Kamis, 24 Mei 2012

Dongeng Kancil dan Harimau


KANCIL DAN HARIMAU

Kancil berlari layaknya tengah dikejar hewan pemangsa. Ia menerobos apa saja yang berada didepannya. Tingginya ilalang bukanlah penghalang, pohon menjulang tidak menjadi aral melintang. “aku harus berlari demi keselamatan diri” kata Kancil. Berlari dan berlari hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menghindari kejaran Buaya. Kalau ia sampai tertangkap pastilah Buaya-buaya itu akan mencincangnya. Nafasnya terengah-engah karena sekian lama berlari, akhirnya ia berhenti di sebuah sendang, Kancil minum kemudian beristirahat. “aku telah membohongi Pak Tani dan Anjingnya, Kera, dan Buaya. Sekarang aku tengah menghadapi masalah yang berat karena Kera akan melaporkan aku kepada Harimau. Sang raja pasti akan memangasaku karena ini.” kata Kancil dalam hatinya. Ia duduk termenung dipinggir sendang itu merenungkan nasibnya. “aku pasti bisa menghadapinya.” Kancil menyemangati dirinya.
Merasa sudah cukup beristirahat, Kancil meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan. Langkahnya gontai menyusuri lebatnya hutan. Cukup jauh berjalan, Kancil bertemu dengan serombongan Kerbau.
“Hendak kemana kamu Cil?” Tanya kepala rombongan Kerbau, kepada Kancil.
“Tidak tahu, aku hanya ingin berkelana mengelilingi seluruh hutan ini. kalian sendiri mau kemana?” Kancil balik bertanya.
“Kami semua akan pergi menghadap sang raja. Seluruh hewan di hutan ini mendapat undangan. Apakah kamu tidak diundang sang raja Cil?”
“Tidak! Memanganya ada apa gerangan sang raja mengumpulkan seluruh warga hutan? Adakah hal sangat penting?” Kancil ingin tahu.
“Kami sendiri tidak tahu. Beberapa hari yang lalu, Merpati utusan raja menemui kami untuk menyampaikan berita ini. Sang raja menghendaki seluruh rakyatnya berkumpul pada purnama nanti.” Jelas kerbau.
“Aku tidak menerima undangan itu, mungkin karena aku selalu berpindah-pindah tempat jadi tidak bertemu dengan utusan raja.”
“Walaupun kamu tidak mendapatkan undangan, seharusnya kamu tetap datang kepertemuan itu, karena engkau juga warga di hutan ini. sebagai warga yang baik, tentulah kau harus mentaati peraturan disini.” Bujuk Kerbau mengajak Kancil.
Kancil sangatlah tahu apa yang akan terjadi kalau saja ia menghadiri acara tersebut. Harimau akan langsung memakannya, karena Kera pastilah sudah melaporkan tindakannya.
“Mungkin karena aku hanya hewan kecil yang sama sekali tidak berpengaruh di hutan ini, hingga tidak perlu mendapatkan undangan. Lebih baik kalian saja yang pergi, dan sampaikan salam hormatku kepada sang raja.” Kancil beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kami akan menyampaikan salammu kepada sang raja.”
Selesai mengatakan itu, merekapun berpisah. Kancil terus menerus menebak apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu. Pikirannya semakin dipenuhi oleh kalut dan takut. Semakin ia berjalan, semakin ketakutan itu menghantuinya hingga akhirnya Kancil menghentikan langkah karena malam telah datang.
Sementara itu, Kera telah sampai ketempat Harimau sang raja hutan. Malam itu Kera menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya bersama Kancil. Tentu saja laporan Kera kepadanya membuat Harimau sangat geram kepada Kancil.
“Tapi kamu juga bodoh. Aku mengutusmu karena menganggapmu sebagai hewan yang paling cekatan diantara yang lain, namun ternyata kamu tidak sepintar yang aku duga.” Bentak Harimau.
Kemarahan Harimau tentu saja membuat wajah Kera pucat pasi. “maafkan hamba yang mulia. Tapi sungguh Kancil sangatlah cerdik dan saya akhirnya terbuai rayuannya..” Ucap Kera gemetar menahan takut.
“Bukan Kancil yang cerdik, melainkan kamu yang bodoh.” Kata Harimau lebih keras, yang tentu saja membuat Kera semakin ketakutan.
“Maafkan saya paduka. Tolong jangan hukum saya. Saya bersedia melakukan apapun demi maaf dari yang mulia.” Kera memohon.
Semula Harimau memandang Kera dengan tatapan penuh kemarahan, namun mendengar permintaan maaf dan cerita Kera yang nampaknya tidak dibuat-buat menjadikannya luluh juga.
“Baiklah, aku maafkan kamu.” Kata harimau.
Tatap mata Kera langsung berbinar mendengar jawaban Harimau rajanya. Mukanya kembali cerah dan senyum merekah lagi dibibirnya.
“Terimakasih yang mulia, terimaksih.” Ucap Kera berkali-kali. Begitu mendapatkan permintaan maaf dari Harimau, Kera hendak langsung meninggalkan tempat itu dengan tujuan menghindari kemarahan selanjutnya. Belum sempat ia berpamitan, Harimau meneruskan perkataanya.
“Sebagai ganti dari kekeliruan yang kau buat aku akan memberikan tugas baru untukmu.”
“Tugas apa gerangan yang akan yang mulia berikan kepada saya? Saya takut kalau tidak mampu mengembannya.” Ucap Kera sambil menundukkan wajah.
  “Besok malam aku mengundang seluruh warga hutan untuk berkumpul ditempat ini.” Jelas Harimau. “Aku ingin pergi mengembara beberapa waktu kedepan, dan dalam pertemuan itu akan diumumkan bahwa aku menyerahkan tampuk kepemimpinanku untuk sementara kepada Gajah.” Jelas Harimau.
Kera sempat terperanjat dengan perkataan Harimau. “Bukankah biarpun paduka berkelana, anda tetaplah raja kami?” Tanya Kera.
“Aku memang tetap raja kalian, namun aku juga tidak ingin ada kekosongan kekuasaan disini yang pada akhirnya memecah belah persatuan seluruh warga huta. Oleh karena itulah aku menunjuk Gajah untuk menggantikan posisiku sementara waktu.” Harimau menerangkan. “Diantara semua warga hutan, Gajahlah yang paling pantas menggantikanku, karena anakku belum cukup dewasa. Dia kekar, berwibawa, dan cukup disegani oleh hewan-hewan lainnya. Jadi kuharap aku tidak salah pilih.” Harimau melanjutkan.
“Lalu tugas apa yang hendak tuan berikan kepada saya?” Kera bertanya.
“Aku kau ikut bersamaku mengembara. Aku pasti akan memerlukan banyak tenagamu kelak.”
Kera langsung bersemangat mendengar ajakan Harimau. “Baiklah yang mulia, hamba akan menuruti semua perintah paduka dalam pengembaraan nantinya.” Jawab Kera tegas.
Setelah pembicaraan tersebut berakhir, keduanya berpisah unuk saling beristirahat.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Menjelang malam sudah berdatangan, Kerbau, Kuda, Banteng, Jerapah, Kambing, Ayam, Gajah, dan semua penghuni hutan lainnya kecuali Kancil yang merasa bahwa dia tidak diundang.
Dibawah terangnya cahaya rembulan, mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran dimana raja mereka, Harimau berada didepannya. Setelah semuanya berkumpul, Harimau mulai berbicar kepada seluruh rakyatnya.
“Malam ini aku sengaja mengundang kalian semua kesini karena aku ingin menyampaikan sebuah pengumuman yang penting.”
Seluruh undangan terlihat saling mengkerutkan dahinya tanda tengah menerka-nerka pengumuman penting apakah yang akan disampaikan raja mereka.
Belum terlalu lama mereka berpikir, Harimau melanjutkan kata-katanya.
“Sudah sekian lama aku terus-menurus hanya berada ditempat ini karena kewajibanku sebagai raja kalian. Dalam beberapa bulan kedepan, rasanya aku ingin kembali mengembara menikmati bagaimana rasanya mencari hewan buruan layaknya dulu ketika masih muda.......”
Harimau belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Kuda menyela.
“Kalau tuan meninggalkan tempat ini siapa yang kan menjadi pemimpin tempat kami berkeluh kesah?”
“Benar yang mulia. Bukankah semua kebutuhan paduka sudah disediakan semuanya?” Kerbau menambahkan.
“Justru karena pertanyaan itulah aku mengumpulkan kalian semua disini. Setelah aku mempertimbangkan secara matang, aku menjatuhkan pilihanku kepada Gajah yang akan menggantikan posisiku sementara waktu.”
“Kenapa bukan putera paduka yang menggantikan posisi yang mulia?” Banteng menyela.
“Kalian semua tentu telah mengetahui kalau anakku masih terlalu muda untuk mengemban tugas ini. Oleh karena itulah aku memilih Gajah yang berbadan kekar dan kuat serta sudah berpengalaman dalam memimpin kelompoknya. Kau sanggup mengemban tugas ini Gajah?” Tanya Harima kepada Gajah.
“Saya merasa kurang mampu dalam mengemban tugas ini. Namun kalau yang mulia meminta saya akan berusaha semampu saya.”
“Gajah telah setuju dengan keputusanku, sekarang tinggal kalian. Bagaimana, setujukah kalian apabila Gajah menggantikanku untuk beberapa waktu?” Harimau ganti bertanya pada seluruh warganya.
“Setuju!” jawab mereka serempak.
“Kalau kalian semua telah setuju, maka pertemuan kita berakhir disini. Mulai besok, Gajah akan menjadi pemimpin baru kalian. Patuhilah ia seperti kalian mematuhi aku. Sekarang beristirahatlah kalian semua.”
“Terimakasih yang mulia.” Kata seluruh warga hutan bersamaan.
Pertemuan malam itupun berakhir dengan menghasilkan keputusan bahwa Gajah akan menggantikan posisi Harimau sebagai raja hutan untuk sementara waktu, karena Harimau akan kembali mengembara. Semuanya setuju, tidak ada satupun yang menolak keputusan raja hutan tersebut.
Pagi itu dengan diiringi tatap mata seluruh penghuni hutan, Harimau dan Kera pergi meninggalkan pusat kerajaan hutan untuk mengembara. Warga hutan-pun segera meninggalkan tempat pertemuan tersebut untuk pulang kerumahnya masing-masing setelah melepas kepergian raja mereka. Hanya Gajah saja yang tertinggal ditempat itu, karena sekarang ialah yang diserahi tanggung jawab untuk mengurusnya.
Harimau dan Kera terus berjalan menyusuri lebatnya rimba. Matahari belumlah tinggi, panas belum begitu menyengat. Riuhnya kicau burung juga masih terus menemani perjalanan sang raja hutan. Diantara ramainya kicauan burung, Harimau amat terpukau dengan suara Kutilang yang merdu.
“Kera, kemari!” perintahnya pada Kera yang berada dibelakangnya.
Kera langsung mendekati majikannya. “Ada apa yang mulia?”
“Kamu dengar kicauan burung Kutilang itu? Indah sekali. Bisakah kau menghadapkannya padaku?” Harimau bertanya sekaligus memerintah.
“Baiklah yang mulia, hamba akan mencobanya.” Kera kemudian memanjat pohon jati yang menjadi tempat berkicaunya sang  Kutilang untuk menyampaikan pesan dari Harimau. Setelah menerima pesan dari Kera, Kutilang segera turun untuk menemui Harimau.
“Ada apa gerangan tuanku memanggil hamba untuk menghadap? Adakah kesalahan yang hamba perbuat?” Kutilang bertanya.
“Tidak, sama sekali engkau tidak melakukan kesalahan.” Jawab Harimau.
“Lalu ada apakah paduka menginginkan hamba menghadap?” Kutilang melanjutan.
“Aku sangat terkesan dengan nyanyianmu tadi. Maukah kau mengajarkan padaku bagaimana caranya menyanyi sepertimu?” Pinta Harimau.
“Maaf yang mulia, saya dan anda mepunyai kelebihan masing-masing yang tidak dapat ditiru. Paduka mempunyai badan yang kekar dan gagah serta taring yang kuat. Dan saya diberikan kelebihan bisa terbang dan bernyanyi. Jadi tidak mungkin saya bisa mengajarkan bagaimana cara menyanyi saya kepada tuan.” Kutilang menjelaskan.
“Engkau pasti telah menyembunyika rahasia bagaimana cara bernyanyimu dariku. Tidak ada yag tidak bisa diajarkan didunia ini.” selidik Harimau.
“sama sekali tidak ada yang hamba rahasiakan dari tuan. Hanya saya dan kaum saya yang bisa bisa bernyanyi seperti ini, karena ini adalah anugerah yang berikan kepada kami. Demikian juga dengan suara auman tuan miliki, tidak ada satupun hewab dimuka bumi ni yang bisa menyamainya.” Kutilang memberikan pengertian. Namun Harimau tetap saja tidak mau mengerti dengan penjelasan yang diberikan Kutilang. Ia tetap memaksa Kutilang untuk memberitahukan rahasia kicauannya. Permintaan Harimau ini tentu saja membuatnya semakin bingung dan tidak tahu harus berkata apa karena memang ia tidak bisa memenuhinya. Kera hanya berdiri menonton perdebatan antara Harimau dan Kutilang. Ia sangatlah tahu bahwa kicauan Kutilang tidak bisa ditirukan oleh yang lain, namun ia juga tidak berani mengatakn  kepada Harimau karena ia takut kalau-kalau rajanya tersebut marah padanya.
Kali ini harimau benar-benar marah pada Kutilang. Ia tetap saja bersikukuh bahwa Kutilang tidak mau mengajarkan padanya bagaiman caranya menyanyi.
“Kutilang, kau tetap pada pendirianmu tidak mau mengajarkan bagaimana menyanyi sepertimu?” Bentak harimau.
“Baiklah tuan, saya akan bernyanyi didepan paduka, saya harap yang mulia bisa mempelajarinya.”
Kutilang kemudian bernyanyi sambil menari dengan indahnya didepan Harimau. Kicauan merdunya terdengar sangatlah indah di Telinga raja yang tengah berkelana itu. Ia sangat terpukau dengan suara riuh rendah yang sangat harmonis tersebut.
“Kera caoba kau perhatikan bagaimana caranya menyanyi, mungkin saja kau bisa mengetahui rahasia nyanyiannya.” Ucap Harimau sembari terus menyimak nyanyian sang Kutilang. Kicau merdu sang Kutilang akhirnya berhenti.
“Saya sudah memperlihatkan seluruh kemampuan saya dalam bernyanyi. Sekarang giliran paduka untuk mencobanya.” Kata Kutliang.
Harimau kemudian mengambil posisi untuk mulai bernyanyi. Ia menarik nafas dalam-dalam sebagai persiapan. Dengan bergaya layaknnya Kutilang, ia kemudian mengeluarkan nafas yang sudah terkumpul dalam dadanya. Ketika tersebut keluara dari mulutnya, tidak ada sama sekali suara merdu yang keluar. Malah layaknya bagaikan dengkuran yang menggelikan. Harimau malu sekali dengan keadaan yang dihadapinya. Ia mencobanya sekali lagi, namun tetap saja hasilnya tidak yang seperti yang diharapkan. Dengan menahan malu, ia mendekati Kutilang yang sedang bertengger didekatnya.
“Kutilang!” Bentak Harimau. “Kau pasti telah merahasiakan sesuatu dariku. Tidak mungkin tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari di muka bumi.”
“Sama sekali tidak ada yang saya rahasiakan yang mulia.” Jelas Kuitlang menenangkan. “Kicauan yang saya miliki adalah sebuah karunia yang tidak bisa dipelajari siapapun kecuali para Kutilang.”
Harimau yang sudah terlanjur marah karena merasa dibohongi dan dipermalukan oleh Kutilang, menangkap Kutilang kemudian mencengkeramnya kuta-kuat.
“Sekarang kau sudah berada dalam cengkeramanku, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakan rahasia menyanyimu?”
Kutilang yang memang telah mengatakan apa adanya kepada Harimau, segera meminta ampun karena ia sadar apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak segera memohon ampunan.
“Ampun yang mulia. Hamba telah mengatakan semuanya dengan jujur, tidak ada satupun yang hamba tutup-tutupi.
Kera yang dari tadi hanya menonton apa yang terjadi, berusaha memabantu Kutilang yang dalam bahaya.
“Benar yang mulia, kicauan Kutilang memang tidak bisa dimiliki oles siapapun kecuali dia. Tapi menurut hamba, auman yang mulia jauh lebih berwibawa daripada nyanyian Kutilang.” Kata Kara berusaha memberi penjelasan sekaligus menenangkan Harimau.
“Diam kamu Kera, kau tak perlu turut campur masalah ini.” Ucap Harimau marah.
“Bukan begitu maksud hamba paduka. Hamba hanya ingin menjaga wibawa yang mulia agar tidak tercemar karena melakukan perbuatan  yang memalukan seperti ini.”
“Memalukan katamu?” Tanya Harimau pada Kera. “Justru aku ingin menambah kewibawaanku kalau aku bisa menyanyi. Semua wargaku akan memujiku karena aku juga bisa menyanyi dengan indah, bukan hanya mengaum.”
Kera berjalan mendekati Harimau, “sekali lagi maafkan saya tuan. Bukannya saya hendak mencampuri urusan paduka, namun apa yang dikatakan kutilang benar adanya. Tidak mungkin yang mulia bisa menyanyi seperti dia, karena kemampuan menyanyi Kutilang hanya Kutilanglah yang bisa mempelajarinya.” Kera berusaha memberikan pengertian. Mendengar penjelasan Kera yang sepertinya malah menyudutkan dirinya, membuat Harimau semakin marah.
“Kau kuajak bersamaku untuk menemani dan membantuku, bukan melawan kehendakku. Sekarang lebih baik kau pergi dari hadapanku. Pergi atau kau akan kujadikan santapanku.”
Melihat kemarahan Harimau yang tampaknya sudah memuncak, Kera tidak bisa berbuat apa-apa. Iapun hanya bisa pasrah dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Berbagai penjelasan dari Kera dan Kutilang hingga akhirnya Kera pergi meninggalkannya bukannya membuat Harimau menjadi sadar akan kesalahannya. Ia malah semakin menjadi dengan obsesinya untuk bisa menyanyi seperti Kutilang. Matanya menatap Kutilang yang tak berdaya dengan penuh selidik.
“Katakan apa yang menjadi rahasia menyanyimu, atau kau akan kujadikan santapan pembukaku?” Harimau mengancam.
Dengan penuh takut, Kutilang menjawab “saya sama sekali tidak mempunyai rahasia apapun dalam menyanyi. Karena semua kaum kami bisa melakukan hal itu seiring pertumbuhan usia mereka.
“Kau pasti berbohong, baiklah kalau kau tidak mau mengatkannya. Aku akan mencarinya sendiri.” Bersamaan dengan selesainya ucapan Harimau, ia kemudian meremukkan tulang-tulang Kutilang hingga burung kecil itu mati. Setelah Kutilang mati, dengan kukunya yng tajam Harimau kemudian mencabik-cabik tubuhnya dengan harapan bisa menemukan rahasia suara indah dari Kutilang. Harimau mengawasi dengan teliti setiap daging dan tulang milik Kutilang yang sudah hancur. Namun tetap saja ia tidak bisa menemukan apa-apa. Demikian pula ketika ia memeriksa bagian dalam leher dari Kutilang, juga tidak ditemukan keanehan disana. Mungkin dengan memkannya aku akan mendapatkan suara merdunya, demikian pikir Harimau. Tak menunggu lama, ia langsung memakan bangkai Kutilang yang sudah tak berbentuk itu. Mangsa kecil tersebut tentu saja langsung ia habiskan dalam sekali lahap. Selesai memakan Kutilang malang itu, Harimau mencoba bernyanyi kembali.
Sambil berjalan menyusuri hutan ia terus menerus berlatih menyanyi. Namun hasil yang didapatkan ternyata sama saja. Hanya auman membahana yang keluar dari sela taringnya. Melihat tingkah dari raja hutan tersebut tentu saja membuat heran para penghuni hutan yang kebetulan berpapasan dengannya. Harimau tidak peduli dengan tatap mata aneh dari warga hutan yang heran melihat tingkah yang memang tidak seperti biasanya.
Matahari sudah mulai redup ketika Harimau sampai ditepi sungai yang hampir kering airnya. Ia kemudian minum dan beristirahat ditempat itu. Setelah merasa cukup melepas lelah, Harimau meneruskan perjalanannya dengan menyebrangi sungai. Saat malam mulai menyapa, barulah Harimau mencari tempat untuk menginap malam ini. Ia memilih untuk beristirahat dibawah pohon Maoni.
Pagi hari, ketika Harimau terbangun dari tidurnya ia merakan betapa lapar perutnya. Hari belum begitu terang, namun ia memutuskan untuk pergi berburu mencari makanan. Matanya yang tajam menjadikan remang suasana hutan tidak menjadi penghalang. Hidungnya terus menerus mengendus bau mangsa yang bisa didapatinya. Lama ia berjalan mencari mangsa hingga belantara yang semula remang menjadi benderang.
Kini didepannya menghampar hutan padang rumput dan beberapa rumpun pohon bambu. Pasti akan banyak hewan yang mencari makan ditempat ini, katanya dalam hati. Angin bertiup cukup kencang waktu itu, hingga menjadikan pucuk-pucuk ilalang bergoyang. Harimau kemudian bersembunyi diantara tingginya ilalang untuk mengintai calon mangsanya.
Benar juga apa yang menjadi perkiraannya. Matanya menangkap seekor Kancil kecil yang tengah duduk dibawah rumpun bambu. Melihat Kancil, ia langsung teringat pada cerita Kera beberapa waktu lalu. Mengingat Kancil adalah hewan sangat cerdik maka Harimaupun amat berhati-hati dalam mendekatinya. Ia mengendap-ngendap menuju rumpun bambu dimana Kancil tengah duduk. Begitu sudah merasa cukup dekat, ia segera melompat dan kini tepat berada didepan Kancil. Kancil amat sangat kaget melihat siapa yang sekarang tengah berdiri dihadapannya. Harimau, sang raja hutan! Kancil tak habis pikir mengapa ia sampai tidak tahu dengan kedatangan Harimau.
“Sekarang kau tidak akan bisa pergi kema-mana lagi Kancil. Kau telah menipu Kera, dan sekarang aku akan menjadikanmu sebagai mangsaku.”
Kancil ketakutan setengah mati mendengar perkataan Harimau. Di pagi yang cerah dengan disertai semilirnya angin ini ternyata akan menjadi akhir hidupku, pikir Kancil. Harimau berjalan perlahan mendekati mangsanya, sementara Kancil juga mundur selangkah demi selangkah hingga akhirnya tubuhnya membentur rumpun bambu hingga ia tak bisa lagi kemana-mana. Merasa ajalnya sudah semakin dekat, Kancil duduk bersimpuh dibawah rumpun bambu. Bersamaan dengan itulah angin bertiup cukup kencang hingga menyebabkan beberapa pohon bambu saling bergesekan dan menimbulkan suara, krieet,,, krieet,,, krieet. Harimau terpukau mendengar suara yang ditimbulkan oleh pohon bambu tersebut, namun ia tidak tahu dari mana asalnya suara itu.
“Suara apa itu?” Tanya Harimau.
“Itu adalah suara seruling dewa.” Jawab Kancil sekenanya.
“Seruling dewa?”
“Iya paduka, dan keberadaan saya disini adalah untuk menjaganya.” Kata Kancil.
“Bisakah kau memainkannya untukku?” Pinta Harimau.
“Tentu saja! Namun saya harus menunggu angin agar memudahkan saya untuk meniupnya.”
“Baiklah!” Kata Harimau.
Harimau dan Kancil menunggu dengan sabar datangnya angin. Kancil berlagak diantara rumpun bambu seolah olah ia hendak meniup seruling. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Angin bertiup dengan kencangnya hingga puluhan pohon bambu saling beradu dan suara riuhpun terdengar. Mulut dan tangan Kancil juga bekerja layaknya tengah memperagakan sedang meniup seruling. Harimau nampak sangat girang dengan apa yang dilihatnya.
“Kancil, apakah kau bisa mengajariku bagaimana caranya meniup seruling dewa ini?” Tanya Harimau.
“Bisa saja, asalkan paduka mau menuruti semua perintah hamba.”
“Baiklah aku setuju, ajarkan padaku.”
Kancil kemudian menjelaskan bagaimana caranya bisa memainkan seruling dewa yang sedang ditungguinya. Pertama-tama Harimau harus menempelkan lidahnya kebatang bambu sembari meniupnya agar ia terbiasa. Tanpa banyak basa-basi Harimau menurut saja pada perkataan Kancil. Ia kemudian menempelkan lidahnya pada salah satu batang bambu kemudian meniupnya. Lama ia meniup, namun suara yang diinginkan tidak juga keluar.
“Kau bohong padaku Cil?” Bentak Harimau.
“Mana mungkin saya berani berbohong pada paduka yang mulia.” Sahut Kancil. “Yang mulia harus menunggu bantuan angin, karena tuan belum pernah meniup seruling itu sebelumnya. Sekarang cobalah lagi.” Perintah Kancil.
Harimau menempelkan lidahnya disalah satu batang bambu. Mulutnya tak berhenti meniup layaknya tengah memainkan seruling. Akhirnya angin yang ditunggupun datang. Namun kali ini angin yang bertiup tidak begitu kencang, hingga suara yang ditimbulkannyapun hanya suara yang kecil. Harimau girang alang kepalang menyadari dirinya bisa memainkan seruling dewa tersebut.
“Aku bisa Cil, aku berhasil.” Harimau kegirangan.
“Ulangilah lagi paduka, agar anda terbiasa dan bisa memainkan seruling itu dimana saja.” Ucap Kancil.
“Benarkah aku bisa memainkannya dimana saja? Baiklah kalau begitu.”
Harimau kembali menmpelkan lidahnya pada batang bambu. Sementara kancil berjalan mengendap-endap untul meloloskan diri.
“Mau kemana kau Cil?” Tanya Harimau.
“Saya akan pergi sebentar untuk mencari minum disungai. Yang mulia pasti akan kehausan saat meniup seruling itu.”
“Baiklah kalau begitu, cepatlah kembali agar aku bisa belajar lebih banyak.”
Kancil segera melangkahkan kakinya untuk meninggalkan rumpun bambu tersebut dan setelah merasa cukup jauh iapun berlari secepatnya. Harimau masih terus menempelkan lidahnya di batang bambu sambil terus meniupnya. Karena angin yang berhembus waktu itu belum terlalu kencang maka suara yang ditimbulkan akibat gesekan batang bambupun tidak seberapa. Namun Harimau tidak menyerah begitu saja, ia terus berusaha untuk meniup seruling dewa tersebut. Ia pun beristirahat sejenak untuk mengembalikan tenaganya sambil menunggu Kancil yang tengah mencari air minum. Akhirnya angin yang ditunggu-tunggu datang juga. Dari kejauhan ia melihat pucuk ilalang yang nampak bergoyang kencang karena tiupan angin. Harimau tidak melepaskan kesempatan ini begitu saja, ia segera mendekati batang bambu dan menempelkan lidahnya disana. Begitu angin kencang tersebut sampai dirumpun bambu itu, tentu saja membuat seluruh bantang-batang bambu bergerak tak beraturan dan menimbulkan suara yang cukup riuh. Harimau semakin bersemangat karena keberhasilannya memainkan seruling dewa itu. Ia menjulurkan lidahnya semakin panjang keluar dan karena tiupan angin juga semakin kencang maka batang bambu yang bergerakpun bukan hanya dibagian atasnya saja. Karena lidahnya yang menjulur terlalu panjang dan batang bambu juga bergerak seluruhnya, maka akhirnya lidahnya itupun terjepit oleh batang bambu yang saling bergesekan. Sakit alang kepalang dirasakan Harimau ketika lidahnya terjepit diantara pohon bambu dan tidak bisa segera ia lepaskan. Gerak batang bambuyang tak beraturan tersebut membuatnya semakin kesulitan melepaskan lidahnya. Tapi kejadian tersebut tidak berlangsung lama, karena angin yang berhembus semakin pelan. Pada akhirnya ia bisa menarik paksa lidahnya. Sakit, perih, dan berbagai perasaan yang dirasakan Harimau saat ini. Ia semakin jengkel karena juga telah ditipu oleh Kancil dan hampir saja ia mati karenanya.
“Awas kau Cil, kau pasti akan menerima akibatnya.” Demikian kata Harimau sambil berjalan menahan sakit meninggalkan tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar