Lima Kelemahan Guru dalam Mengajar
|
Tulisan
ini bukan merupakan kesimpulan atas kinerja guru secara umum, tetapi hanyalah
merupakan temuan penulis selama melaksanakan supervisi kunjungan kelas pada
beberapa sekolah yang menjadi binaan penulis ditambah dengan pengamatan
penulis pada saat mengikuti kegiatan lesson study MGMP Bahasa Inggris
beberapa waktu yang lalu. Sengaja diberi judul demikian karena yang akan
dipaparkan adalah kelemahan-kelemahan yang nyata ditemukan penulis. Hal ini
dimaksudkan agar bisa menjadi input bagi para guru untuk memperbaiki kegiatan
pembelajarannya.
Dari
pengamatan penulis terhadap kegiatan pembelajaran di kelas dapat dikemukakan
beberapa kelemahan antara lain :
Apabila
5 macam kelemahan guru ini dapat diperbaiki, maka peoses pembelajaran akan
menjadi lebih bermutu dan muaranya nanti pada hasil belajar yang lebih baik.
Perubahan pada kelima kelemahan tersebut tidak memerlukan biaya. Yang
diperlukan hanyalah kesadaran diri untuk memberikan yang terbaik kepada
siswa. Kepala sekolah dapat berperan dalam perbaikan proses pembelajaran ini
dengan cara lebih sering melaksanakan supervisi kunjungan kelas.
Sumber dari : http://www.pusatartikel.com/
|
Pendidikan
Karakter
Pencetus pendidikan karakter yang
menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah
pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi
atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis
Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi
puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède,
Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal
abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan
kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan
anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari
determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal
dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral.
Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi
ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk
pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan
perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan
sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang
mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter
inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat
karakter
Menurut Foerster ada empat ciri
dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap
tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap
tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi
keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing
pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun
rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas
seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang
menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan.
Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang
baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang
dipilih.
Kematangan keempat karakter ini,
lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju
personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas
dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi
eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi
dalam segala tindakannya.
Pengalaman
Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa,
maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan
perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius
menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster
yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran
umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang
ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan
pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme
yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia
tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya
dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul
lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui
pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi
habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak
didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan
guru.
Loncatan
sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah
dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter
diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme
lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas
Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun
relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam
pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah
determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme,
melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai
(bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah.
Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri
hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak
sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis
terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi
perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi
di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme
idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan
tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas
kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat,
bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi
nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia
yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah
mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah
dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan
Salesian, Roma
Biaya
Pendidikan di Indonesia: Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI
BIAYA
pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan
terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat
Indonesia.
Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan
universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission
mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan
tenaga inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya.
Meski
demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya,
pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di
Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di
Batavia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta
didirikan Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor
Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse
Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan
Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor.
Sekolah-sekolah
itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah
kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool
di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool
(TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.
Pada zaman
kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang menjadi
guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur
Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr
Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah
Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.
BAGI kaum
inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah
tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan
yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi
vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa
orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir
Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang
dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.
Biaya kuliah
untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300.
Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar
uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu
diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga
beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas
biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.
Biaya di
MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden
per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga
beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu
banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School,
karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di
Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah
lulus.
Meski biaya
sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara
ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat
mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya,
bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS,
Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan
juga diberi beasiswa untuk hidup.
Dari
pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan
penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat
anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya
dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan
beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.
PADA tahun
1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah
Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan
bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk
meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para
kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa,
sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan
cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan
akademis memang mahal.
Seyogianya
industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada
universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi
dapat dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan
demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.
Juga cara
perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang
fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu
karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat
lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi
membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat
menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak
profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah
menguji kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi
lain. Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor
di perguruan tertentu.
Profesor yang
mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui riset
yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang
tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak
berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat
sebagai profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor
hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja?
Seorang
profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat
doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi
akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan
tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar
di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi
dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk
mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.
Perguruan
tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama
dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak
murah, untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya
tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual
ke industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan
membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier
effect.
BIAYA
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di
Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya
pun amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat
lain (nyambi), kecuali di bidang pendidikan.
Di luar
negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk
menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan
ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat
dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan
tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah
satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan
ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia
rendah.
Dengan biaya
kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset dan
ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di perguruan
tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka masuk
akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebetulnya,
yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat
disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak
dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang
dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di
sekitar nama seseorang.
Oleh:
Nakoela Soenarta Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di
FTUI, ISTN, dan FTUP
Sumber :
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm
|
Pendidikan
Gratis dan Badan Hukum Pendidikan (Melacak Akar Legalitas Privatisasi
Pendidikan di Indonesia)
RENCANA Depdiknas untuk membagi
jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal
standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu
dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas
dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak
untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan
dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi
pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan
kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas
terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan
berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet
Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di
mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.
Nuansa "privatisasi" atau
upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai
pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu,
sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya
sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat
"kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam
pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat
pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap
peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan,
terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang
ada.
Penurunan derajat kewajiban
pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan
halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban"
pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin
terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan".
Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan
juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas,
tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas
menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia.
Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan
minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam
UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2),
""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian,
diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU
Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara
usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang
bermutu tanpa dipungut biaya".
KEMBALI kepada penerapan
undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar
gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal
itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan
pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga
terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di
mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar.
Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut
serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi
pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut
secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada
masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat
(1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan
hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan
otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah
menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian
Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat
maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang
mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis
menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab
pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa
penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari
penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan
pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP,
terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal
31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis
dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke
depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik
yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya
cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah
"dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan
canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan
dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah
penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan
mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas,
9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan
KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap
infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah
juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar
layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai,
sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu,
kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban
dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi
pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan
pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab
kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP,
pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli
daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya
semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi
Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam
Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin
kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan
pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status
satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar
negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun
pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi
mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal
penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal
31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP,
serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan
tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu,
maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka
bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945....
M FirdausAktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan
sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/18/Didaktika/1689073.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar