka kesungai sebagai pelampiasan rasa marah. Namun kemarahan mereka tidak bisa berbuat banyak, karena Kancil telah jauh berlari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar