Kamis, 24 Mei 2012

Dongeng Kancil dan Keong


KANCIL DAN KEONG

“Ini sudah sangat jauh dari hutan bambu, aku rasa Harimau tidak akan mengejarku sampai tempat ini.” Gumam Kancil yang sudah berlari beberapa hari untuk menghindari kejaran Harimau yang telah ditipunya.
Langit yang semula cerah tiba-tiba menjadi gelap. Awan hitam berarak menutup matahari senja. Hari menjadi gelap padahal malam belumlah tiba. Kancil menyadari bahwa sebentar lagi akan segera turun hujan. Ia bergegas mempercepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh.
Tetes-tetes air mulai mengenai kulit si Kancil menandakan gerimis telah jatuh. Hewan cerdik ini berlari kencang menuju pohon beringin besar yang dilihatnya dari kejauhan. Gerimis berubah menjadi hujan lebat tatkala si Kancil tiba di bawah pohon beringin yang berada tidak jauh dari sungai yang mulai mengering airnya karena kemarau panjang yang melanda hutan.
Kilat dan halilintar menyertai titik-titik air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hewan yang tengah kehausan, tanah menyerap air hujan dengan cepatnya. Dedauan yang semula  kelabu karena tertutup debu kembali segar setelah terbasuh hujan. Semua hewan air bergembira menyambut datangnya hujan pertama setelah sekian lama.
Namun kegembiraan itu tidak sepenuhnya dirasakan si Kancil. Tubuhnya basah kuyup karena guyuran air yang jatuh dari pucuk-pucuk daun dan dahan beringin tempatnya berteduh. Ia merapatkan tubuh mungilnya kebatang pohon untuk menghindari tetesan air yang semakin deras tapi ternyata batang pohon besar tersebut juga telah basah. Kancil mulai menggigil kedinginan karenanya.
Akhirnya hujan deras itu perlahan-lahan mereda. Matahari mulai terlihat lagi di langit barat. Burung-burung yang semula berlindung disarangnyapun keluar dan berkicau riuh untuk merayakan datangnya musim penghujan. Penghuni hutan yang semula harus berjalan jauh untuk mencari minum, kini tidak lagi kesulitan untuk menemukan sumber air. Semuanya senang menyambut datangnya musim hujan kali ini.
Hujan kini telah benar-benar reda. Kancil yang semula menggigil kedinginan bejalan keluar dari tempatnya berteduh. Ia berjalan menuruti kemana langkah kakinya menapak. Si Kancil sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan dalam pengembaraannya kali ini. Sambil terus berjalan, ia mengingat-ingat kembali semua kejadian yang baru saja dialaminya. Sejak tertangkap dan berhasil meloloskan diri dari cengkraman Pak Tani dengan jalan menipu Anjing miliknya. Kemudian dengan kecerdikannya ia berhasil mengalahkan Kera, selamat dari mulut Buaya, dan yang paling membanggakannya adalah ketika ia berhasil mengelabuhi Harimau sang raja hutan.
“Seharusnya akulah yang menjadi raja hutan, bukan Harimau. Aku telah mengalahkannya, bukan dengan kekuatan badan, melainkan dengan kecerdikanku.” Kata Kancil pada dirinya sendiri.
Mengetahui bahwa ia telah berhasil mengalahkan binatang-binatang yang jauh lebih kuat daipada dirinya, Kancil menjadi congkak dan sombong. Ia merasa bahwa dirinyalah hewan terkuat di dalam hutan itu. Hewan cerdik ini berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan terkadang melompat kecil untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling hebat.
Langkah kakinya semakin tidak beraturan yang mengakibatkan ia tidak memeperhatikan jalan hingga akhirnya tersandung sesuatu di depannya. Merasa terantuk batu, si Kancil berhenti dan mencari batu mana gerangan yang mengenai kakinya. Matanya menangkap sebuah benda berwarna kehitaman berbentuk bulat. “Rupanya, batu ini yang menghalangi perjalananku.” Karena marah, Kancil kemudian menedang benda tersebut.
“Aduh.” Benda yang ditendang si Kancil ternyata dapat berbicara. Hal itu tentu saja membuat si Kancil kaget dan penasaran. Ia belum begitu yakin kalau benda itulah yang mengeluarkan suara. Kancil kembali mendekati benda tersebut dan menendangnya sekali lagi dengan lebih keras.
Benda kehitaman yang ternyata tidak sepenuhnya berbentuk bulat itu menggelinding karena tendangan Kancil. Sekali lagi Kancil mendengar suara mengaduh. Kali ini Kancil yakin bahwa benda yeng ditendangnya tersebut dapat berbicara. Ia kemudian mendekati benda tersebut yang masih terus merintih dan mengaduh.
“Siapa kamu?” Tanya Kancil.
Kancil tidak langsung mendapat jawaban dari pertanyaan yang diajukannya. Benda bulat kehitaman itu peralahan-lahan bergerak dan terlihat terangkat keatas. Setelah semua jelas, barulah Kancil mengetahui bahwa benda tersebut ternyata adalah seekor Keong.
“Aduh, aku pusing sekali. Siapa yang tega melemparkan aku?”
“Aku yang menendangmu karena kukira engkau adalah sebuah batu.” Jelas Kancil.
Keong tersebut berjalan mendekat. Melihat cara berjalan dari Keong itu, Kancil tertawa terpingkal-pingkal.
“Kenapa engkau tertawa Kancil?”
“Aku tertawa karena melihat caramu berjalan sangatlah lucu.”
“Semua Keong berjalan dengan cara seperti ini, lalu apa aneh dan lucunya?”
“Menurutku cara berjalanmu itu sangatlah lucu, dan amat pelan. Kapan kau bisa sampai ketujuanmu kalau kau berjalan dengan cara seperti itu?” Hina Kancil. “Sekarang katakan padaku, kemana tujuanmu?” Tanya Kancil mengejek.
“Aku sedang berjalan kearah sungai yang berada tidak jauh dari sini. Setiap musim penghujan aku kesana untuk bertelur.” Jelas Keong.
“Ya, aku tahu sungai itu memang sudah tidak jauh dari sini. Aku bisa mencapai tempat itu dalam waktu singkat karena aku bisa berlari dengan cepat. Tapi bagaimana denganmu? Dengan cara berjalanmu yang seperti itu, aku kira kau baru akan sampai disana besok hari.”
“Tidak apa-apa, yang penting aku bisa sampai disana.”
“Bagaimana kalau aku menolongmu agar bisa cepat sampai ditempat tujuanmu?” Kancil menawarkan.
“Tidak usah kawan. Aku menghargai niatmu, tapi aku tidak ingin menyusahkan siapapun.” Ucap Keong menolak tawaran Kancil.
Penolakan halus dari sang Keong ternyata tidak bisa diterima oleh Kancil. Menurut Kancil penolakan dari Keong adalah sebuah kesombongan.
“Kalau begitu aku pergi dulu kawan.” Bersamaan dengan itu, Keong berjalan merayap menyusuri tanah yang masih basah menuju kearah sungai.
Kancil merasa semakin dihina dengan kelakuan Keong yang dinilainya sombong. Sekali lompat, Kancil sudah berada didepan Keong kembali.
“Sombong sekali kau Keong.” Kancil berkata dengan marah.
Keong terheran-heran dengan ucapan Kancil yang baru saja didengarnya.
“Sombong? Apa yang aku sombongkan darimu kawan?”
“Kau berjalan dengan sangat lambat, dan aku ingin menolongmu agar kau bisa sampai ketempat tujuanmu dengan cepat. Namun kau menolaknya, bukankah itu merupakan sebuah kesombongan?”
“Itu bukanlah sebuah kesombongan kawan. Semua bangsa kami berjalan dengan cara seperti ini, namun ini bukan berarti kami lambat. Dan keinginanmu untuk menolongku adalah sebuah niat yang mulia, tapi aku tidak bisa menerimannya karena pertolongan tidak datang setiap saat. Jika aku menerima pertolongan darimu karena kau merasa kasihan dengan caraku berjalan, itu sama saja aku ingin selalu dikasihani dan aku tidak bisa menerima itu sebab aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan seperti ini.” Jelas Keong.
Bukannya menerima penjelasan dari Keong, Kancil malah semakim marah karena merasa disepelekan. Ia tidak habis pikir ada hewan yang berjalan dengan cara merayap sangat pelan bisa sedemikian sombongnya. Terbersitlah niat jahat dalam pikiran Kancil.
“Dasar tidak tahu diri.” Dengus Kancil.
Bersamaan dengan itu ia kembali menendang Keong hingga tubuhnya menggelinding kencang. Cangkang setengah bulat dari sang Keong terus ditendang oleh si Kancil menuju kearah sungai walaupun Keong sendiri terus menerus memohon pada Kancil untuk menghentikan perbuatannya. Keong terus menggelinding mengikuti kemana arah yang diinginkan oleh Kancil.
Tidak beberapa lama, Kancil mendengar gemericik air yang menandakan bahwa sungai telah berada dekat di depan mereka. Keong yang dari tadi menggelinding akhirnya berhenti karena terbentur rumpun ilalang dipinggir sungai. Ia terus merintih tiada henti karena pusing yang dirasakannya.
“Kau benar-benar tidak punya perasaan Kancil. Teganya engkau menindasku yang lemah dan tidak berdaya ini.”
“Hei Keong, sama sekali aku tidak menindasmu. Bukankah aku malah menolongmu untuk sampai kepinggir sungai dengan lebih cepat?”
“Memang benar, tapi kau membawaku kemari dengan cara menendangku. Bukankah itu sama saja menyiksa?”
“Berjalanmu sangat lambat dan tentu, kau juga tidak bisa memanjat kepunggungku agar aku dapat menggendongmu. Jadi satu-satunya jalan untuk membawamu kemari adalah menggelindingkan tubuhmu.” Ejek Kancil.
“Aku memang lambat, tapi belum tentu engkau bisa lebih cepat dariku.”
Kancil tertawa terpingkal-pingkal mendengar apa yang diucapkan oleh Keong. Ia tidak habis pikir bagaimana hewan kecil dan lambat seperti Keong bisa lebih cepat darinya.
“Apa maksudmu? Kau ingin beradu cepat denganku? Kau tidak akan mungkin menang.”
“Kalu begitu mari kita buktikan siapa yang lebih cepat dalam sebuah perlombaan lari.” Tantang Keong kepada Kancil.
“Baiklah, ayo kita lakukan sekarang. Kau boleh berlari terlebih dahulu.”
Keong sadar dia tidak akan mungkin menang melawan Kancil dalam sebuah perlombaan lari jika ia sendirian. Maka dari itu, ia berusaha mencari alasan agar Kancil mau menunda perlombaan antara mereka sampai esok hari.
“Tidak mungkin kita melakukan perlombaan itu hari ini. Disamping hari hampir gelap, aku juga masih sangat pusing karena kau tendang kesana-kemari. Tapi aku akan siap melawanmu besok pagi.” Keong beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kita akan berlomba besok pagi. Silahkan kau yang menentukan tempat pertandingan kita.” Tegas Kancil.
“Kalau begitu, kita bertemu lagi besok pagi ditempat ini. Dan kita akan berlomba disepanjang aliran sungai. Dimulai dari sini dan berakhir dicabang sungai yang terletak cukup jauh didepan kita. Kau setuju?”
“Baik, aku setuju.”
“Sekarang aku akan beristirahat di sungai untuk memulihkan tenagaku. Jika kau mau tetap disini silahkan saja.”
Tidak menunggu jawaban dari si Kancil, Keong berjalan menuju pinggiran sungai dan kemudian menceburkan diri kedalamnya dan Kancil ditinggalkannya sendirian di tempat itu.
Merasa dirinya disepelekan oleh Keong, Kancilpun pergi meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali besok pagi untuk berlomba.
“Bagaimaan mungkin Keong bisa menang melawanku?” Gumam Kancil sambil melangkah pergi.
Sementara itu, ternyata dipinggiran sungai yang tidak berarus deras, Keong tidaklah sendiri. Disana telah berkumpul ratusan Keong lainnya yang memang setiap musim penghujan datang berkumpul disungai itu. Segera ia menceritakan apa yang baru saja dialaminya juga dengan lomba adu cepat yang telah disepakatinya bersama Kancil.
Semua Keong yang ada di tempat itu tentu saja terperanjat kaget dengan apa yang dikatakan oleh kawannya tersebut.
“Kau menantang Kancil lomba lari?” Tanya salah satu Keong terheran-heran.
“Apa mungkin kau bisa menang melawan Kancil?” Keong yang lain turut bertanya.
“Iya, aku memang menantang Kancil untuk beradu cepat besok pagi. Tapi aku tidak akan berlomba lari dengan Kancil sendirian. Kita semualah yang akan berlomba melawan Kancil.” Jelasnya.
“Kita semua? Apa maksudmu?”
“Kita mempunyai kesamaan bentuk dan ukuran, jadi aku punya rencana untuk mengalahkan Kancil dalam perlombaan itu. Kita diuntungkan oleh kemiripan dan juga oleh derasnya arus sungai.”
“Aku semakin tidak mengerti.”
Keong kemudian mengutarakan rencananya agar dapat mengalahkan Kancil. Ia menjelakan, dengan kemiripan yang mereka punyai ia ingin membodohi Kancil yang sombong itu. Keong ini kemudian meminta teman-temannya untuk membantu dengan jalan mereka semua bersembunyi terlebih dahulu dirimbunnya ilalang yang ada disepanjang aliran sungai dengan jarak tertentu sampai pada cabang sungai.
“Dengan bantuan arus sungai kita dapat dengan cepat sampai pada pos kita masing-masing.” Keong mengakhiri penjelasannya yang ternyata dapat diterima oleh semua teman-temannya.
“Kapan kita bisa mulai?”
“Sekarang saja kita mulai berpencar. Hal itu bisa menambah waktu kita semua untuk beristirahat malam ini.”
Keong kemudian membagi teman-temannya dalam beberapa kelompok dan tempat mana yang akan ditempati. Hal itu bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penempatan diri Keong-keong tersebut. Tidak lupa Keong ini juga berpesan kepada teman-temannya, begitu mereka sudah menyelesaikan tugasnya agar segera menyelam kedalam sungai dan berkumpul ditempat akhir perlombaan.
Setelah semuanya mengerti dengan jelas dengan apa yang akan dilakukannya, mereka semuapun berangkat dengan diantarkan oleh arus aliran sungai. Hanya Keong yang menantang Kancil yang tinggal ditempat itu, karena dialah yang akan memulai lomba.
Matahari barulah terbit dengan sempurna dan Kancil ternyata sudah berada ditempat yang disepakatinya bersama Keong sebagai permulaan lomba. Rupanya semalamalan ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan perlombaannya dengan Keong. Kancil merasa sangat terhina karena tantangan dari Keong untuk beradu cepat dengannya dalam sebuah perlombaan lari.
Kancil berjalan kesana kemari tidak beraturan karena gelisah dan tidak sabar menunggu Keong yang belum juga muncul. Ia mendekati sungai untuk melihat apakah calon lawannya itu sudah menampakkan dirinya atau belum.
“Keong, dimana kamu?” Teriak Kancil memanggil. Namun sama sekali Kancil tidak mendengar jawaban dari Keong.
“Jangan-jangan Keong itu melarikan diri.” Pikir Kancil. “Tapi aku akan menunggunya beberapa saat lagi, mungkin Keong itu masih tidur.”
Beberapa lama ia menunggu, Kancil memanggil Keong sekali lagi dan berharap ia menerima jawaban.
“Iya cil aku disini.”                 
 “Dimana Kamu?” Kancil bertanya sekali lagi karena ia tidak melihat keberadaan dari Keong.
“Aku disini.” Ternyata Keong tersembunyi dibalik rerumputan. Ia berjalan amat lambat mendekati Kancil.
“Bagaimana kau bisa menang melawanku, sedangkan untuk berjalan dari sungai kesini saja sangat lama?” Kata Kancil sambil tersenyum mengejek.
“Kita buktikan dengan berlomba saja Cil.”
“Kapan kita bisa mulai perlombaan ini keong? Sekarang?”
“Iya sekarang saja Cil.”
“Kalau begitu silahkan engkau berlari terlebih duhulu Keong.”
“Tidak bisa seperti itu Cil, kita harus memulainya bersama. Walaupun menurutmu aku hewan yang pelan tapi aku tidak mau kau perlakukan seperti itu.
“Baik, ayo kita mulai. Dasar sombong, lihat saja aku pasti akan mengalahkanmu.”
Mereka berdua akhirnya memulai perlombaan, Kancil langsung berlari sekuat tenaga dan berusaha meninggalkan Keong sejauh-jauhnya agar ia bisa sampai ditempat akhir lomba terlebih dahulu. Benar saja, Kancil berhasil meninggalkan Keong sangat jauh. Sementara itu, sang Keong segera menuju sungai dan menghanyutkan dirinya bersama arus.
Karena sudah merasa cukup jauh meninggalkan Keong, Kancil memperlambat larinya. Tapi betapa kagetnya dia karena ternyata ia melihat Keong sudah berada didepannya.
“Ayo Cil kejar aku.”
Mendengar tantangan Keong, Kancilpun kembali mempercepat larinya dan berhasil menyusul lawannya itu. Keong kedua itupun segera menceburkan dirinya setelah merasa Kancil tidak melihatnya lagi. Kancil yang sudah berada didepan, kemudian memanggil lawannya untuk mengetahui dimana keberadaan dari sang Keong.
“Aku sudah berada didepanmu Cil, mengapa kau begitu lambat?” Sahut Keong untuk menjawab panggilan Kancil.
Kancil semakin terbakar emosinya karena sang Keong ternyata sudah berhasil mendahuluinya. Ia tidak habis pikir mengapa Keong yang lambat itu bisa selalu berada didepannya. Kancil yang marah, sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Ia terus berlari dan berlari. Namun yang dialaminya selalu sama. Keong terus berada didepannya dan memimpin perlombaan.
Sementara itu, Keong pertama sudah berada dicabang sungai dengan diantarkan oleh aliran air. Ia berjalan perlahan untuk mencapai tempat akhir perlombaan yang telah disepakatinya bersama Kancil kemarin. Keong itupun berhenti diatas sebuah batu yang cukup besar dengan tujuan agar Kancil bisa melihatnya begitu ia sampai ditempat tersebut. Tidak lama kemudian, dari kejauhan dilihatnya Kancil berlari cepat dengan nafas terengah-engah karena kelelahan. Hewan cerdik ini terpetanjat kaget ketika melihat Keong ternyata sudah terlebih dahulu sampai di garis akhir perlombaan.
“Kau kalah Cil, ternyata aku lebih cepat darimu.”
“Tidak mungkin, kau pasti mencurangi aku.” Kancil berkata sambil terengah-engah.
“Bagaimana mungkin aku curang kepadamu, lihatlah badanku yang penuh keringat ini karena terus berlari untuk mendahuluimu.” Keong menunjukkan sekujur tubuhnya yang basah karena baru saja keluar dari sungai.
“Makanya Cil, kita itu tidak usah sombong. Semua hewan dihutan ini tahu bahwa kau bisa berlari dengan cepat, dan aku adalah hewan yang lambat. Tapi karena kesombonganmu itulah kau bisa aku kalahkan.” Keong menasehati.
Kancil sangat terpukul dengan kenyataan yang dihadapinya. Ia sama sekali tidak mendengarkan nasehat dari Keong dan memilih kembali berlari secepatnya karena malu dengan kekalahannya kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar