KANCIL DAN KEONG
“Ini sudah sangat jauh dari hutan
bambu, aku rasa Harimau tidak akan mengejarku sampai tempat ini.” Gumam Kancil
yang sudah berlari beberapa hari untuk menghindari kejaran Harimau yang telah
ditipunya.
Langit yang semula cerah tiba-tiba menjadi
gelap. Awan hitam berarak menutup matahari senja. Hari menjadi gelap padahal
malam belumlah tiba. Kancil menyadari bahwa sebentar lagi akan segera turun
hujan. Ia bergegas mempercepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh.
Tetes-tetes air mulai mengenai kulit
si Kancil menandakan gerimis telah jatuh. Hewan cerdik ini berlari kencang
menuju pohon beringin besar yang dilihatnya dari kejauhan. Gerimis berubah
menjadi hujan lebat tatkala si Kancil tiba di bawah pohon beringin yang berada
tidak jauh dari sungai yang mulai mengering airnya karena kemarau panjang yang
melanda hutan.
Kilat dan halilintar menyertai
titik-titik air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hewan yang tengah
kehausan, tanah menyerap air hujan dengan cepatnya. Dedauan yang semula kelabu karena tertutup debu kembali segar
setelah terbasuh hujan. Semua hewan air bergembira menyambut datangnya hujan
pertama setelah sekian lama.
Namun kegembiraan itu tidak sepenuhnya
dirasakan si Kancil. Tubuhnya basah kuyup karena guyuran air yang jatuh dari
pucuk-pucuk daun dan dahan beringin tempatnya berteduh. Ia merapatkan tubuh
mungilnya kebatang pohon untuk menghindari tetesan air yang semakin deras tapi
ternyata batang pohon besar tersebut juga telah basah. Kancil mulai menggigil
kedinginan karenanya.
Akhirnya hujan deras itu
perlahan-lahan mereda. Matahari mulai terlihat lagi di langit barat.
Burung-burung yang semula berlindung disarangnyapun keluar dan berkicau riuh
untuk merayakan datangnya musim penghujan. Penghuni hutan yang semula harus berjalan
jauh untuk mencari minum, kini tidak lagi kesulitan untuk menemukan sumber air.
Semuanya senang menyambut datangnya musim hujan kali ini.
Hujan kini telah benar-benar reda.
Kancil yang semula menggigil kedinginan bejalan keluar dari tempatnya berteduh.
Ia berjalan menuruti kemana langkah kakinya menapak. Si Kancil sama sekali
tidak mempunyai arah dan tujuan dalam pengembaraannya kali ini. Sambil terus
berjalan, ia mengingat-ingat kembali semua kejadian yang baru saja dialaminya.
Sejak tertangkap dan berhasil meloloskan diri dari cengkraman Pak Tani dengan
jalan menipu Anjing miliknya. Kemudian dengan kecerdikannya ia berhasil
mengalahkan Kera, selamat dari mulut Buaya, dan yang paling membanggakannya
adalah ketika ia berhasil mengelabuhi Harimau sang raja hutan.
“Seharusnya akulah yang menjadi raja
hutan, bukan Harimau. Aku telah mengalahkannya, bukan dengan kekuatan badan,
melainkan dengan kecerdikanku.” Kata Kancil pada dirinya sendiri.
Mengetahui bahwa ia telah berhasil
mengalahkan binatang-binatang yang jauh lebih kuat daipada dirinya, Kancil
menjadi congkak dan sombong. Ia merasa bahwa dirinyalah hewan terkuat di dalam
hutan itu. Hewan cerdik ini berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan
terkadang melompat kecil untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling hebat.
Langkah kakinya semakin tidak
beraturan yang mengakibatkan ia tidak memeperhatikan jalan hingga akhirnya
tersandung sesuatu di depannya. Merasa terantuk batu, si Kancil berhenti dan
mencari batu mana gerangan yang mengenai kakinya. Matanya menangkap sebuah
benda berwarna kehitaman berbentuk bulat. “Rupanya, batu ini yang menghalangi
perjalananku.” Karena marah, Kancil kemudian menedang benda tersebut.
“Aduh.” Benda yang ditendang si Kancil
ternyata dapat berbicara. Hal itu tentu saja membuat si Kancil kaget dan
penasaran. Ia belum begitu yakin kalau benda itulah yang mengeluarkan suara.
Kancil kembali mendekati benda tersebut dan menendangnya sekali lagi dengan
lebih keras.
Benda kehitaman yang ternyata tidak
sepenuhnya berbentuk bulat itu menggelinding karena tendangan Kancil. Sekali
lagi Kancil mendengar suara mengaduh. Kali ini Kancil yakin bahwa benda yeng
ditendangnya tersebut dapat berbicara. Ia kemudian mendekati benda tersebut
yang masih terus merintih dan mengaduh.
“Siapa kamu?” Tanya Kancil.
Kancil tidak langsung mendapat jawaban
dari pertanyaan yang diajukannya. Benda bulat kehitaman itu peralahan-lahan
bergerak dan terlihat terangkat keatas. Setelah semua jelas, barulah Kancil
mengetahui bahwa benda tersebut ternyata adalah seekor Keong.
“Aduh, aku pusing sekali. Siapa yang
tega melemparkan aku?”
“Aku yang menendangmu karena kukira
engkau adalah sebuah batu.” Jelas Kancil.
Keong tersebut berjalan mendekat.
Melihat cara berjalan dari Keong itu, Kancil tertawa terpingkal-pingkal.
“Kenapa engkau tertawa Kancil?”
“Aku tertawa karena melihat caramu
berjalan sangatlah lucu.”
“Semua Keong berjalan dengan cara
seperti ini, lalu apa aneh dan lucunya?”
“Menurutku cara berjalanmu itu
sangatlah lucu, dan amat pelan. Kapan kau bisa sampai ketujuanmu kalau kau
berjalan dengan cara seperti itu?” Hina Kancil. “Sekarang katakan padaku,
kemana tujuanmu?” Tanya Kancil mengejek.
“Aku sedang berjalan kearah sungai
yang berada tidak jauh dari sini. Setiap musim penghujan aku kesana untuk
bertelur.” Jelas Keong.
“Ya, aku tahu sungai itu memang sudah
tidak jauh dari sini. Aku bisa mencapai tempat itu dalam waktu singkat karena
aku bisa berlari dengan cepat. Tapi bagaimana denganmu? Dengan cara berjalanmu
yang seperti itu, aku kira kau baru akan sampai disana besok hari.”
“Tidak apa-apa, yang penting aku bisa
sampai disana.”
“Bagaimana kalau aku menolongmu agar
bisa cepat sampai ditempat tujuanmu?” Kancil menawarkan.
“Tidak usah kawan. Aku menghargai
niatmu, tapi aku tidak ingin menyusahkan siapapun.” Ucap Keong menolak tawaran
Kancil.
Penolakan halus dari sang Keong
ternyata tidak bisa diterima oleh Kancil. Menurut Kancil penolakan dari Keong
adalah sebuah kesombongan.
“Kalau begitu aku pergi dulu kawan.”
Bersamaan dengan itu, Keong berjalan merayap menyusuri tanah yang masih basah
menuju kearah sungai.
Kancil merasa semakin dihina dengan
kelakuan Keong yang dinilainya sombong. Sekali lompat, Kancil sudah berada
didepan Keong kembali.
“Sombong sekali kau Keong.” Kancil
berkata dengan marah.
Keong terheran-heran dengan ucapan
Kancil yang baru saja didengarnya.
“Sombong? Apa yang aku sombongkan
darimu kawan?”
“Kau berjalan dengan sangat lambat,
dan aku ingin menolongmu agar kau bisa sampai ketempat tujuanmu dengan cepat.
Namun kau menolaknya, bukankah itu merupakan sebuah kesombongan?”
“Itu bukanlah sebuah kesombongan
kawan. Semua bangsa kami berjalan dengan cara seperti ini, namun ini bukan
berarti kami lambat. Dan keinginanmu untuk menolongku adalah sebuah niat yang
mulia, tapi aku tidak bisa menerimannya karena pertolongan tidak datang setiap
saat. Jika aku menerima pertolongan darimu karena kau merasa kasihan dengan
caraku berjalan, itu sama saja aku ingin selalu dikasihani dan aku tidak bisa
menerima itu sebab aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan seperti ini.”
Jelas Keong.
Bukannya menerima penjelasan dari
Keong, Kancil malah semakim marah karena merasa disepelekan. Ia tidak habis
pikir ada hewan yang berjalan dengan cara merayap sangat pelan bisa sedemikian
sombongnya. Terbersitlah niat jahat dalam pikiran Kancil.
“Dasar tidak tahu diri.” Dengus
Kancil.
Bersamaan dengan itu ia kembali
menendang Keong hingga tubuhnya menggelinding kencang. Cangkang setengah bulat
dari sang Keong terus ditendang oleh si Kancil menuju kearah sungai walaupun
Keong sendiri terus menerus memohon pada Kancil untuk menghentikan
perbuatannya. Keong terus menggelinding mengikuti kemana arah yang diinginkan
oleh Kancil.
Tidak beberapa lama, Kancil mendengar
gemericik air yang menandakan bahwa sungai telah berada dekat di depan mereka.
Keong yang dari tadi menggelinding akhirnya berhenti karena terbentur rumpun
ilalang dipinggir sungai. Ia terus merintih tiada henti karena pusing yang
dirasakannya.
“Kau benar-benar tidak punya perasaan
Kancil. Teganya engkau menindasku yang lemah dan tidak berdaya ini.”
“Hei Keong, sama sekali aku tidak
menindasmu. Bukankah aku malah menolongmu untuk sampai kepinggir sungai dengan
lebih cepat?”
“Memang benar, tapi kau membawaku
kemari dengan cara menendangku. Bukankah itu sama saja menyiksa?”
“Berjalanmu sangat lambat dan tentu,
kau juga tidak bisa memanjat kepunggungku agar aku dapat menggendongmu. Jadi
satu-satunya jalan untuk membawamu kemari adalah menggelindingkan tubuhmu.”
Ejek Kancil.
“Aku memang lambat, tapi belum tentu
engkau bisa lebih cepat dariku.”
Kancil tertawa terpingkal-pingkal
mendengar apa yang diucapkan oleh Keong. Ia tidak habis pikir bagaimana hewan
kecil dan lambat seperti Keong bisa lebih cepat darinya.
“Apa maksudmu? Kau ingin beradu cepat
denganku? Kau tidak akan mungkin menang.”
“Kalu begitu mari kita buktikan siapa
yang lebih cepat dalam sebuah perlombaan lari.” Tantang Keong kepada Kancil.
“Baiklah, ayo kita lakukan sekarang.
Kau boleh berlari terlebih dahulu.”
Keong sadar dia tidak akan mungkin
menang melawan Kancil dalam sebuah perlombaan lari jika ia sendirian. Maka dari
itu, ia berusaha mencari alasan agar Kancil mau menunda perlombaan antara
mereka sampai esok hari.
“Tidak mungkin kita melakukan
perlombaan itu hari ini. Disamping hari hampir gelap, aku juga masih sangat pusing
karena kau tendang kesana-kemari. Tapi aku akan siap melawanmu besok pagi.”
Keong beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kita akan
berlomba besok pagi. Silahkan kau yang menentukan tempat pertandingan kita.”
Tegas Kancil.
“Kalau begitu, kita bertemu lagi besok
pagi ditempat ini. Dan kita akan berlomba disepanjang aliran sungai. Dimulai
dari sini dan berakhir dicabang sungai yang terletak cukup jauh didepan kita.
Kau setuju?”
“Baik, aku setuju.”
“Sekarang aku akan beristirahat di
sungai untuk memulihkan tenagaku. Jika kau mau tetap disini silahkan saja.”
Tidak menunggu jawaban dari si Kancil,
Keong berjalan menuju pinggiran sungai dan kemudian menceburkan diri kedalamnya
dan Kancil ditinggalkannya sendirian di tempat itu.
Merasa dirinya disepelekan oleh Keong,
Kancilpun pergi meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali besok pagi untuk
berlomba.
“Bagaimaan mungkin Keong bisa menang
melawanku?” Gumam Kancil sambil melangkah pergi.
Sementara itu, ternyata dipinggiran
sungai yang tidak berarus deras, Keong tidaklah sendiri. Disana telah berkumpul
ratusan Keong lainnya yang memang setiap musim penghujan datang berkumpul
disungai itu. Segera ia menceritakan apa yang baru saja dialaminya juga dengan
lomba adu cepat yang telah disepakatinya bersama Kancil.
Semua Keong yang ada di tempat itu
tentu saja terperanjat kaget dengan apa yang dikatakan oleh kawannya tersebut.
“Kau menantang Kancil lomba lari?”
Tanya salah satu Keong terheran-heran.
“Apa mungkin kau bisa menang melawan
Kancil?” Keong yang lain turut bertanya.
“Iya, aku memang menantang Kancil
untuk beradu cepat besok pagi. Tapi aku tidak akan berlomba lari dengan Kancil
sendirian. Kita semualah yang akan berlomba melawan Kancil.” Jelasnya.
“Kita semua? Apa maksudmu?”
“Kita mempunyai kesamaan bentuk dan
ukuran, jadi aku punya rencana untuk mengalahkan Kancil dalam perlombaan itu.
Kita diuntungkan oleh kemiripan dan juga oleh derasnya arus sungai.”
“Aku semakin tidak mengerti.”
Keong kemudian mengutarakan rencananya
agar dapat mengalahkan Kancil. Ia menjelakan, dengan kemiripan yang mereka
punyai ia ingin membodohi Kancil yang sombong itu. Keong ini kemudian meminta
teman-temannya untuk membantu dengan jalan mereka semua bersembunyi terlebih
dahulu dirimbunnya ilalang yang ada disepanjang aliran sungai dengan jarak
tertentu sampai pada cabang sungai.
“Dengan bantuan arus sungai kita dapat
dengan cepat sampai pada pos kita masing-masing.” Keong mengakhiri
penjelasannya yang ternyata dapat diterima oleh semua teman-temannya.
“Kapan kita bisa mulai?”
“Sekarang saja kita mulai berpencar.
Hal itu bisa menambah waktu kita semua untuk beristirahat malam ini.”
Keong kemudian membagi teman-temannya
dalam beberapa kelompok dan tempat mana yang akan ditempati. Hal itu bertujuan
agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penempatan diri Keong-keong tersebut.
Tidak lupa Keong ini juga berpesan kepada teman-temannya, begitu mereka sudah
menyelesaikan tugasnya agar segera menyelam kedalam sungai dan berkumpul
ditempat akhir perlombaan.
Setelah semuanya mengerti dengan jelas
dengan apa yang akan dilakukannya, mereka semuapun berangkat dengan diantarkan
oleh arus aliran sungai. Hanya Keong yang menantang Kancil yang tinggal
ditempat itu, karena dialah yang akan memulai lomba.
Matahari barulah terbit dengan
sempurna dan Kancil ternyata sudah berada ditempat yang disepakatinya bersama
Keong sebagai permulaan lomba. Rupanya semalamalan ia tidak bisa tidur dengan
nyenyak karena terus memikirkan perlombaannya dengan Keong. Kancil merasa
sangat terhina karena tantangan dari Keong untuk beradu cepat dengannya dalam
sebuah perlombaan lari.
Kancil berjalan kesana kemari tidak
beraturan karena gelisah dan tidak sabar menunggu Keong yang belum juga muncul.
Ia mendekati sungai untuk melihat apakah calon lawannya itu sudah menampakkan
dirinya atau belum.
“Keong, dimana kamu?” Teriak Kancil
memanggil. Namun sama sekali Kancil tidak mendengar jawaban dari Keong.
“Jangan-jangan Keong itu melarikan
diri.” Pikir Kancil. “Tapi aku akan menunggunya beberapa saat lagi, mungkin
Keong itu masih tidur.”
Beberapa lama ia menunggu, Kancil
memanggil Keong sekali lagi dan berharap ia menerima jawaban.
“Iya cil aku
disini.”
“Dimana Kamu?” Kancil bertanya sekali lagi
karena ia tidak melihat keberadaan dari Keong.
“Aku disini.” Ternyata Keong
tersembunyi dibalik rerumputan. Ia berjalan amat lambat mendekati Kancil.
“Bagaimana kau bisa menang melawanku,
sedangkan untuk berjalan dari sungai kesini saja sangat lama?” Kata Kancil
sambil tersenyum mengejek.
“Kita buktikan dengan berlomba saja
Cil.”
“Kapan kita bisa mulai perlombaan ini
keong? Sekarang?”
“Iya sekarang saja Cil.”
“Kalau begitu silahkan engkau berlari
terlebih duhulu Keong.”
“Tidak bisa seperti itu Cil, kita
harus memulainya bersama. Walaupun menurutmu aku hewan yang pelan tapi aku
tidak mau kau perlakukan seperti itu.
“Baik, ayo kita mulai. Dasar sombong,
lihat saja aku pasti akan mengalahkanmu.”
Mereka berdua akhirnya memulai
perlombaan, Kancil langsung berlari sekuat tenaga dan berusaha meninggalkan
Keong sejauh-jauhnya agar ia bisa sampai ditempat akhir lomba terlebih dahulu.
Benar saja, Kancil berhasil meninggalkan Keong sangat jauh. Sementara itu, sang
Keong segera menuju sungai dan menghanyutkan dirinya bersama arus.
Karena sudah merasa cukup jauh
meninggalkan Keong, Kancil memperlambat larinya. Tapi betapa kagetnya dia
karena ternyata ia melihat Keong sudah berada didepannya.
“Ayo Cil kejar aku.”
Mendengar tantangan Keong, Kancilpun
kembali mempercepat larinya dan berhasil menyusul lawannya itu. Keong kedua
itupun segera menceburkan dirinya setelah merasa Kancil tidak melihatnya lagi.
Kancil yang sudah berada didepan, kemudian memanggil lawannya untuk mengetahui
dimana keberadaan dari sang Keong.
“Aku sudah berada didepanmu Cil,
mengapa kau begitu lambat?” Sahut Keong untuk menjawab panggilan Kancil.
Kancil semakin terbakar emosinya
karena sang Keong ternyata sudah berhasil mendahuluinya. Ia tidak habis pikir
mengapa Keong yang lambat itu bisa selalu berada didepannya. Kancil yang marah,
sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Ia terus berlari dan berlari. Namun yang
dialaminya selalu sama. Keong terus berada didepannya dan memimpin perlombaan.
Sementara itu, Keong pertama sudah
berada dicabang sungai dengan diantarkan oleh aliran air. Ia berjalan perlahan
untuk mencapai tempat akhir perlombaan yang telah disepakatinya bersama Kancil
kemarin. Keong itupun berhenti diatas sebuah batu yang cukup besar dengan
tujuan agar Kancil bisa melihatnya begitu ia sampai ditempat tersebut. Tidak
lama kemudian, dari kejauhan dilihatnya Kancil berlari cepat dengan nafas terengah-engah
karena kelelahan. Hewan cerdik ini terpetanjat kaget ketika melihat Keong
ternyata sudah terlebih dahulu sampai di garis akhir perlombaan.
“Kau kalah Cil, ternyata aku lebih
cepat darimu.”
“Tidak mungkin, kau pasti mencurangi
aku.” Kancil berkata sambil terengah-engah.
“Bagaimana mungkin aku curang
kepadamu, lihatlah badanku yang penuh keringat ini karena terus berlari untuk
mendahuluimu.” Keong menunjukkan sekujur tubuhnya yang basah karena baru saja
keluar dari sungai.
“Makanya Cil, kita itu tidak usah
sombong. Semua hewan dihutan ini tahu bahwa kau bisa berlari dengan cepat, dan
aku adalah hewan yang lambat. Tapi karena kesombonganmu itulah kau bisa aku
kalahkan.” Keong menasehati.
Kancil sangat terpukul dengan
kenyataan yang dihadapinya. Ia sama sekali tidak mendengarkan nasehat dari
Keong dan memilih kembali berlari secepatnya karena malu dengan kekalahannya
kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar