KANCIL MENCURI TIMUN
Pagi itu, udara berhembus sejuk dan
matahari mulai menampakkan diri ketika Pak Tani mengayunkan langkah kakinya
menuju kebun. Terlihat betapa riang dirinya pagi ini, nampak dari caranya
berjalan yang ringan dan siulan yang tak pernah berhenti. Cangkul yang ia
panggulpun sepertinya sama sekali tidak memberatkan. Demikian pula dengan Anjing
kesayangannya yang mengikuti dari belakang. Beberapa lama, sampailah Pak Tani
kekebun yang ditanaminya buah timun, dan betapa kagetnya ia ketika mendapati
tanamannya rusak. Bergegas ia mendekati dan memandang terheran-heran serta
berusaha mengira-ngira siapa yang merusak dan mencuri timun dikebunnya. Namun
heran dan berbagai pertanyaan lain dalam pikirannya tidaklah berlangsung lama.
Segera setelah itu, ia mulai mencabuti pohon timun yang sudah dicuri buahnya.
Ia juga tak lupa membersihkan ladangnya dari timun yang berceceran. Setelah
semua dirasa beres, Pak Tanipun meninggalkan kebun dengan tak lupa sebelumnya
memetik beberapa buah timun sebagai buah tangan dari ladang. Sesampainya
dirumah, pak tani tidak bisa berhenti berbipir dan menduga-duga siapa yang
telah mencuri timunnya. Tapi sekuat apapun ia menduga, tetap saja tidak bisa
menyimpulkan siapa yang mencuri dan merusak ladang miliknya.
Malam menjelang ketika si Kancil
muncul dari rerimbunan pohon. Ia berjalan congkak menghampiri kebun timun milik
Pak Tani dimana ia semalam juga telah mencurinya. Kancil sama sekali tidak
mempedulikan betapa banyak tanaman dan daun-daun pohon timun yang rusak oleh
injakan kakinya. Ia berjalan kesana kemari untuk mencari buah timun yang sudah
cukup tua untuk dimakannya. Matanya tajam menatap seluruh areal lahan, demikian
juga dengan hidungnya tak pernah berhenti mengendus. Setelah menemukan timun
yang dicarinya, tanpa basa-basi ia langsung memakannya. Namun, belum sempat
habis timun tersebut dimakan, matanya menangkap timun lain yang lebih menarik
hatinya, demikian seterusnya hingga tidak kurang dari seperempat lahan timun
milik pak tani rusak dibuatnya. Puas dan perut sudah dipenuhi oleh timun
curian, si Kancil berjalan lunglai karena kekenyangan kemudian pergi menyusuri
gelapnya malam.
Anjing milik pak tani terus
mengonggong menandakan pagi telah tiba. Tak selang beberapa lama, Pak Tanipun
keluar dari rumahnya dengan membawa peralatan lengkap untuk pergi kekebun. Alangkah
kagetnya Pak Tani melihat apa yang terjadi. Lagi-lagi didapati, tanaman timun
yang sudah siap panen rusak dan dicuri. Namun kerusakan yang ditimbulkan hari
ini jauh lebih besar dari kemarin pagi. Ia kemudian membersihkan sisa-sisa
timun yang dimakan hanya separuh oleh pencuri serta memotong batang dan daun
timun yang rusak diinjak-injak. Setelah menyelesaikan semua pekerjaanya
dikebun, Pak Tani segera pulang. Dijalan, ia tak berhenti memikirkan bagaimana
cara untuk dapat menangkap pencuri tersebut.
Sore harinya pak tani memutuskan untuk
mengintai pencuri timun miliknya. Malam harinya, ia berjalan sendirian kemudian
bersembunyi dibalik rimbunnya pepohonan dimana ia bisa bisa dengan jelas
mengawasi kebun tanpa diketahui oleh siapapun. Kegelapan sempurna telah
menyelimuti bumi ketika dari kejauhan Pak Tani melihat sosok mungil berjalan
mendekati kebun timun miliknya. Mata Pak Tani tak pernah lepas mengawasi mahluk
apa gerangan yang sedang mendekati kebun miliknya. Setelah semakin dekat
barulah pak tani tahu kalau mahluk tersebut adalah seekor Kancil yang memang
selama ini terkenal doyan mencuri. Pak Tani hanya menyaksikan dari kejauhan
tatkala si Kancil mulai menjarah ladangnya. Setelah mendapatkan kepastian siapa
yang menjadi pencuri timunnya, Pak Tani segera beranjak dari tempatnya
bersembunyi dengan hati-hati agar tidak diketahui oleh si Kancil.
Seperti pagi hari sebelumnya, ketika
matahari mulai menyingsing, Anjing milik Pak Tani terus menggonggong untuk membangunkan
sang majikan sekaligus mengajaknya pergi keladang. Pak Tani juga muncul tak
lama berselang, namun kali ini ia tidak membawa cangkul sebagai perlengkapan
utamanya. Kini, Pak Tani keluar dari rumah dengan memegang sebuah golok
panjang, yang tentu saja membuat sang Anjing ketakutan karena mengira ia akan
disembelih. Pak Tani paham dengan apa yang sedang dialami anjingnya, iapun
memberi isyarat bahwa ia tidak akan melukai sang Anjing, hingga iapun kembali
lega tanpa merasa takut. Ternyata, pagi itu Pak Tani membawa golok untuk
menebang pohon bambu yang tak jauh dari rumahnya untuk dibuat boneka layaknya
manusia. Pak Tani kemudian membungkus bambu yang sudah berbentuk seperti kepala,
kaki dan tangan manusia tersebut dengan jerami agar benar-benar mirip dengan
manusia. Tak lupa ia juga memberikan caping yang biasa ia pakai pada kepala
boneka yang baru saja diselesaikannya. Boneka yang memang nampak amat mirip
dengan manusia itu kemudian dibawanya pulang. Sang Anjing hanya mengikuti
majikannya tanpa pernah tahu apa yang sedang direncanakan oleh Pak Tani.
Matahari telah condong jauh kearah
barat ketika Pak Tani membawa bonekanya keluar. Dibawanya juga sebuah kaleng
besar yang belum jelas apa isinya. Dengan diikuti Anjingnya, Pak Tani membawa
boneka tersebut kekebun timunnya. Berbeda dengan apa yang dilakukannya
sehari-hari, sesampainya dikebun pak tani membuka kaleng yang dibawanya dari
rumah yang ternyata berisi lem kanji. Ia melumuri seluruh bagian boneka yang dibawanya
dengan lem tersebut. Setelah seluruh bagian boneka dilumuri lem, Pak Tani
menempatkan boneka tersebut tepat dijalan masuk ladangnya. Sang Anjing hanya
bisa menatap penuh keheranan dengan apa yang dilakukan majikannya, karena Pak Tani
nampak sangat serius dengan apa yang dilakukannya kali ini. Setelah semuanya
dirasa cukup, Pak Tani mengajak Anjing setianya untuk meninggalkan ladang tanpa
memungut daun-daun dan buah timun yang berserakan terlebih dahulu.
Remang malam mulai menyelimuti bumi.
Saat langit bertambah pekat, ketika dari sela-sela pohon yang nampak bagai
raksasa, muncul sesosok mungil dari antaranya. Ya,,,, si Kancil, yang beberapa
malam terakhir berhasil mencuri timun Pak Tani tanpa pernah ketahuan. Seperti
biasanya, ia berjalan dengan penuh percaya diri menuju kebun timun yang tiap malam
disatroninya. Namun, ia merasa ada yang aneh dan tidak seperti malam yang lalu.
Ia melihat ada sosok hitam yang berdiri menghadangnya. Itu kan Pak Tani,
pikirnya. Ia merubah langkah kakinya menjadi lebih halus dan mengendap-endap.
Semakin dekat…….. semakin dekat, sang Kancil terus memperhatikan benda hitam
tersebut dengan seksama. Tidak ada yang lepas dari perhatiannya. Dan dengan
sangat berhati-hati ia berhasil menyelinap dibelakang boneka tersebut. Sang
kancil makin percaya dengan keberhasilannya. Ia kemudian berjalan mengitari
orang-orangan itu yang ternyata tidak berakasi apa-apa. Rasa percaya diri si Kancil
semakin memuncak melihat hal itu. Ia beranggapan bahwa orang tersebut tidak
bisa melihatnya. Maka ia berjalan mundur beberapa langkah, berlari
sekencang-kencangnya, melompat dan memukul orang-orangan tersebut dan setelah
kaki bagian depannya menyentuh orang-orangan tersebut, ya,,,,, kaki si Kancil
menempel di jerami yang sebelumnya telah dilumuri lem. Menyaksikan apa yang
terjadi, sang Kancil bertambah marah, ia mengayunkan kaki kiri belakangnya
untuk memukul orang-orangan tersebut. Namun nasib yang dialami kaki belakangnya
tidaklah berbeda jauh dengan kaki depannya. Sekarang ketiga kakinya tertempel
ke orang-orangan sawah tersebut. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri,
satu-satunya kaki yang tersisa kemudian ditempelkannya ketubuh orang-orangan
sawah dengan harapan bisa medorong badannya dari cengkaraman boneka tersebut.
Namun harapan tinggal harapan. Ketika kaki terakhirnya menempel di tubuh boneka
jerami, maka semakin ia tidak bisa melepaskan diri. Si kancil yang panik, kini
berusaha menenangkan diri menunggu datangnya ide agar bisa menyelamatkan diri.
Oh ya…. Aku masih punya moncong, demikian pikirnya. Mungkin dengan moncong yang
dimiliki bisa membantu mendorong tubuhnya agar tidak menempel pada boneka.
Namun, usaha terakhirnya kali ini juga tidak membuahkan hasil yang
menggembirakan. Malah semakin memeperparah posisinya, karena sekarang, seluruh
tubuhnya sudah menempel pada boneka tanpa mau dilepaskan lagi. Si kancil hanya
pasrah sambil terus-menerus berdoa dan menyesali perbuatannya.
Nyanyian Ayam jantan kembali terdengar
mengiringi tarian sang mentari menapaki langit. Pak Tanipun telah bangun tidur
dan bersiap-siap untuk pergi keladang. Bersama Anjing setianya, mereka berdua menuju
ladang. Terlihat dari kejauhan, ladang timunnya hijau menghampar, yang kini
didalamnya terdapat sebuah orang-orangan sawah. Dilihatnya, orang-orangan sawah
tersebut menunjujkkan keanehan. Hari masih pagi yang tentu saja angin belum
begitu kencang, namun boneka tersebut terlihat selalu bergerak-gerak seolah ada
yang menggerakkannya. Melihat keanehan itu, wajah Pak Tani berseri-seri. Ia
sudah bisa menduga apa yang membuat boneka itu bergerak-gerak. Ya, pasti si Kancil
yang mencuri timunnya telah terperangkap dalam jebakan yang sudah ia siapkan.
Benar saja, ketika Pak Tani mendekati
boneka tersebut, terlihatlah sesosok Kancil yang telah menempel disana. Badan
sang kancil terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri, dan hal itulah yang
menyebabkan boneka terus-menerus bergerak. Pak tani, mendekati sang kancil
sambil tersenyum. Kemudian ia melepaskan si Kancil dari boneka jebakan dan
memegangnya erat-erat. Ia berkata dalam hati, “lumayan bisa buat lauk makan
esok hari”. Hari itu pak tani memutuskan untuk tidak mengurus kebun timunnya.
Ia lebih memilih untuk membawa pulang si Kancil yang telah membuatnya kesal. Ia
memberi isyarat kepada Anjingya untuk segera pulang, dan sang Anjingpun
menurutinya. Mereka berdua pulang kerumah dengan wajah berseri dan hati yang
gembira.
ANJING YANG BODOH
Pada kisah yang lalu diceritakan,
Kancil yang senang mencuri timun tertangkap oleh Pak Tani. Kancil langsung
dimandikan untuk membersihkan lem yang menempel diseluruh tubuhnya karena
jebakkan orang-orangan sawah yang dipasang Pak Tani begitu sampai dirumah.
Setelah semua badan si kancil bersih dari lem, pak tani kemudian memasukannya
kedalam kerangkeng yang telah dipersiapkan dan menyuruh anjingnya untuk menjaga
si Kancil.
Hari sudah sore ketika Pak Tani
mengasah golok yang dipakainya untuk menebang bambu kemarin. Melihat gelagat
yang ditunjukkan pak tani, tentu saja membuat Kancil ketakutan setengah mati.
Kancil sangatlah paham dengan apa yang akan dilakukan Pak Tani. Ya,,, tentu
saja ia akan menyembelih dan memanggang dagingnya untuk dijadikan lauk makan.
Si Kancil harus memutar otak guna mencari cara bagaimana bisa meloloskan diri.
Ia mengamati gembok pada kerangkeng yang mengurungnya, dan ternyata gembok tersebut
hanya bisa dibuka dari luar sehingga tidak mungkin ia bisa melepaskan gembok
tersebut dari dalam kerangkeng. Lalu ia harus minta tolong siapa? Padahal
Anjing yang menjaga kerangkeng merupakan hewan paling setia pada majikannya. Ah
tidak mungkin, “inilah akhir dari hidupku” demikian pikir Kancil.
Selesai mengasah goloknya, pak tani
menghampiri kerangkeng tempatnya mengurung kancil. Semakin dekat Pak Tani
berjalan menuju kerangkeng, semakin Kancil ketakutan. “habislah aku sekarang”
demikian ucapnya dalam hati. Namun ketakutannya serta merta hilang ketika tahu
tujuan Pak Tani saat itu hanya untuk berpesan pada Anjingnya agar menjaga si
Kancil baik-baik dan segera ia meninggalkan mereka berdua.
Malam ini, seolah sudah menjadi malam
terakhir buat si Kancil. Ia berpikir sudah tidak akan lagi bisa melihat
matahari terbenam esok sore. Dari dalam kerangkengnya ia terus memperhatikan
gerak-gerik sang Anjing yang tak pernah berhenti mengawasinya. Dengan
pengawasan ekstra ketat yang diberikan sang Anjing, tentu saja membuatnya tak
bisa berkutik. Namun karena pengawasan ekstra yang diberikan si Anjing itulah
ia mempunyai ide untuk meloloskan diri. Didalam kerangkeng besi dan dengan
pengawasan sang si Kancil mulai menjalankan idenya. Pertama-tama ia duduk
dengan tenang dan penuh konsentrasi. Sesaat kemudian mulutnya mulai meracau
tidak jelas. “terimakasih Tuhan, Kau telah menempatkanku di tempat sebenarnya.
Kau telah mengirimkan aku kepada orang yang sangat baik hati”.
Racauan si Kancil tentu saja mengusik
perhatian sang Anjing. Ia mendekat ke kerangkeng dan membentak Kancil
“Diam, ini sudah malam. Jangan
berisik, nanti majikanku terbangun dan dia malah memotongmu malam ini.”
Kancil terdiam mendengar hardikan si
Anjing.
“Maafkan aku karena telah mengganggu
tidurmu dan majikanmu. Aku hanya ingin mengucapkan rasa terimaksihku pada Tuhan
yang telah mengirimku kemari.”
Jawaban si Kancil tentu saja membuat
Anjing pak tani ini terheran-heran.
“Apa? Kau berterimakasih? Apakah kau
tidak tahu bahwa Pak Tani akan memotongmu besok pagi dan dijadikan lauk makan
untuk kami berdua?”
Jawaban sang Anjing Kancil tentu saja
membuanya kaget, karena apa yang diperkirakannya ternyat benar. Pak Tani akan
memotongnya besok pagi. Namun kekagetan si Kancil tidak berlangsung lama.
Segera ia pasang muka bijaksana.
“Kau salah sangka teman. Majikanmu
sebenarnya tidak ingin memotongku besok pagi. Tidak pula ia akan memanggangku
untuk dijadikan lauk. Ia berbohong padamu, sebenarnya ia ingin mengajaku untuk
jalan-jalan ke kota”.
Anjing tertawa terbahak-bahak sambil
mengejek, mendengar jawaban Kancil. “Mana mungkin ia mengajakmu kekota. Kau
telah mencuri timun dikebunnya, dan majikanku juga telah mengasah goloknya
untuk memotongmu besok. Aku saja yang sudah bertahun-tahun menemaninya disini
tak pernah diajaknya kekota, apa lagi kamu, pencuri”.
Kancil yang sudah merasa berhasil
menarik perhatian sang Anjing semakin
percaya diri dalam merekayasa kebohongannya.
“Justru karena aku telah mencuri timun
milik majikanmu itulah, aku diajaknya kekota. Sebagai penebus rasa bersalahku,
aku akan menunjukkan tempat penjualan bibit timun yang terbaik. Pak tani
mengasah goloknya karena golok tersebut akan dibawanya kekota, untuk
berjaga-jaga kalau-kalau kami akan menemui rintangan sepanjang perjalanan”.
Sepertinya apa yang diharapkan oleh
Kancil menjadi kenyataan. Anjing yang menjaganya, sudah mulai percaya dengan
apa yang diceritakan. Maka kebohongannya semakin menjadi-jadi.
“Apakah kau lupa, ketika baru saja aku
sampai disini Pak Tani langsung memandikanku? Itu adalah pertanda bahwa dia
menyayangiku. Dan dia juga berpesan padamu agar menjagaku dengan baik, itu juga
merupakan bukti bahwa dia tidak mau kehilangan aku.”
Penjelasan dari si Kancil yang nampak
sangat meyakinkan dan masuk akal tersebut tentu saja membuat sang Anjing
sedikit banyak percaya pada bualan Kancil. Nampak dari raut wajah sang Anjing
yang mulai bimbang dan ragu. Melihat kondisi yang menguntungkan tersebut, si
Kancil bertanya pada sang Anjing
“Benarkah kau belum pernah melihat
kota?”
Sang Anjing yang sudah mulai terlanjur
percaya pada Kancilpun menjawab dengan jujur
“Belum. Sebenarnya aku ingin sekali
melihat kota. Namun majikanku tak pernah mengajakku karena aku harus menjaga
rumah.”
“Kasihan sekali dirimu. Kau adalah
hewan paling setia yang pernah aku temui. Tapi aku heran mengapa Pak Tani
begitu kejam hingga tak pernah mengajakmu pergi kekota.” Jawab kancil.
Termakan omongan si Kancil, sang
Anjing nampak semakin bimbang dan ragu. “Ya kau benar! Tapi apa yang bisa aku
lakukan. Berkali-kali aku memintanya untuk mengajakku kekota, namun jawabannya
selalu sama. Kalau aku ikut dia kekota, siapa yang akan menjaga rumah.”
“Ingin rasanya aku menolongmu, namun
aku takut kalau-kalau aku dikira ingkar janji pada Pak Tani.” Jawab kancil
dengan pura-pura bingung dan penuh rasa bersalah.
Mendengar jawaban si Kancil yang
sepertinya penuh dengan ketulusan dan kejujuran, sang anjing pun terpancing
untuk terus bertanya.
“Benarkah kau bisa menolongku?”
“Tidak kawan, aku tidak bisa
menolongmu. Aku terlanjur berjanji pada pak tani untuk menebus semua salahku
dengan jalan menemaninya kekota”.
“Bukankah tadi kau mengatakan ingin
menolongku?” tanya sang Anjing.
“Ya, aku memang ingin menolongmu,
namun kau juga tidak tahu dimana tempat penjual bibit timun terbaik dikota?
Jadi percuma saja aku menolongmu.”
Setelah berkata demikian si Kancil
merebahkan dirinya seolah-olah tidak peduli dengan kepedihan sang Anjing. Dan
hewan penjaga itupun semakin semakin pedih karena Kancil sepertinya tak mampu
menolong. Keduanya saling terdiam beberapa saat lamanya.
Malam semakin hening dan senyap ketika
tiba-tiba suara sang Kancil memecahkannya.
“Aku bisa menolongmu teman, aku punya
ide. Tapi..... ah tidak, aku tak mau menyusahkanmu.”
Sang Anjing yang dari tadi lunglai
karena keinginannya untuk dapat melihat kota sepertinya sudah tidak akan
mungkin terwujud, mendengar ucapan Kancil barusan menjadi bersemangat kembali.
“Benarkah kau punya ide untuk
mewujudkan keinginanku agar bisa pergi kekota? Tidak apa-apa, asalkan aku dapat
pergi kekota aku tidak akan merasa disusahkan. Apa yang harus aku lakukan?”
Kancil sudah merasa amat sangat yakin
kalau rencanaya pasti akan berhasil makin percaya diri dengan keadaan tersebut.
“Baiklah kalau tidak menyusahkanmu.
Aku rasa kau tidak mengetahui dimana tempatnya orang yang menjual bibit timun
tersebut. Makanya aku akan menggambar sebuah peta sebagai petunjuk jalanmu.”
“Baiklah aku setuju dengan usulmu.
Dimana kau akan menggambarnya?” tanya sang anjing.
“Tunggu dulu, jangan terlalu senang.
Karena setelah itu masih ada satu masalah lagi.”
Sang anjing terperanjat “Masalah apa
lagi?”
“Bagaimana cara kita untuk meyakinkan
Pak Tani agar kau bisa menggantikan posisiku?”
Semangat yang terpancar dari mata sang
Anjing yang sempat berkobar kembali meredup setelah mendengar kata-kata si
Kancil. Benar juga apa yang dikatakan Kancil. Ia bisa saja menggantikan posisi
Kancil yang tahu tempat dijualnya bibit timun terbaik, namun tidak mungkin ia
bisa menggantikan posisi Kancil karena perbedaan diantara keduanya sangatlah
berbeda.
Kancil tentu sangatlah paham dengan
apa yang sedang dialami Anjing, dan kesempatan seperti inilah yang
ditunggu-tunggunya.
“Oh iya, aku ingat sekarang. Pak Tani
mengajakku pergi kekota pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit. Jadi dia
tidak akan dapat membedakan siapa yang sebenarnya diajaknya pergi kekota karena
hari masih gelap.”
Sang Anjing sangat gembira mendengar
ide dari si Kancil.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Keluarkan aku dari sini, aku akan
menggambar peta tempat dijualnya bibit timun terbaik. Setelah itu, kamu
menggantikan posisiku didalam dan aku yang akan menjagamu.”
Sang Anjingpun membuka pintu
kerangkeng dan si Kancil akhirnya keluar. Kancil sudah berjanji akan menggambar
sebuah peta yang berisikan rute perjalanan dari desa Pak Tani menuju kota, dan
juga tempat dijualnya bibit timun segera menepati janjinya. Dengan serius ia
menggambar peta tersebut ditanah tempatnya berpijak, demikian juga dengan sang
Anjing yang terlihat amat seksama memperhatikan peta yang digambar si Kancil.
“Kawan, rasanya ini sudah lewat tengah
malam. Menurutku tidak lama lagi, pak tani akan keluar dan segera mengajakku
kekota. Sebaiknya kau masuklah kekandang dan aku yang akan menjagamu diluar.”
Anjing
masuk kedalam kemudian si Kancil menutup pintu kerangkenng lalu menguncinya.
Keduanya nampak sama-sama bahagia. Sang Anjing akan segera pergi kekota bersama
majikannya, sementara itu si Kancil berhasil meloloskan diri dari maut. Lama
keduanya saling diam dan terbuai khayalan masing-masing. Tiba-tiba si Kancil
memegang perutnya dan mengeluarkan suara mengaduh. Anjing yang merasa telah
berhutang budi pada kancil terlihat khawatir dengan apa yang menimpa sahabat
barunya.
“Apa yang terjadi denganmu kawan? Ada
apa dengan perutmu?” demikian tanya sang Anjing penuh khawatir.
Kancil tetap memegang perutnya dan
nampak sangat kesakitan.
“Perutku sakit, tahukah kau dimana aku
bisa menemukan tempat untuk buang air besar?”
“Tentu saja aku tahu” jawab sang
Anjing. “Tempatnya ada dibelakang dumah Pak Tani, sudah hampir masuk kedalam hutan.
Lebih baik engkau keluarkan aku, aku akan memapahmu berjalan sampai kesana.”
“Tidak perlu kawan, rasanya aku masih
kuat berjalan sendiri. Kau tunggulah disini. Sebentar lagi aku akan kembali.”
Tanpa menunggu jawaban sang Anjing, si
Kancilpun melangkahkan kakinya pergi kearah hutan untuk buang air besar. Ia
berjalan dengan tertatih-tatih sampai hilang dari panglihatan Anjing karena
gelapnya malam. Setelah merasa yakin bahwa Anjing penjaga tidak melihatnya
lagi, si Kancilpun berlari secepatnya masuk kedalam hutan sambil tertawa penuh
bahagia.
Kembali kepada Anjing yang sekarang
terkkurung dalam kerangkeng. Ia masih saja terus-menerus mengkhawatirkan
keadaan si Kancil yang sudah pergi cukup lama belum kembali. Ia berpikir bahwa
Kancil pasti tersesat hingga masuk kedalam hutan dan tidak bisa kembali. Karena
kekhawatiran yang dirasakan sang anjing ia tertidur dan tidak menyadari bahwa
pagi telah datang.
Ayam jantan mulai berkok dan langit
menjadi terang. Pak Tani bangun dari tidurnya. Ia merasa ada hal yang tidak
berjalan seperti biasanya. Setiap pagi tiba, biasanya Anjingnya selalu
menggonggong untuk membangunkannya ataupun hanya sekedar memberi pertanda bahwa
pagi telah tiba. Kemudian ia teringat bahwa pagi ini ia berncana untuk
memmotong Kancil dan memanggangnya. Kemudian ia mengambil golok yang sudah
diasahnya kemarin dan buru-buru menuju kerangkeng tempat ia mengurung si
Kancil. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahu bahwa sekarang yang berada dalam
kerangkeng adalah Anjing miliknya yang disuruh untuk menjaga Kancil. Pak Tani
membentak sang Anjing supaya ia bangun. Hewan tersebut langsung terbangun
dengan wajah yang berseri-seri dan bertanya
“Kita berangkat sekarang tuan?”
Pak tani yang masih terkejut
menyaksikan apa yang dilihatnya balik bertanya. “Berangkat kemana? Hari ini
kita tidak kekebun.”
“Bukannya tuan hari ini akan pergi
kekota untuk membeli bibit timun baru yang dirusak oleh Kancil kemarin?”
demikian sang Anjing melanjutkan pertanyaannya.
“Siapa yang mengatakan itu padamu? Dan
sekarang dimana si Kancil?” pak tani balik bertanya.
“Si Kncil yang menceritakan ini pada
saya. Dan keberadaanya sekarang saya tidak tahu. Mungkin ia tersesat kedalam
hutan.”
Anjing kemudian menceritakan semua
kejadian yang dialaminya dengan si Kancil semalam secara runtut tanpa ada
satupun yang terlewatkan. Pak Tani mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Setelah selesai mendengarkan cerita Anjing peliharaanya, Pak Tani terawa
terbahak-bahak, yang tentu saja membuat sang anjing kebingungan.
“Kenapa anda tertawa tuan?” tanya sang
Anjing.
“Tentu saja aku mentertawakan
kebodohanmu yang ternyata masih bisa ditipu oleh si Kancil.” Jawab pak tani
sambil terus tertawa.
“Tertipu? Maksud tuan?’ sang anjing
kembali bertanya keheranan.
Pak tani menjelaskan bahwa sebenarnya
ia ingin memotong si Kancil sebagai lauk makan mereka berdua hari ini, namun
karena ternyata si Kancil berhasil lolos maka hari ini pak tani harus kembali
mencari lauk dikebun dengan sebelumnya membebaskan sang Anjing dari dalam
kerangkeng. Akhirnya mereka berdua berangkat ke kebun. Anjing nampak sangat
terpukul, karena kebodohannya ia gagal menyantap Kancil panggang hari ini.
Sementara Pak Tanipun masih tidak bisa menahan senyum karena tak habis pikir
bahwa Anjingnya masih bisa ditipu oleh si Kancil.
HUKUMAN PADA YANG
CULAS
Malam itu Si Kancil berlari dengan
cepatnya menembus gelap dan rimbunya pepohonan. Ia takut, kalau Pak Yani
mengetahui pelariannya akan mengejar bersama Anjing yang baru saja
dibohonginya. Ia menembus pekatnya belantara malam serta tak lagi mempedulikan
jalan yang dilaluinya. Setelah cukup lama berlari, Si Kancil merasakan lelah
yang tak tertahankan dan memaksanya harus berhenti. Si Kancil kemudian
menyandarkan badannya pada sebatang pohon untuk beristirahat. Karena kelelahan
itulah, Si Kancil sampai tertidur dengan pulasnya dibawah pohon rindang
tempatnya bersandar. Ia terbangun tatkala matahari mulai menyengat kulit
tubuhnya. Ketika terbangun kepalanya menengok kekiri dan kekanan menandakan ia
masih khawatir kalau-kalau Pak Tani dan Anjingnya mengejar. Setelah memeriksa
keadan dan memastikan bahwa tidak ada yang mengejarnya ia perlahan-lahan
melangkah pergi, masuk kedalam hutan.
Tak terasa sudah hampir setengah hari
Si Kancil berjalan dan berlari tanpa sedikitpun makan dan minum. Perutnya terus
berbunyi, kerongkongannya terasa kering, dan masih ditambah lagi pegal yang
menyelimuti seluruh badannya. Sayup-sayup ia mendengar gemericik suara air. Ia
pun berjalan untuk mencari tahu sumber suara tersebut. Ternyata tidak jauh dari
tempat tersebut ada sebuah sungai yang masih sangat jernih airnya. Karena haus
yang begitu mencekik, Si Kancil berlari cepat menuju sungai dan langsung minum
sepuas-puasnya. Satu masalah telah selesai. Sekarang tinggal bagaimana caranya
ia bisa mendapatkan makanan untuk mengisi perutnya yang dari tadi keroncongan.
Ia menduga, tidak jauh dari sungai
pasti ada pohon buah yang lezat. Si Kancilpun berjalan mengikuti arus aliran
sungai tersebut. Dan ternyata benar saja, tidak begitu lama ia berjalan,
dilihatnya ada buah pisang yang sudah masak. Dengan girang, ia berlari
mendekati pohon pisang tersebut. Karena ia tidak bisa memanjat, maka ia
berinisiatif untuk menggoyang-goyangkan pohon pisang itu dengan harapan ada
beberapa biji buah pisang yang jatuh. Berkali-kali ia mencoba menggoyangkan
pohon pisang, namun tidak ada satu bijipun yang jatuh. Lama kelamaan Si Kancil
menyerah juga. Ia hanya bisa duduk sambil memandang buah pisang yang sudah
berwarna kuning dengan menahan air liurnya.
Sembari duduk dan memandang buah
pisang, ia terus memutar otak untuk menemukan cara bagaimana bisa memakan buah
tersebut. Beberapa saat setelah ia duduk dan merenung, datanglah seekor Kera
untuk minum disungai. Kera adalah hewan yang pintar memanjat pohon. Dalam
hatinya Kancil berujar, aku akan meminta bantuannya untuk memetikkan buah
pisang tersebut. Si Kancil kemudian mendekati sang Kera yang tengah asyik minum
air sungai. Karena lapar yang begitu hebatnya, tanpa banyak basa-basi Kancil
langsung mengutarakan niatnya.
Kera adalah binatang yang sangat
menyukai pisang. Begitu mendengar bahwa disekitar tempat itu ada buah pisang
yang sudah masak ia langsung merasa lapar.
“Dimana pohon pisangnya” Tanya sang
Kera kepada Kancil.
“Tunggu dulu tuan Kera. Saya akan
memberitahukan dimana letak buah pisang itu asalkan tuan mau memenuhi
persyaratan yang saya ajukan” kata Kancil
“Baik katakan saja apa sayaratnya”
“Saya ingin tuan yang memanjat pohon,
kemudian pisang-pisang itu kita bagi dua. Bagaimana tuan? Anda setuju?”
Sang Kera diam sejenak sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Baiklah, aku setuju denganmu. Tapi
bagaimana caranya untuk membagi buah pisang itu?”
“Gampang saja tuan Kera.” Jawab Kancil
“Setiap anda memakan satu buah pisang diatas pohon, anda juga harus melemparkan
kepada saya satu. Demikian seterusnya. Anda setuju?” Kancil menawarkan
“Baiklah, aku setuju. Dimana pohon
pisangnya?”
“Mari ikuti saya.”
Kancil berjalan didepan dan sang Kera
mengikutinya. Sekarang tepat didepan mereka terdapat rumpun pohon pisang dimana
dari salah satu pohonnya sudah ada yang berbuah masak. Tanpa menunggu komando
dari Kancil, Kera langsung memanjat. Dalam hitungan detik ia sudah berada
diatas. Ia pun memetik dua buah pisang dimana satu untuknya dan satu untuk si
Kancil. Mereka berdua langsung memakan buah pisang tersebut dengan lahapnya.
Dalam hal memakan pisang, Keralah
juaranya. Buah yang berada pada tangan si Kancil belum habis setengah, buah
pisang milik sang Kera sudah habis duluan. Iapun kemudian melemparkan kulit
pisang yang baru saja habis dimakannya kebawah. Tiba-tiba muncullah akal buruk
dalam pikirannya. Ya, dia hanya akan memberikan kulit pisang saja kepada
Kancil. Bukankah Kancil adalah hewan pemakan sayur dan buah? Pasti kulit pisangpun
dia juga doyan. Sang Kera kemudian memetik buah pisang selanjutnya. Namun kali
ini ia hanya memetik satu buah saja untuk dirinya sendiri. Karena kecepatan
makannya terhadap pisang, maka buah pisang yang kedua ini habis berbarengan
dengan buah pertama milik si Kancil.
Melihat pisang milik Si Kancil juga
sudah habis, maka ia segera memetik pisang kembali, tapi hanya satu untuk
dirinya sendiri. Dan ia kemudian melemparkan kulit pisang yang sudah habis
dimakannya kearah si Kancil. Kancilpun dengan senang hati menerima jatahnya,
tapi ketika ia mendekat pada pisang yang baru saja dilemparkan oleh Kera ia
kaget alang kepalang. Ternyata yang diterimanya barusan hanyalah kulitnya saja,
sementara isinya sudah tak ada lagi.
Kancil berteriak menyeru kepada Kera.
“Tuan mengapa buah yang anda lemparkan hanya kulitnya saja?”
Kera yang berada diatas pohon
berpura-pura tidak mendengar secara jelas teriakaan Kancil, karena waktu itu
kebetulan angin sedang berhembus kencang.
“Apa? Suaramu tidak begitu jelas.
Ulangi lagi pertanyaanmu, lebih keras!”
Kancil mengulang lagi perkataannya
dengan suara yang lebih lantang. Demikian juga Kera, iapun kembali hanya
mengulang jawabannya dengan suara yang lebih keras pula.
Akhirnya Kancil tidak bisa berbuat
banyak dengan apa yang sedang terjadi. Ia terus-menerus menggerutu karena
ternyata hanya bisa menikmati kulit pisang, padahal ia-lah yang merasa paling
berjasa karena menemukan pohon pisang itu. Kesal dan marah bercampur menjadi
satu dalam hati Kancil. Hatinya bertambah kesal karena Kera tetap saja tidak
peduli.
Diatas dahan sang Kera terus memakan
buah pisang dan hanya melemparkan kulitnya saja pada si Kancil demikian sampai
setandan pisang diatas pohon habis diamakan sang Kera.
Kancil berusaha tetap memasang muka
tenang dan sabar ketika sang Kera turun dari pohon dan menghampirinya.
“Kenapa kamu tidak meminta buahnya
kepadaku? Apakah kamu lebih menyukai kulit pisang daripada isinya?” Tanya Kera.
Kancil yang sebenarnya sangat kesal
karena kelakuan Kera, menjawabnya dengan penuh diplomatis.
“Ya benar. Saya adalah hewan yang jauh
lebih suka kepada kulit pisang daripada buahnya. Dan saya kira anda adalah
hewan yang sangat menyukai pisang daripada kulitnya. Karena itulah, saya merasa
pembagian buah pisang antara saya dan anda barusan sangatlah adil.”
Selesai perbincangan itu, keduanya
sepakat untuk berpisah. Kancil berjalan mengikuti arah aliran sungai sementara
Kera kearah sebaliknya.
Beberapa hari kemudian, secara
kebetulan Kancil dan Kera bertemu lagi. Mereka berdua saling bertegur sapa dan
menanyakan hendak kemana tujuannya. Dengan pongahnya Kera mengatakan bahwa ia
baru saja menghadap Harimau sang raja hutan serta sedang mengemban tugas
rahasia demi ketentraman seluruh penghuni rimba. Kancil sebagai hewan yang
terkenal cerdik tidak kurang akal untuk mencari tahu tugas apa yang sebenarnya
tengah diemban oleh Kera.
“Tuan, tugas apa gerangan yang sedang
tuan emban? Kalau boleh ijinkan saya untuk menyertai tuan mengemban tugas mulia
dari sang raja.” Tanya Kancil merendahkan diri.
“Aku rasa kau tidak akan mampu
membantuku mengemban tugas ini. Karena tugas ini terlalu rumit dan berat.”
Jawab Kera.
Kancil tidak menyerah begitu saja. “Saya
menyertai tuan bukan untuk membantu tuan dalam hal tugas, tapi saya hanya ingin
menjadi pembatu tuan agar tuan tidak kekurangan suatu apapun.”
Kera mulai menimbang apa yang diusulkan
oleh si Kancil. Ya, paling tidak jika ada yang menyertainya maka ia tidak harus
mencari makan ataupun minum sendiri. “Kalau begitu baiklah, kau boleh
mengikutiku. Tapi kau harus ingat bahwa, kau hanya membantukuku dalam mencari
makanan dan minuman, bukan untuk menemukan pusaka yang diperintahkan sang
raja.”
“Pusaka?” sahut Kancil. “Pusaka apa
yang tuan cari?”
Kera menyadari kesalahannya. Ia sudah
terlanjur mengatakan tentang tugas yang diembannya dari sang raja.
“Karena aku sudah terlanjur
mengatakannya maka aku akan menceritakan padamu.” Kera mengajak Kancil berjalan
menyusuri hutan belantara. Ia kemudian menceritakan bahwa Harimau sang raja
hutan baru saja menerima wangsit melalui mimpinya. Dalam bisikan tersebut
dikatakan bahwa, ada pusaka milik para dewa yang tertinggal didalam hutan.
Pusaka tersebut berbentuk sebuah kenong wasiat yang apabila dipukul akan
menimbulkan suara gemuruh yang hebat hingga seluruh hutan akan mendengarnya.
Sang raja juga mengatakan, bahwa siapapun yang mempunyai pusaka tersebut akan
selalu dilindungi oleh para dewa. Raja menginginkan pusaka itu bukan hanya
untuk mendapatkan berkah dari para dewa, namun juga, jika pusaka berhasil
didapatkan maka ia tidak perlu susah-susah dalam mengumpulkan warganya. Karena
suara gemuruh yang ditimbulkan oleh kenong dewa juga akan digunakan sebagai
tanda bahwa raja menghendaki semua rakyatnya berkumpul. Demikian kera
menjelaskan perintah yang sedang diembannya.
Sembari bercerita, keduanya terus
berjalan melintasi belantara luas. Hari mulai sore. Kera sebagai pemimpin,
memutuskan untuk beristirahat dan meneruskannya keesokan hari. Kancil sadar
bahwa dalam perjalanan ini ia adalah pembantu kera. Maka dengan cekatan, ia
menyiapkan tempat istirahat untuk majikan barunya. Setelah tempat istirahat untuk
sang majikan selesai, maka si Kancil segera pergi untuk mencari tempat makanan
dan minuman.
Tak jauh dari tempat mereka
beristirahat ada sebuah danau kecil dengan air yang jernih serta dikelilingi
oleh pohon berbagai macam buah yang mulai ranum. Kancil memanfaatkan situasi
ini untuk berkeliling melihat pemandangan sekitar danau.
Si Kancil berjalan menyisir setiap
sudut danau hingga sampailah disebatang pohon Delima yang tengah berbuah lebat.
Karena merasa sudah cukup jauh berjalan. Ia memutuskan berhenti sejenak untuk
beristirahat. Si Kancil menyandarkan tubuhnya pada batang mungil pohon delima.
Karena terlalu lelah berjalan, akhirnya si Kancil tertidur ditempat itu. Tapi
belum lama ia terlelap, telinganya yang tajam menangkap suara berdengung yang
membisingkan. Si Kancil memasang mata dan telinga untuk mencari sumber suara.
Ternyata suara tersebut berasal dari ribuan tawon Gung yang hendak pulang
kerumahnya di atas pohon nangka yang tak jauh dari tempatnya bersandar.
Sekawanan lebah itu hendak pulang kesarang
mereka setelah seharian mencari makan. Mata si Kancil tak bisa lepas mengikuti
kawanan lebah sampai dirumahnya yang berbentuk bulat dan menggantung. Alangkah
besarnya kuasa pencipta alam ini, pikirnya.
Belum habis ketakjuban si Kancil
terhadap sang pencipta, dari kejauhan ia mendengar suara sang Kera
memanggilnya. Mendengar panggilan dari sang Kera, Kancil buru-buru menjawab dan
menghampirinya.
“Dari mana saja kamu? Kenapa lama
sekali?” Tanya Kera marah-marah.
Kancil yang sadar bahwa posisinya sekarang
hanya sebagai pembantu Kera berusaha menenangkan situasi.
“Maaf tuan, bukannya saya melupakan
apa yang menjadi kewajiban saya. Saya tidak buru pulang, karena saya ingin
berkeliling sekitar danau untuk mencari makanan yang terbaik untuk tuan.” Kata
Kancil menjelaskan.
Kerapun akhirnya mengerti bahwa kancil
berlama-lama didanau hanya untuk mencarikan mana yang terbaik untuknya.
“Lalu apa yang kau dapatkan?” Tanya
Kera.
“Banyak sekali tuan. Namun sesuai apa yang
saya ucapkan, saya mencari yang terbaik untuk tuan. Yaitu pisang!”
“Pisang?” Kera balik bertanya penuh
girang.
“Iya tuan, disebelah sana.” Kancil
menunjuk arah bertolak belakang dari tempatnya tertidur tadi. Mereka berdua
saling beriringan menuju rumpun pohon pisang yang ditunjukan kancil. Kera
langsung memanjat pohon pisang tersebut sesampainya disana. Kembali, kejadian
beberapa hari yang lalu harus terulang. Kera menikmati pisang tersebut untuk
dirinya sendiri dan memberikan kulitnya kepada si Kancil. Kejadian ini tentu
saja membuat sakit hati Kancil kepada Kera semakin menjadi.
Matahari sudah hilang digantikan
gelapnya malam saat Kancil dan Kera berjalan menuju tempat peristirahatan
mereka. Kera langsung terlelap tidur diatas tumpukan daun kering yang disiapkan
Kancil tadi siang. Sementara Kancil tetap saja tak bisa memejamkan mata. Ia
terus berpikir bagaimana bisa melampiaskan sakit hatinya terhadap Kera. Terus
ia berpikir dan akhirnya ide itu datang juga.
Kancil yang baru saja mendapatkan ide
cemerlang, langsung meninggalkan tempat peristirahatan. Ia berjalan kearah
danau menuju pohon Delima yang tengah berbuah lebat. Disinilah ia akan
melakukan pembalasan terhadap Kera. Waktu berlalu begitu lambat rasa si Kancil.
Ketika rasa bosan hampir menghinggapi, jauh dari dalam lebatnya hutan terdengar
kokok Ayam jantan membahana. Matanya yang semula dihinggapi oleh kantuk serta
merta kembali bersinar cerah. Semua kantuknya hilang bersamaan lengking suara Ayam
jantan menandakan pagi. Ia bergegas duduk bersila dibawah pohon Delima.
Langit yang semula kelam telah berubah
warna menjadi merah membara. Rimba belantara yang semula gulita perlahan-lahan
menjadi terang dan hangat hingga membangunkan Kera dari lelap tidurnya. Ia kemudian
duduk diatas tumpukan daun kering yang semalam menjadi alas tidurnya. Ada yang
aneh, ia tidak melihat si Kancil disekitar situ. Lalu kemana dia? Mungkinkah
sedang mencari makanan untuknya? Ya, pasti Kancil tengah mencari makanan. Namun
setalah lama menunggu, ternyata Kancil tidak kelihatan batang hidungnya. Apakah
Kancil telah pergi meninggalkannya? Tidak, tidak mungkin Kancil pergi. Ia tentu
saja ingin turut berjasa bagi sang raja. Tapi kemana ia pergi?
Kera tak mau berlama-lama dengan
pertanyaan yang terus berkecamuk dalam hatinya. Ia memutuskan untuk pergi
mencari Kancil sekaligus berusaha menemukan makanan. Ia akhirnya melihat sang si
Kancil yang tengah duduk manis
dirimbunya rerumputan hutan tak jauh dari pohon Delima. Namun apa yang sedang
dilakukan Kancil, Tanya Kera dalam hati. Ia berjalan mendekati si Kancil yang
sedang duduk bersila layaknya pertapa.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Kera
membentak.
Kancil terperanjat kaget. Matanya
membelalak dan kakinya mundur beberapa langkah.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Kera
sekali lagi.
Cukup lama Kancil membelalakkan mata
tanpa bisa bersuara.
“Kenapa kamu?” Tanya Kera lebih keras.
Barulah Kancil seolah-olah mendapatkan
kembali separuh nyawanya. Ia buru-buru menjawab pertanyaan Kera
“Maafkan saya, tidak segera menjawab
pertanyaan tuan. Saya tadi merasakan bahwa sukma saya sedang berada dialam
lain. Alam para dewa.”
Kera terheran-heran mendengar jawaban
Kancil.
“Alam para dewa? Apa maksudmu?” Kancil
berjalan mendekati Kera
“Bukankah tuan sedang mencari pusaka
kenong para dewa dihutan ini? Waktu mencari makanan kemarin sore, saya mendapat
bisikan dari peri penunggu danau ini. Ia menyuruh saya agar bertapa di tempat
ini. Oleh karena itu, semalam saya meninggalkan tuan ketika sudah terlelap.”
“Lalu apa yang kau dapatkan?” lanjut
Kera.
Kancil tidak langsung menjawab
pertanyaan majikannya. Ia malah nampak kebingungan.
“Kenapa kau malah bingung seperti itu?
Kau membohongiku dengan mengarang cerita tentang peri penunggu danau?” Kera
bertanya.
“Bukan, bukan begitu tuan. Sebenarnya
saya tadi sudah mendapat petunjuk dimana kenong pusaka itu. Tapi………”
“Tapi apa?” Desak Kera.
“Saya tidak berani mengatakannya.”
Mendengar jawaban Kancil yang berbelit-belit tersebut, tentu saja membuat Kera
naik pitam. Ia kemudian mencengkeram leher Kancil kuat-kuat.
“Katakan.” Perintah Kera dengan marah.
“Baik tuan.”ucap si Kancil setengah
ketakutan.
Kera melepaskan cekikannya. “Sekarang
ceritakan.” Ucapnya.
Kancil menarik nafas panjang sebelum
mulai bercerita.
“Saya memang telah mengetahui letak
dan kelebihan dari pusaka tersebut berkat petunjuk para dewa. Siapapun yang
memiliki pusaka kenong wasiat itu akan menjadi penguasa seluruh belantara
menjadi wakil para dewa yang tak terbantahkan.”
“Aku sudah tahu tentang kelebihan
kenong wasiat itu, semuanya! Sang raja, telah memberitahuku.” Kata Kera menyela
cerita Kancil.
“Kalau tuan sudah tahu dengan semua
kelebihan itu, mengapa tuan tidak ingin memilikinya? Jika memukulnya, tuan bisa
memanggil para dewa dan memohon bantuannya. Dengan senang hati, para dewa
tersebut akan membantu tuan.” Kancil merayu!
Kera, mulai termakan rayuan Kancil.
Raut wajahnya menandakan ia mulai berpikir untuk memiliki pusaka tersebut.
benar juga apa yang dikatakan Kancil, dengan Kenong para dewa ditangannya.
Bahkan sang Harimau sang raja hutanpun bukan lawan yang sepadan.
“Tuan, semua hewan penghuni hutan ini
akan tunduk pada anda termasuk sang raja. Tidakkah anda ingin melihat keturunan
anda hidup mulia?” Tambah Kancil meyakinkan.
Keraguan sekaligus keinginan Kera
mengenai Kenong pusaka tersebut semakin menjadi.
“Benar juga apa yang kau katakan, tapi
mengapa kau tidak ingin memiliki pusaka tersebut sementara kau telah mengetahui
dimana pusaka tersebut berada?” Tanya Kera.
“Pada mulanya saya memang ingin
memiliki pusaka tersebut, namun ternyata Kenong dewa itu terletak disuatu
tempat yang tidak bisa saya ambil. Dan tuanlah satu-satunya harapan saya. Kalau
tuan bisa mendapatkannya, saya hanya berharap semoga saja tuan mau menerima
saya dan seluruh keturunan saya nantinya menjadi abdi tuan yang paling setia.”
Jawaban yang sempurna dari Kancil membuat
Kera yakin bahwa apa yang dikatakan pembantunya tersebut bukanlah sebuah
kebohongan.
“Memang dimana letak pusaka itu hingga
kau tak bisa mengambilnya?” Tanya Kera penuh ingin tahu.
“Ikutlah dengan saya tuan.”
Kancil membawa Kera mendekati pohon
Nangka yang tidak jauh dari tempatnya bertapa.
“Pasang telinga tuan baik-baik dan
dengarkanlah.” Perintah Kancil.
Kera yang sudah sangat penasaran
dengan keberadaan Kenong pusaka menurut saja. Sayup-sayup ia mulai mendengar
suara gemuruh yang berasal dari tempat diatasnya.
“Tuan mendengarnya? Suara gemuruh itu?
Itu adalah efek yang ditimbulkan cari Kenong Dewa tersebut. dan jika ia
dipukul, maka seluruh hutan ini akan mendengarnya sebagai pertanda bahwa yang
memukulnya adalah raja baru mereka.” Kancil menjelaskan.
“Lalu?” Kera mendesak.
Kancil melanjutkan penjelasannya.
“Pusaka Kenong Dewa tersebut terletak
menggantung dipucuk pohon Nangka ini. Anda adalah bintang yang paling pandai
memanjat, jadi letak pusaka itu tidak akan menjadi masalah bagi anda.”
Mengetahui keberadaan Kenong Dewa
tersebut, Kera bergegas hendak memanjat pohon Nangka yang ditunjukkan Kancil,
Kancil segera mencegahnya.
“Tunggu tuan! Penjelasan saya belum
berakhir.”
“Penjelasan apa lagi?”
“Tuan harus memukul Kenong Dewa dengan
tengan tuan sendiri. Tuan juga harus memejamkan mata serta muka tuan juga harus
berada tepat didepannya. Karena penunggu Kenong Dewa itu selain mengenal muka
anda juga harus hafal dengan aroma tubuh tuan.” Jelas Kancil selanjutnya.
“Hanya itu persyaratannya?”
“Benar tuan. Namun, saya tidak berani
untuk menunggu disini. Suara Kenong Dewa
itu akan menyakiti telinga saya. Tapi tuan tidak usah khawatir dengan itu.
Sebab, menurut wasiat yang saya terima siapapun yang memukul pusaka itu akan
mendengarkan suara layaknya alunan musik yang sangat merdu.”
“Baiklah kalau begitu. Tunggu aku
ditempat rumpun pisang yang kemarin. Setelah berhasil mengambilnya aku akan
menemuimu disana.” Kera memerintah.
“Duli tuanku.”
Kancil pergi meninggalkan tempat itu,
dan Kera juga langsung memanjat pohon Nangka tempat bersemayamnya Kenong Dewa
incaran Harimau sang raja hutan. Kancil berlari sekuat tenaga, karena ia tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kera memanjat pohon Nangka dengan
cepatnya. Matanya tajam mengawasi puncak pohon dan telinganya semakin jelas
mendengar dengung suara Kenong Dewa. Akhirnya, mata sang Kera menangkap benda berwarna coklat
berbentuk bulat layaknya Kenong. Semangatnya memuncat, hingga ia mempercepat
langkahnya menuju puncak pohon dimana pusaka itu berada. Saat Kenong Dewa itu
sudah tepat berada didepan mata, kemudian ia menciumnya dan mulai memejamkan
mata. Semua petunjuk dari si Kancil telah dijalankannya, hanya kurang satu
lagi. Yaitu memukulnya sekuat tenaga. Dengan hati berdebar-debar dan penuh
harap, ia kumpulkan segenap tenaganya kemudian memukul kenong tersebut
kuat-kuat. Bersamaan dengan tangannya menembus Kenong Dewa yang ternyata adalah
sarang tawon Gung tersebut maka ribuan tawon yang merasa terusik keluar dari
sarangnya untuk mencari tahu.
Kera masih memejamkan mata hingga ia
tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ia baru sadar, ketika seluruh
tubuhnya mulai merasakan sakit karena sengatan ribuan tawaon tersebut.
Mengetahui bahaya yang mengancam, sang Kera langsung beranjak turun dari pohon.
Namun lebah-lebah yang tak terhitung banyaknya tidak begitu saja membiarkan
Kera lolos. Mereka terus mengejar sang Kera disertai sengatan-sengatan
disekujur tubuhnya hingga bengkak disana-sini. Karena panik, Kera tergesa-gesa
menuruni pohon Nangka hingga akhirnya ia jatuh terjerembab ketanah.
Kera terus berlari dengan diikuti
lebah-lebah yang mengejar sambil tak hentinya mengumpat si Kancil. Ribuan lebah
itu baru berhenti mengejarnya setelah Kera bersembunyi dengan jalan membenamkan
dirinya di danau. Kera keluar dari danau dengan terengah-tengah karena menahan
nafas beberapa lama. Sekujur tubuhnya bengkak serta sakit karena sengatan tawon
dan jatuh dari pohon nangka. Dengan langkah tertatih-tatih ai memutuskan untuk
kembali menghadap Harimau agar dapat melaporkan semua kejadian yang barusaja
dialaminya.
BUAYA YANG BODOH
Kancil berjalan begitu enteng setelah
keberhasilannya menipu sang Kera. Sepanjang perjalanan ia tersenyum dan kadang
pula tertawa terbahak. Betapa bangga ia sederet kemenangan yang telah ia raih.
Pertama, ia bisa dengan puas menikmati timun Pak Tani walaupun pada akhirnya
tertangkap juga. Setelah itu, dengan mulus ia berhasil mengelabui Anjing lugu
milik pak tani dengan berbagai cerita bohongnya. Dan barusan ia berhasil menipu
sekaligus membuat Kera meringis menahan sakit karena telah menyakitinya.
Berbagai keberhasilan yang telah
dicapainya merasuki otak Kancil dan mulai menganggap dirinya sebagi yang
terbaik diantara semua hewan. Seharusnya akulah yang menjadi raja hutan, bukan
Harimau, pikirnya. Ia terus larut dalam euforia kemenangannya hingga tak terasa
hari sudah sore.
Kerongkongan Kancil terasa kering
setelah hampir seharian berjalan menyusuri lebatnya hutan. Ia terus berjalan
untuk mencari keberadaan sumber air yang paling dekat. Akhirnya ia menemukan
sungai dan segera ia minum sepuas-puasnya. Setelah hilang semua dahaganya
ternyata hari telah beranjak malam. Ia memutuskan untuk menginap disitu dengan
pertimbangan tidak akan kesulitan mencari sumber air pada keesokkan harinya.
Si Kancil menyandarkan badannya pada
sebuah pohon besar sambil membayangkan bagaimana muka Kera setelah tersengat
ribuan tawon. Kembali ia tertawa terpingkal-pingkal memecah heningnya malam dan
pada akhirnya ia terlelap dengan pulasnya.
Hangatnya pelukan sinar mentari dan
riuh kicau burung membangunkan si Kancil yang terbuai mimpi. Hari sudah pagi,
ucapnya. Namun si Kancil tetap bermalas-malasan di tempatnya semula sambil
berpikir akan kemana ia hari ini. Ia mereka-reka rencana tentang perjalanannya
hari ini, belum selesai ia membuat rencana perjalanan perutnya berbunyi tanda
lapar. Matanya berkeliling mencari makanan, namun yang dicarinya tidak kunjung
ditemukan. Akhirnya Kancil berjalan kesungai untuk sekedar minum.
Si Kancil sama sekali tidak menyadari
bahwa didalam sungai tersebut telah menunggu seekor Buaya yang sudah
mengawasinya sejak tadi pagi. Bersamaan dengan langkah kaki Kancil yang
mendekati sungai, Buaya tersebut juga turut berenang ketepi. Kancil berada
ditepi sungai untuk minum tanpa tahu bahaya apa yang sedang mengancam dirinya.
Ketika mulutnya menyentuh air, tiba-tiba Buaya menerkamnya dan barulah ia sadar
saat semuanya sudah terjadi.
“Mati aku” kata Kancil.
Sang Buaya kemudian membawa Kancil
berenang ketengah sungai untuk menyantapnya. Kancil harus bisa berpikir cepat
untuk bisa menyelamatkan diri.
Sesampainya ditengah sungai, Buaya
membuka mulutnya lebar-lebar hendak memakan Kancil. Disaat-saat yang sangat
kritis tersebut itulah Kancil kemudian menemukan ide untuk menyelamatkan
dirinya.
Sesaat sebelum Buaya mengatupkan
mulutnya, Kancil berkata,
“Tunggu tuan Buaya, saya harap anda
mau bersabar untuk mendengar penjelasan saya.” Tentu saja Buaya merasa aneh
dengan apa yang tengah terjadi.
Kancil sosok mungil itu berani berkata
demikian.
“Beraninya kamu berkata demikian
padaku? Kamu itu hanya seekor kancil yang sudah tidak berdaya didalam mulutku.”
Buaya berkata penuh marah.
“Benar tuan, saya memang hanya seekor
Kancil kecil yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa didalam mulut anda. Namun
jika tuan memakan saya, tuan sendirilah yang akan celaka.” Jawab Kancil.
“Apa maksudmu?’ Tanya Buaya semakin
marah.
“Kalau tuan memakan saya sekarang,
tuan dan semua keturunan tuan akan dikutuk oleh para dewa penguasa langit yang
marah.” Jelas Kancil.
Buaya semakin tidak mengerti dengan
apa yang dijelaskan Kancil. Ia tidak peduli lagi dan ingin segera mengunyah
Kancil.
“Sekali mohon tuan mau meunggu untuk
tidak memakan saya. Saya akan jelaskan semuanya. Setelah itu terserah tuan
hendak melakukan apa.” Kancil memelas.
“Sekarang cepat katakan! Aku sudah
tidak sabar untuk memakanmu.” Bentak Buaya.
Dengan posisi yang masih terjepit
didalam mulut Buaya, Kancil kemudian bercerita.
“Sebenarnya, sekarang ini saya sedang
diutus oleh para dewa untuk mengambil pusaka kenong wasiat mereka yang
tertinggal di hutan ini. Malam tadi sewaktu saya menginap dibawah pohon itu,
saya diberi petunjuk bahwa keberadaan pusaka tersebut sudah tidak jauh lagi
dari tempat ini. Oleh karena itulah saya buru-buru bangun untuk melaksanakan
perintah tersebut.”
Semua hewan di hutan tempat hidup
Kancil dan Buaya memang sangatlah mempercayai berbagai cerita mistis, baik itu
tentang pusaka, hantu, dan lainnya. Hal tersebutpun terbukti ketika Buaya
tiba-tiba menjadi mengendorkan cengkraman mulutnya pada tubuh Kancil.
“Benarkah apa yang kau katakan itu?”
tanya Buaya.
“Saya sudah hampir mati dimakan oleh
tuan. Jadi untuk apa saya berbohong kepada anda. Malah akan menambah dosa saya
ketika menghadap para dewa.” Tegas Kancil.
Buaya mulai berpikir untuk melepaskan
si Kancil, namun perutnya juga sudah sangat lapar dan Kancil merupakan menu
sarapannya pagi ini.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?
Haruskah aku melepaskanmu, sementara aku juga memerlukan kamu sebagai
sarapanku?”
Kancil langsung tanggap dengan situasi
yang sedang dihadapi.
“Untuk sekarang ini, saya mohon
kebaikan hati tuan agar mau melepaskan saya. Setelah saya menjalan tugas dari
para dewa, saya akan kembali kesini lagi untuk menjadi santapan tuan. Apabila
semua tanggung jawab saya telah usai, saya juga tidak ingin berlama-lama hidup
karena para dewa pasti telah menunggu saya.” Kancil berusaha meyakinkan.
“Baiklah kalau begitu, aku akan
melepaskanmu. Namun kau harus kembali lagi kesini untuk menjadi santapanku.”
Buayapun berenang lagi ketepi sungai untuk mengembalikan Kancil setelah merasa
yakin dengan semua penjelasan dari mangsanya tersebut.
“Besar terimakasih saya kepada tuan
Buaya yang sudi bermurah hati. Saya berjanji akan segera kembali kesini untuk
menjadi santapan tuan setelah mengambil pusaka dan mengembalikannya. Saya juga
akan menyampaikan kepada para dewa bahwa anda adalah hewan yang paling baik
hati, hingga mereka mau melimphakan anugerahnya kepada tuan.” Ucap Kancil penuh
rayu.
“Jika kau bertemu dewa akan
menyampaikan hal itu padanya?” Kata Buaya menyelidiki.
“Saya tidak akan berbohong. Bukankah
sudah saya katakan tadi bahwa setelah mengembalikan pusaka, saya akan segera
kembali kesini untuk menjadi santapan tuan? Jadi biarlah saya melimpahkan semua
anugerah yang akan diberikan para dewa kepada saya untuk tuan. Karena setelah
mati, saya akan menerima anugerah yang jauh lebih besar. Kalau begitu saya
permisi dulu tuan. Saya tidak ingin menunda-nunda perjalanan saya dalam
mengmban tugas.” Kancil segera mohon pamit karena khawatir Buaya akan berubah
pikiran dan kembali menyantapnya.
Tanpa menunggu jawaban Buaya, ia
langsung meinggalkan tempat itu dan berlari sekuatnya walau kakinya terluka
akibat gigitan Buaya yang hendak memangsanya. Kancil terus berlari mengikuti
arus aliran sungai untuk mencegah kecurigaan dari sang pemangsa. Setelah
melewati kelokan sungai, barulah ia merasa yakin bahwa Buaya itu sudah tidak
bisa lagi melihatnya barulah kemudian si Kancil berhenti untuk memeriksa luka
dikakinya. Ternyata lutunya terluka akibat gigitan taring Buaya yang tajam.
Tapi semua sakit disekujur badannya setelah ia melihat beberapa pohon Ketela
yang nampaknya sudah berbuah besar. Ia berlari mendekati rumpun pohon buah
tersebut dan dengan kakinya Kancil mulai mengais-ngais tanah agar dapat memakan
buah yang tersembunyi didalamnya. Ternyata pohon tersebut telah berbuah. Begitu
Kancil melihat Ketela merah yang sudah masak, langsung ia menyantapnya dengan
lahap.
Selesai makan, Kancil berjalan menuju
pohon beringin besar yang tak jauh dari situ. Ia menyandarkan badannya dipohon
itu untuk sekedar beristirahat. Lama Kancil duduk dibawah pohon beringin,
barulah ia kembali merasakan sakit di lututnya.
“Kalau begini aku juga tidak akan
mampu berjalan jauh, lebih baik aku tinggal sementara disini. Bukankah disini
banyak terdapat makanan dan dekat dengan sumber air?” ucapnya.
Merasa tidak mungkin lagi dapat
berjalan untuk jauh-jauh meninggalkan Buaya, Kancil memutuskan untuk tinggal
sementara ditempat itu.
Beberapa hari terlewati, luka di lutut
Kancil telah sembuh sempurna. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu hari
ini. Si Kancil akan meneruskan pengembaraanya untuk menyusuri seluruh hutan.
Selesai sarapan, ia berjalan menyusuri arus aliran sungai guna menghindari
Buaya. Setelah cukup jauh, ia membelokkan langkahnya memasuki hutan. Kancil
terus berjalan melawati pepohonan besar dengan akar-akarnya yang menonjol
keluar.
Dari depan terdengar sayup-sayup suara
menggerutu. Kancil mencoba mencari tahu sumber suara. Ia terus berjalan untuk
menyelidiki siapa gerangan yang tengah menggerutu itu.
“Sepertinya aku mengenal suara ini”
kata Kancil.
Semakin mendekat, semakin ia bisa
memastikan sang empunya suara.
“Itu adalah suara Kera, bisa bahaya
kalau dia melihatku. Namun aku juga penasaran ingin melihat bagaimana
keadaannya sekarang, setelah ribuan lebah menyengatnya beberapa hari yang
lalu.” Kancil mengendap-endap untuk mengintip keadaan Kera. Benar dugaan
Kancil, bahwa pemilik suara itu adalah Kera yang ditipunya kemarin.
Setengah ketakutan, Kancil mengintip
Kera lebih dekat lagi. Dilihatnya sekujur tubunya masih bengkak dan kedua mata
sang Kera hampir tidak terlihat akibat sengatan lebah. Melihat keadaan Kera,
Kancil menahan tawa. Ia sangat puas dengan apa yang telah menimpa Kera.
“Aku akan melaporkan perbuatan Kancil
kepada sang raja. Aku yakin pasti sang raja akan marah besar dan memangsanya.”
Kata Kera.
Mendengar ucapan Kera barusan membuat
Kancil terperanjat kaget. Kalau sampai ia dilaporkan kepada sang raja, tentulah
ia akan menjadi santapannya.
“Lepas dari mulut Buaya, mulut Harimau
telah menanti” kata kancil dalam hati. “Aku harus segera pergi menjauhi Kera.”
Kancil terus mengawasi gerak-gerik Kera agar bisa memastikan kemana ia harus
mengambil arah. Melihat Kera berjalan menuju tengah hutan, Kancil mengambil
arah sebaliknya. Ia langsung berlari kencang agar bisa menghindari kejaran
Harimau jika suatu saat memburunya.
Menjelang siang, sampailah ia ditepian
sungai yang mengalir begitu deras hingga tidak mungkin ia menyeberanginya.
Kancil berjalan berputar-putar untuk mencari tempat dangkal disungai itu dan
menyebrang. Namun sudah jauh ia melangkah, tidak juga ia menmukan apa yang
dicarinya.
Si Kancil kemudian beristirahat ditepi
sungai untuk mencari akal. Lama ia memutar otak untuk menemukan cara melewati
sungai didepannya namun tetap saja ia tidak manemukan akal.Kancil sudah hilang
harapan. Ia bangkit dan hendak meninggalkan sungai, namun belum sempat ia
membalikkan badan untuk melangkah pergi seekor Buaya menerkamanya. Ternyata
Buaya yang menerkamnya sekarang adalah Buaya yang beberapa hari lalu
melepaskannya..
“Hendak kemana lagi kamu sekarang?
Ingin membohongiku lagi?” Kata Buaya. Kancil sadar bahaya yang sangat besar
tengah mengancamnya. Namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“Justru sebaliknya tuan Buaya. Sudah berhari-hari,
saya menyusuri sungai ini untuk mencari tuan dan ternyata kita bertemu disini.”
Kata Kancil.
“Apa maksudmu dengan mencariku? Aku
menunggumu ditempat yang sama selama dua hari. Namun kamu sama sekali tidak
menampakkan diri.” Buaya menanggapi.
Kancil melihat kemarahan Buaya yang
sepertinya sudah mencapai titik puncak. Ia berkata dengan lembut untuk
menenangkan pemangsanya ini,
“Maafkan saya kalau telah membuat tuan
lama menunggu. Kemarin, setelah saya berhasil melaksanakan tugas para dewa,
mereka mengundang saya untuk mampir di istana kahyangan. Karena itulah saya
tidak bisa menemui tuan.”
Buaya percaya saja dengan alasan yang diberikan Kancil. Ia melepaskan kaki
kancil dari cengkraman gigitannya dan balik bertanya.
“Kau diajak untuk mengunjungi istana
dewa?”
Mengetahui kakinya telah dilepaskan
dan Buaya sudah mulai percaya dengan alasan yang diberikannya, Kancil malah
mendekati mulut Buaya agar ia tidak curiga.
“Sebenarnya, disana saya disuruh
memilih berbagai anugerah termasuk untuk menggantikan posisi Harimau menjadi
raja hutan. Tapi saya tidak bisa menerimanya karena masih punya janji dengan
tuan.” Kancil menjelaskan.
“Namun setelah bertemu dan mengunjungi
istana para dewa saya mempunyai tawaran yang lebih baik untuk tuan dan seluruh
buaya disungai ini.”
Buaya terlihat bingung dengan
penjelasan Kancil.
“Kamu hendak menawarkan apa untukku?”
“Tuan, sewaktu saya berada di
kahyangan saya menceritakan kebaikan hati tuan yang sudi melepaskan saya
walaupun anda tengah dilanda kelaparan. Maka dari itu, mereka menghadiahkan
kepada saya puluhan Kerbau untuk dijadikan mangsa tuan.” Kancil melanjutkan
kebohongannya.
Buaya yang sudah terlanjur percaya
kepada bualan si Kancil girang alang kepalang karena akan mendapatkan Kerbau
sebagai mangsanya hari ini.
“Dimana Kerbau-kerbau itu sekarang?”
Buaya bertanya.
“Mereka tengah dalam perjalalan
kemari, oleh karena itu saya minta kepada tuan untuk mengumpulkan semua teman-teman tuan agar saya bisa membagikan
Kerbau-kerbau itu dengan adil. Sementara tuan memanggil teman-teman anda, saya
akan tetap berada disini untuk menunggu para Kerbau.”
Buaya menurut saja dengan apa yang
dikatakan si Kancil.
“Baiklah, aku akan segera memanggil
teman-temanku. Tunggulah disini dan jangan-bernai-berani berbohong padaku!”
Buaya kemudian pergi untuk memanggil semua teman-temannya. Kancil sama sekali
tidak meninggalkan tempat tersebut. Ia sudah menemukan cara supaya dirinya bisa
menyebrangi sungai.
Tidak lama kemudian datanglah Buaya dan
serombongan temam-temannya.
“Mana Kerbau yang kau janjikan?” Tanya
Buaya.
Kancil berjalan mendekati serombongan
buaya tersebut.
“Sabar tuan-tuan, bukankah tadi saya
sudah berkata bahwa saya akan menghitung dulu berapa jumlah Buaya di sungai ini
agar saya bisa membagikan Kerbau-kerbau itu dengan adil.”
Buaya yang paling besar diantara semua
rombongan berkata dengan suara tinggi,
“Kami semua sudah berkumpul disini,
cepat kamu bisa menghitung kami semua sekarang.”
“Jika anda semua bergerombol seperti
itu, bagaimana mungkin saya bisa menghitung tuan-tuan dengan tepat.” Jawab
Kancil tenang.
“Lalu?”
“Saya harap, tuan-tuan mau berbaris
agar saya mudah menghitungnya.” Perintah Kancil.
Buaya menuruti perintah yang diberikan
Kancil. Mereka kemudian berbaris disepanjang tepian sungai. Namun belum selesai
mereka berbaris, Kancil bersuara.
“Bukan seperti itu yang saya inginkan.
Kalau tuan-tuan berbaris disepanjang tepian sungai, saya juga akan kesulitan
menghitungnya, karena harus berjalan dari ujung sini sampai ujung satunya.”
“Jadi kami harus berbaris seperi apa?”
tanya Buaya yang sudah tidak sabar.
“Berbarislah tuan-tuan layaknya
jembatan di sungai, saya akan menghitung anda semua dengan cara menaiki
punggung anda satu persatu.” Komando Kancil berikutnya.
Puluhan buaya itupun kembali menuruti
perintah dari si Kancil. Mereka merubah formasi barisan, dimana semula mereka
berbaris disepanjang tepian sungai sekarang berubah menjadi layaknya jembatan
hidup disepanjang derasanya arus sungai.
“Saya akan mulai menghitung.”
Bersamaan dengan itu kancil melompat
ke punggung Buaya pertama yang berada tepat didepannya.
“Saya harap semuanya bisa tenang,
karena saya juga tidak ingin tenggelam di sungai ini.”
“satu, dua, tiga,..... dan
seterusnya.” Kancil menghitung Buaya-buaya itu. Dasar Kancil, semula ia hanya
berada diatas punggung Buaya. Namun lama-kelamaan ia berpindah keatas kepala
Buaya menghitunganya dengan pukulan
kakin kekepala-kepala Buaya itu.
“Empat puluh.” Hitung Kancil ketika
sampai pada Buaya yang terakhir sekaligus ia sudah berada diseberang sungai dan
segera ia melompat untuk mencapai daratan. Setelah menginjakkan kakinya di
daratan, ia langsung berlari secepatnya guna menghindari kejaran Buaya jika
mereka menyadari bahwa ia telah membohonginya. Melihat Kancil yang melarikan
diri setelah berhasil menyebrang sungai, barulah mereka sadar telah ditipu
lagi.
Gerombolan Buaya tersebut kemudian
menghantam-hantamkan ekor mereka kesungai sebagai pelampiasan rasa marah. Namun
kemarahan mereka tidak bisa berbuat banyak, karena Kancil telah jauh berlari
dan lagi-lagi berhasil menyelamatkan diri.
KEINGINAN
MEMBAWA CELAKA
Kancil berlari sekuat tenaga. Ia
menerobos apa saja yang berada didepannya. Tingginya ilalang bukanlah
penghalang, pohon menjulang tidak menjadi aral melintang.
“Aku harus terus berlari” kata Kancil.
Berlari dan berlari hanya itu yang
bisa dilakukannya untuk menghindari kejaran Buaya. Kalau ia sampai tertangkap
pastilah Buaya-buaya itu akan mencincangnya. Nafasnya terengah-engah karena
sekian lama berlari, akhirnya ia berhenti di sebuah sendang, Kancil minum
kemudian beristirahat.
“Aku telah membohongi Pak Tani dan
Anjingnya, Kera, dan Buaya. Sekarang aku tengah menghadapi masalah yang berat
karena Kera akan melaporkan aku kepada Harimau. Sang raja pasti akan memangsaku
karena ini.” kata Kancil dalam hatinya.
Ia duduk termenung dipinggir sendang
itu merenungkan nasibnya.
“Aku pasti bisa menghadapinya.” Kancil
menyemangati dirinya.
Merasa sudah cukup beristirahat,
Kancil meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan. Langkahnya gontai menyusuri
lebatnya hutan. Cukup jauh berjalan, Kancil bertemu dengan serombongan Kerbau.
“Hendak kemana kamu Cil?” Tanya kepala
rombongan Kerbau, kepada Kancil.
“Tidak tahu, aku hanya ingin berkelana
mengelilingi seluruh hutan ini. kalian sendiri mau kemana?” Kancil balik bertanya.
“Kami semua akan pergi menghadap sang
raja. Seluruh hewan di hutan ini mendapat undangan. Apakah kamu tidak diundang
sang raja Cil?”
“Tidak! Memanganya ada apa gerangan
sang raja mengumpulkan seluruh warga hutan? Adakah hal sangat penting?” Kancil
ingin tahu.
“Kami sendiri tidak tahu. Beberapa
hari yang lalu, Merpati utusan raja menemui kami untuk menyampaikan berita ini.
Sang raja menghendaki seluruh rakyatnya berkumpul pada purnama nanti.” Jelas
kerbau.
“Aku tidak menerima undangan itu,
mungkin karena aku selalu berpindah-pindah tempat jadi tidak bertemu dengan
utusan raja.”
“Walaupun kamu tidak mendapatkan
undangan, seharusnya kamu tetap datang kepertemuan itu, karena engkau juga
warga di hutan ini. sebagai warga yang baik, tentulah kau harus mentaati
peraturan disini.” Bujuk Kerbau mengajak Kancil.
Kancil sangatlah tahu apa yang akan
terjadi kalau saja ia menghadiri acara tersebut. Harimau akan langsung
memakannya, karena Kera pastilah sudah melaporkan tindakannya.
“Mungkin karena aku hanya hewan kecil
yang sama sekali tidak berpengaruh di hutan ini, hingga tidak perlu mendapatkan
undangan. Lebih baik kalian saja yang pergi, dan sampaikan salam hormatku
kepada sang raja.” Kancil beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kami akan
menyampaikan salammu kepada sang raja.”
Selesai mengatakan itu, merekapun
berpisah. Kancil terus menerus menebak apa yang akan dibicarakan dalam
pertemuan itu. Pikirannya semakin dipenuhi oleh kalut dan takut. Semakin ia
berjalan, semakin ketakutan itu menghantuinya hingga si Kancil menghentikan
langkah karena malam telah datang.
Sementara itu, Kera telah sampai
ketempat Harimau sang raja hutan. Malam itu Kera menceritakan semua kejadian
yang baru saja dialaminya bersama Kancil. Tentu saja laporan Kera kepadanya
membuat Harimau sangat geram kepada Kancil.
“Tapi kamu juga bodoh. Aku mengutusmu
karena menganggapmu sebagai hewan yang paling cekatan diantara yang lain, namun
ternyata kamu tidak sepintar yang aku duga.” Bentak Harimau.
Kemarahan Harimau tentu saja membuat
wajah Kera pucat pasi.
“Maafkan hamba yang mulia. Tapi
sungguh Kancil sangatlah cerdik dan saya akhirnya terbuai rayuannya..” Ucap
Kera gemetar menahan takut.
“Bukan Kancil yang cerdik, melainkan
kamu yang bodoh.” Kata Harimau lebih keras, yang tentu saja membuat Kera
semakin ketakutan.
“Maafkan saya paduka. Tolong jangan
hukum saya. Saya bersedia melakukan apapun demi maaf dari yang mulia.” Kera
memohon.
Semula Harimau memandang Kera dengan
tatapan penuh kemarahan, namun mendengar permintaan maaf dan cerita Kera yang nampaknya
tidak dibuat-buat menjadikannya luluh juga.
“Baiklah, aku maafkan kamu.” Kata
harimau.
Tatap mata Kera langsung berbinar
mendengar jawaban Harimau rajanya. Mukanya kembali cerah dan senyum merekah
lagi dibibirnya.
“Terimakasih yang mulia, terimaksih.”
Ucap Kera berkali-kali. Begitu mendapatkan permintaan maaf dari Harimau, Kera
hendak langsung meninggalkan tempat itu dengan tujuan menghindari kemarahan
selanjutnya. Belum sempat ia berpamitan, Harimau meneruskan perkataanya.
“Sebagai ganti dari kekeliruan yang
kau buat aku akan memberikan tugas baru untukmu.”
“Tugas apa gerangan yang akan yang
mulia berikan kepada saya? Saya takut kalau tidak mampu mengembannya.” Ucap
Kera sambil menundukkan wajah.
“Besok malam aku mengundang seluruh
warga hutan untuk berkumpul ditempat ini.” Jelas Harimau. “Aku ingin pergi
mengembara beberapa waktu kedepan, dan dalam pertemuan itu akan diumumkan bahwa
aku menyerahkan tampuk kepemimpinanku untuk sementara kepada Gajah.” Jelas
Harimau.
Kera sempat terperanjat dengan perkataan
Harimau.
“Bukankah biarpun paduka berkelana,
anda tetaplah raja kami?” Tanya Kera.
“Aku memang tetap raja kalian, namun
aku juga tidak ingin ada kekosongan kekuasaan disini yang pada akhirnya memecah
belah persatuan seluruh warga hutan. Oleh karena itulah aku menunjuk Gajah
untuk menggantikan posisiku sementara waktu.” Harimau menerangkan.
“Diantara semua warga hutan, Gajahlah
yang paling pantas menggantikanku, karena anakku belum cukup dewasa. Dia kekar,
berwibawa, dan cukup disegani oleh hewan-hewan lainnya. Jadi kuharap aku tidak
salah pilih.” Harimau melanjutkan.
“Lalu tugas apa yang hendak tuan
berikan kepada saya?” Kera bertanya.
“Aku kau ikut bersamaku mengembara.
Aku pasti akan memerlukan banyak tenagamu kelak.”
Kera sangat bersemangat dan antusias mendengar
ajakan Harimau.
“Baiklah yang mulia, hamba akan
menuruti semua perintah paduka dalam pengembaraan nantinya.” Jawab Kera tegas.
Setelah pembicaraan tersebut berakhir,
Kera berpamitan kepada Harimau untuk beristirahat.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba.
Menjelang malam sudah berdatangan, Kerbau, Kuda, Banteng, Jerapah, Kambing,
Ayam, Gajah, dan semua penghuni hutan lainnya kecuali Kancil yang merasa bahwa
dia tidak diundang.
Dibawah terangnya cahaya rembulan,
mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran dimana raja mereka, Harimau
berada didepannya. Setelah semuanya berkumpul, Harimau mulai berbicara kepada
seluruh rakyatnya.
“Malam ini aku sengaja mengundang
kalian semua kesini karena aku ingin menyampaikan sebuah pengumuman yang
penting.”
Seluruh undangan terlihat saling
mengkerutkan dahinya tanda tengah menerka-nerka pengumuman penting apakah yang
akan disampaikan raja mereka. Harimau melanjutkan kata-katanya.
“Sudah sekian lama aku terus-menurus
hanya berada ditempat ini karena kewajibanku sebagai raja kalian. Dalam
beberapa bulan kedepan, rasanya aku ingin kembali mengembara menikmati
bagaimana rasanya mencari hewan buruan layaknya dulu ketika masih muda.......”
Harimau belum sempat menyelesaikan
kata-katanya, Kuda menyela.
“Kalau tuan meninggalkan tempat ini
siapa yang kan menjadi pemimpin tempat kami berkeluh kesah?”
“Benar yang mulia. Bukankah semua
kebutuhan paduka sudah disediakan semuanya?” Kerbau menambahkan.
“Justru karena pertanyaan itulah aku
mengumpulkan kalian semua disini. Setelah aku mempertimbangkan secara matang,
aku menjatuhkan pilihanku kepada Gajah yang akan menggantikan posisiku
sementara waktu.”
“Kenapa bukan putera paduka yang
menggantikan posisi yang mulia?” Banteng turut bertanya.
“Kalian semua tentu telah mengetahui
kalau anakku masih terlalu muda untuk mengemban tugas ini. Oleh karena itulah
aku memilih Gajah yang berbadan kekar dan kuat serta sudah berpengalaman dalam
memimpin kelompoknya. Kau sanggup mengemban tugas ini Gajah?” Tanya Harima
kepada Gajah.
“Saya merasa kurang mampu dalam
mengemban tugas ini. Namun kalau yang mulia meminta saya akan berusaha semampu
saya.”
“Gajah telah setuju dengan
keputusanku, sekarang tinggal kalian. Bagaimana, setujukah kalian apabila Gajah
menggantikanku untuk beberapa waktu?” Harimau ganti bertanya pada seluruh
warganya.
“Setuju!” jawab mereka serempak.
“Kalau kalian semua telah setuju, maka
pertemuan kita berakhir disini. Mulai besok, Gajah akan menjadi pemimpin baru
kalian. Patuhilah ia seperti kalian mematuhi aku. Sekarang beristirahatlah
kalian semua.”
“Terimakasih yang mulia.” Kata seluruh
warga hutan bersamaan.
Pertemuan malam itupun berakhir dengan
menghasilkan keputusan bahwa Gajah akan menggantikan posisi Harimau sebagai
raja hutan untuk sementara waktu, karena Harimau akan kembali mengembara.
Semuanya setuju, tidak ada satupun yang menolak keputusan raja hutan tersebut.
Pagi itu dengan diiringi tatap mata
seluruh penghuni hutan, Harimau dan Kera pergi meninggalkan pusat kerajaan
hutan untuk mengembara. Warga hutan-pun segera meninggalkan tempat pertemuan
tersebut untuk pulang kerumahnya masing-masing setelah melepas kepergian raja
mereka. Hanya Gajah saja yang tertinggal ditempat itu, karena sekarang ialah
yang diserahi tanggung jawab untuk mengurusnya.
Harimau dan Kera terus berjalan
menyusuri lebatnya rimba. Matahari belumlah tinggi, panas belum begitu
menyengat. Riuhnya kicau burung juga masih terus menemani perjalanan sang raja
hutan. Diantara ramainya kicauan burung, Harimau amat terpukau dengan suara
Kutilang yang merdu.
“Kera, kemari!” perintahnya pada Kera
yang berada dibelakangnya.
Kera mendekati majikannya. “Ada apa
yang mulia?”
“Kamu dengar kicauan burung Kutilang
itu? Indah sekali. Bisakah kau menghadapkannya padaku?” Harimau bertanya
sekaligus memerintah.
“Baiklah yang mulia, hamba akan
mencobanya.” Kera kemudian memanjat pohon jati yang menjadi tempat berkicaunya
sang Kutilang untuk menyampaikan pesan
dari Harimau. Setelah menerima pesan dari Kera, Kutilang segera turun untuk
menemui Harimau.
“Ada apa gerangan tuanku memanggil
hamba untuk menghadap? Adakah kesalahan yang hamba perbuat?” Kutilang bertanya.
“Tidak, sama sekali engkau tidak
melakukan kesalahan.” Jawab Harimau.
“Lalu ada apakah paduka menginginkan
hamba menghadap?” Kutilang melanjutan.
“Aku sangat terkesan dengan nyanyianmu
tadi. Maukah kau mengajarkan padaku bagaimana caranya menyanyi sepertimu?”
Pinta Harimau.
“Maaf yang mulia, saya dan anda
mepunyai kelebihan masing-masing yang tidak dapat ditiru. Paduka mempunyai
badan yang kekar dan gagah serta taring yang kuat. Sementara saya diberikan
kelebihan bisa terbang dan bernyanyi. Jadi tidak mungkin saya bisa mengajarkan
bagaimana cara menyanyi saya kepada tuan.” Kutilang menjelaskan.
“Engkau pasti telah menyembunyika
rahasia bagaimana cara bernyanyimu dariku. Tidak ada yang tidak bisa dipelajari
didunia ini Kutilang.” selidik Harimau.
“Sama sekali tidak ada yang hamba
rahasiakan dari tuan. Hanya saya dan kaum saya yang bisa bisa bernyanyi seperti
ini, karena ini adalah anugerah yang berikan kepada kami. Demikian juga dengan
suara auman tuan miliki, tidak ada satupun hewab dimuka bumi ni yang bisa
menyamainya.” Kutilang memberikan pengertian.
Namun Harimau tetap saja tidak mau
mengerti dengan penjelasan yang diberikan Kutilang. Ia tetap memaksa Kutilang
untuk memberitahukan rahasia kicauannya. Permintaan Harimau ini tentu saja
membuat Kutilang semakin bingung dan tidak tahu harus berkata apa karena memang
ia tidak bisa memenuhinya.
Kera hanya berdiri menonton perdebatan
antara Harimau dan Kutilang. Ia sangatlah tahu bahwa kicauan Kutilang tidak
bisa ditirukan oleh yang lain, namun ia juga tidak berani mengatakan kepada Harimau karena ia takut kalau-kalau
sang raja tersebut marah padanya.
Kali ini harimau benar-benar marah
pada Kutilang. Ia tetap saja bersikukuh bahwa Kutilang tidak mau mengajarkan
padanya bagaiman caranya menyanyi.
“Kutilang, kau tetap pada pendirianmu
tidak mau mengajarkan bagaimana menyanyi sepertimu?” Bentak harimau.
“Baiklah tuan, saya akan bernyanyi
didepan paduka, saya harap yang mulia bisa mempelajarinya.”
Kutilang kemudian bernyanyi sambil
menari dengan indahnya didepan Harimau. Kicauan terdengar sangatlah merdu dan
menarik hati dari sanga raja yang tengah berkelana itu. Ia sangat terpukau dengan
suara riuh rendah yang harmonis tersebut.
“Kera coba kau perhatikan bagaimana
caranya menyanyi, mungkin saja kau bisa mengetahui rahasia nyanyiannya.” Ucap
Harimau sembari terus menyimak nyanyian sang Kutilang. Kicau merdu sang
Kutilang akhirnya berhenti.
“Saya sudah memperlihatkan seluruh
kemampuan saya dalam bernyanyi. Sekarang giliran paduka untuk mencobanya.” Kata
Kutliang.
Harimau kemudian mengambil posisi
untuk mulai bernyanyi. Ia menarik nafas dalam-dalam sebagai persiapan. Dengan
bergaya layaknya Kutilang, ia kemudian mengeluarkan nafas yang sudah terkumpul
dalam dadanya. Ketika suara Harimau tersebut keluar dari mulutnya, tidak ada
sama sekali suara merdu yang terdengar. Malah layaknya bagaikan dengkuran yang
menggelikan. Harimau malu sekali dengan keadaan yang dihadapinya. Ia mencobanya
sekali lagi, namun tetap saja hasilnya tidak yang seperti yang diharapkan.
Dengan menahan malu, ia mendekati Kutilang yang sedang bertengger didekatnya.
“Kutilang!” Bentak Harimau. “Kau pasti
telah merahasiakan sesuatu dariku. Tidak mungkin tidak ada hal yang tidak bisa
dipelajari di muka bumi.”
“Sama sekali tidak ada yang saya
rahasiakan yang mulia.” Jelas Kuitlang menenangkan.
“Kicauan yang saya miliki adalah
sebuah karunia yang tidak bisa dipelajari siapapun kecuali para Kutilang.”
Harimau yang sudah terlanjur marah
karena merasa dibohongi dan dipermalukan oleh Kutilang, menangkap Kutilang
kemudian mencengkeramnya kuat-kuat.
“Sekarang kau sudah berada dalam
cengkeramanku, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakan rahasia menyanyimu?”
Kutilang yang memang telah mengatakan
apa adanya kepada Harimau, segera meminta ampun karena ia sadar apa yang akan
terjadi selanjutnya jika ia tidak segera memohon ampunan.
“Ampun yang mulia. Hamba telah
mengatakan semuanya dengan jujur, tidak ada satupun yang hamba tutup-tutupi.
Kera yang dari tadi hanya menonton apa
yang terjadi, berusaha memabantu Kutilang yang dalam bahaya.
“Benar yang mulia, kicauan Kutilang
memang tidak bisa dimiliki oles siapapun kecuali dia. Tapi menurut hamba, auman
yang mulia jauh lebih berwibawa daripada nyanyian Kutilang.” Kata Kara berusaha
memberi penjelasan sekaligus menenangkan Harimau.
“Diam kamu Kera, kau tak perlu turut
campur masalah ini.” Ucap Harimau marah.
“Bukan begitu maksud hamba paduka.
Hamba hanya ingin menjaga wibawa yang mulia agar tidak tercemar karena
melakukan perbuatan yang memalukan
seperti ini.”
“Memalukan katamu?” Tanya Harimau pada
Kera. “Justru aku ingin menambah kewibawaanku kalau seandainya bisa menyanyi.”
Kera berjalan mendekati Harimau. “Sekali
lagi maafkan saya tuan. Bukannya saya hendak mencampuri urusan paduka, namun
apa yang dikatakan kutilang benar adanya. Tidak mungkin yang mulia bisa
menyanyi seperti dia, karena kemampuan menyanyi Kutilang hanya Kutilanglah yang
bisa mempelajarinya.” Kera berusaha memberikan pengertian. Mendengar penjelasan
Kera yang bukannya mendukung malah menyudutkan dirinya, Harimau semakin marah.
“Kau kuajak bersamaku untuk menemani
dan membantuku, bukan melawan kehendakku. Sekarang lebih baik kau pergi dari
hadapanku. Pergi atau kau akan kujadikan santapanku.”
Melihat kemarahan Harimau yang
tampaknya sudah memuncak, Kera tidak bisa berbuat apa-apa. Iapun hanya bisa
pasrah dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Berbagai penjelasan dari
Kera dan Kutilang hingga akhirnya Kera pergi meninggalkannya bukannya membuat
Harimau menjadi sadar akan kesalahannya. Ia malah semakin menjadi dengan
obsesinya untuk bisa menyanyi seperti Kutilang. Matanya menatap Kutilang yang
tak berdaya dengan penuh selidik.
“Katakan apa yang menjadi rahasia
menyanyimu, atau kau akan kujadikan santapan pembukaku?” Harimau mengancam.
Dengan penuh takut, Kutilang menjawab
“Saya sama sekali tidak mempunyai rahasia apapun dalam menyanyi. Karena semua
kaum kami bisa melakukan hal itu seiring pertumbuhan usia mereka.
“Kau pasti berbohong, aku akan
memakanmu. Setelah itu aku pasti akan bisa bernyanyi.” Harimau kemudian
memasukkan Kutilang kedalam mulut dan menelannya bulat-bulat. Selesai memakan
Kutilang malang itu, Harimau mencoba bernyanyi kembal.
Sambil berjalan menyusuri hutan ia
terus menerus berlatih menyanyi. Tapi hasil yang didapatkan ternyata sama saja.
Hanya auman membahana yang keluar dari sela taringnya. Melihat tingkah dari
raja hutan tersebut tentu saja membuat heran para penghuni hutan yang kebetulan
berpapasan dengannya. Harimau tidak peduli dengan tatap mata aneh dari warga
hutan yang heran melihat tingkah yang memang tidak seperti biasanya.
Matahari sudah mulai redup ketika
Harimau sampai ditepi sungai yang hampir kering airnya. Ia kemudian minum dan
beristirahat ditempat itu. Setelah merasa cukup melepas lelah, Harimau
meneruskan perjalanannya dengan menyebrangi sungai. Saat malam mulai menyapa,
barulah Harimau mencari tempat untuk menginap malam ini. Ia memilih untuk
beristirahat dibawah sebuah pohon Maoni yang rindang.
Pagi hari, ketika Harimau terbangun
dari tidurnya ia merakan betapa lapar perutnya. Hari belum begitu terang, namun
ia memutuskan untuk pergi berburu mencari makanan. Matanya yang tajam
menjadikan remang suasana hutan tidak menjadi penghalang. Hidungnya terus
menerus mengendus bau mangsa yang bisa didapatinya. Lama ia berjalan mencari
mangsa hingga belantara yang semula remang menjadi benderang.
Kini didepannya menghampar hutan
padang rumput dan beberapa rumpun pohon bambu. Pasti akan banyak hewan yang
mencari makan ditempat ini, katanya dalam hati. Angin bertiup cukup kencang
waktu itu, hingga menjadikan pucuk-pucuk ilalang bergoyang. Harimau kemudian
bersembunyi diantara tingginya ilalang untuk mengintai calon mangsanya.
Benar juga apa yang menjadi
perkiraannya. Matanya menangkap seekor Kancil kecil yang tengah duduk dibawah
rumpun bambu. Melihat Kancil, ia langsung teringat pada cerita Kera beberapa
waktu lalu. Mengingat Kancil adalah hewan sangat cerdik maka Harimaupun amat
berhati-hati dalam mendekatinya. Ia mengendap-ngendap menuju rumpun bambu
dimana Kancil tengah duduk. Begitu sudah merasa cukup dekat, ia segera melompat
dan kini tepat berada didepan Kancil. Kancil amat sangat kaget melihat siapa
yang sekarang tengah berdiri dihadapannya. Harimau, sang raja hutan! Kancil tak
habis pikir mengapa ia sampai tidak tahu dengan kedatangan Harimau.
“Sekarang kau tidak akan bisa pergi
kema-mana lagi Kancil. Kau telah menipu Kera, dan aku akan menjadikanmu sebagai
mangsaku.”
Kancil ketakutan setengah mati
mendengar perkataan Harimau. Di pagi yang cerah dengan disertai semilirnya
angin ini ternyata akan menjadi akhir hidupku, pikir Kancil. Harimau berjalan
perlahan mendekati mangsanya, sementara Kancil juga mundur selangkah demi
selangkah hingga akhirnya tubuhnya membentur rumpun bambu hingga ia tak bisa
lagi kemana-mana.
Merasa ajalnya sudah semakin dekat,
Kancil duduk bersimpuh dibawah rumpun bambu. Bersamaan dengan itulah angin
bertiup cukup kencang hingga menyebabkan beberapa pohon bambu saling bergesekan
dan menimbulkan suara, krieet,,, krieet,,, krieet. Harimau terpukau mendengar
suara yang ditimbulkan oleh pohon bambu tersebut, namun ia tidak tahu dari mana
asalnya suara itu.
“Suara apa itu?” Tanya Harimau.
“Itu adalah suara seruling dewa.”
Jawab Kancil sekenanya.
“Seruling dewa?”
“Iya paduka, dan keberadaan saya
disini adalah untuk menjaganya.” Kata Kancil.
“Bisakah kau memainkannya untukku?”
Pinta Harimau.
“Tentu saja! Namun saya harus menunggu
angin agar memudahkan saya untuk meniupnya.”
“Baiklah! Aku akan menunggunya” Kata
Harimau.
Harimau dan Kancil menunggu dengan
sabar datangnya angin. Kancil berlagak diantara rumpun bambu seolah olah ia
hendak meniup seruling. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Angin
bertiup dengan kencangnya hingga puluhan pohon bambu saling beradu dan suara
riuhpun terdengar. Mulut dan tangan Kancil juga bekerja layaknya tengah
memperagakan sedang meniup seruling. Harimau merasa kegirangan dengan apa yang
dilihatnya.
“Kancil, apakah kau bisa mengajariku bagaimana
caranya meniup seruling dewa ini?” Tanya Harimau.
“Bisa saja, asalkan paduka mau
menuruti semua perintah hamba.”
“Baiklah aku setuju, ajarkan padaku.”
Kancil kemudian menjelaskan bagaimana
caranya bisa memainkan seruling dewa yang sedang ditungguinya. Pertama-tama
Harimau harus menempelkan lidahnya kebatang bambu sembari meniupnya agar ia terbiasa.
Harimau menurut saja pada perkataan Kancil. Ia kemudian menempelkan lidahnya
pada salah satu batang bambu kemudian meniupnya. Lama ia meniup, namun suara
yang diinginkan tidak juga keluar.
“Kau bohong padaku Cil?” Bentak
Harimau.
“Mana mungkin saya berani berbohong
pada paduka yang mulia.” Sahut Kancil.
“Yang mulia harus menunggu bantuan
angin, karena tuan belum pernah meniup seruling itu sebelumnya. Sekarang
cobalah lagi.” Perintah Kancil.
Harimau menempelkan lidahnya disalah
satu batang bambu. Mulutnya tak berhenti meniup layaknya tengah memainkan
seruling. Angin yang ditunggupun datang. tapi kali ini angin yang bertiup tidak
begitu kencang, hingga suara yang ditimbulkannyapun hanya suara yang kecil.
Harimau girang alang kepalang menyadari dirinya bisa memainkan seruling dewa
tersebut.
“Aku bisa Cil, aku berhasil.” Harimau
kegirangan.
“Ulangilah lagi paduka, agar anda
terbiasa dan bisa memainkan seruling itu dimana saja.” Ucap Kancil.
“Benarkah aku bisa memainkannya dimana
saja? Baiklah kalau begitu.”
Harimau kembali menempelkan lidahnya
pada batang bambu. Sementara kancil berjalan mengendap-endap untul meloloskan
diri.
“Mau kemana kau Cil?” Tanya Harimau.
“Saya akan pergi sebentar untuk
mencari minum disungai. Yang mulia pasti akan kehausan saat meniup seruling
itu.”
“Baiklah kalau begitu, cepatlah
kembali agar aku bisa belajar lebih banyak.”
Kancil lantas berjalan untuk
meninggalkan rumpun bambu tersebut dan setelah merasa cukup jauh iapun berlari
secepatnya. Sementara itu Harimau masih saja menempelkan lidahnya di batang
bambu sambil terus meniupnya. Karena angin yang berhembus waktu itu belum
terlalu kencang maka suara yang ditimbulkan akibat gesekan batang bambupun tidak
seberapa.
Harimau tidak menyerah begitu saja, ia
terus berusaha untuk meniup seruling dewa tersebut. Ia pun beristirahat sejenak
untuk mengembalikan tenaganya sambil menunggu Kancil yang tengah mencari air
minum. Dari kejauhan Harimau melihat pucuk ilalang yang nampak bergoyang kencang
karena tiupan angin. Sang raja hutan tidak ingin melepaskan kesempatan ini, ia
segera mendekati batang bambu dan menempelkan lidahnya disana. Begitu angin
kencang tersebut sampai dirumpun bambu itu, tentu saja membuat seluruh
bantang-batang bambu bergerak tak beraturan dan menimbulkan suara yang cukup
riuh.
Harimau semakin bersemangat karena
keberhasilannya memainkan seruling dewa itu. Ia menjulurkan lidahnya semakin
panjang keluar. Tiupan angin yang semakin kencang menyebabkan batang bambu yang
bergerakpun bukan hanya dibagian atasnya saja.
Karena tiupan angin yang kencang
hingga mengakibatkan seluruh pohon bambu bergerak dari atas sampai kebawah,
maka akhirnya lidahnya itupun terjepit oleh bambu yang saling bergesekan. Sakit
alang kepalang dirasakan Harimau ketika lidahnya terjepit diantara pohon bambu
yang tidak bisa segera ia lepaskan. Gerak batang bambu yang tak beraturan
tersebut membuat Harimau semakin kesulitan melepaskan lidahnya. Angin kencang tersebut
tidak berlangsung lama. Pada akhirnya ia bisa menarik paksa lidahnya. Sakit,
perih, dan berbagai perasaan yang dirasakan Harimau saat ini. Ia semakin
jengkel karena juga telah ditipu oleh Kancil dan hampir saja ia mati karenanya.
“Awas kau Cil, kau pasti akan menerima
akibatnya.” Demikian kata Harimau sambil berjalan menahan sakit meninggalkan
tempat itu.
NASIB GAJAH YANG
CONGKAK
Sudah beberapa hari ini Harimau pergi
meninggalkan pusat kerajaan hutan untuk mengembara. Sama sekali tidak ada kabar
tentang bagaimana keadaanya dan dimana ia sekarang. Seluruh tugas terdahulunya
dibebankan kepada Gajah yang kini menjadi penguasa sementara di hutan. Lama
hanya berdiam diri disekitar daerah kekuasaan barnya itu tentu saja membuat
Gajah bosan. Pagi itu ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan menikmati
indahnya mentari. Kedudukan baru yang dimiliki oleh Gajah saat ini
menjadikannya agak congkak. Ia berjalan dengan sombongnya karena merasa tidak
akan ada yang berani terhadapnya. Badannya yang besar, belalai kuat dengan
disertai gading tajam sudah cukup membuat dirinya disegani oleh pemghuni hutan,
apalagi sekarang dia adalah raja maka semua warga hutan harus tunduk dan menghormatinya.
Mentari belumlah tinggi saat Gajah
melangkahkan kaki meninggalkan tempat tinggalnya. Ia berjalan dengan tidak
menghiraukan apapun disekitarnya. Ratusan pohon-pohon kecil terinjak hingga
rusak dan mati. Demikian juga dengan yang terjadi pada hewan-hewan kecil
seperti Rayap dan Semut, tidak sedikit dari mereka yang mati akibat injakkan
kaki sang raja baru.
Gajah sama sekali tidak menyadari
bahwa langkah kakinya telah menyakiti banyak pihak. Sama sekali ia tidak
mempedulikan dengan kerusakan yang ditimbulkannya malah terlihat sangat
menikmatinya. Semakin jauh ia melangkah, semakin langkah kakinya membuat
kerusakan hutan dan ratusan hewan-kecil yang mati.
Akhirnya sampailah ia di sebuah telaga
yang cukup besar, segera ia berendam dan bermain disana. Dengan belalainya ia
menyedot air sebanyak-banyaknya untuk kemudian demprotkan keatas. Tubuh
raksasanya bergelimpangan kekiri dan kekanan hingga mengakibatkan telaga yang
semula jernih menjadi keruh. Puluhan ikan yang semula berenang tenang dan ceria
kini menjadi pusing karena keruhnya telaga.
Puas bermain air, Gajah meninggalkan
telaga. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dalam dirinya karena telah
menyebabkan beberapa ikan menjadi pingsan karenanya. Ia berjalan dengan congkak
dan kembali kerumahnya. Suara yang melengking tajam menandakan sang raja baru
akan segera lewat.
Gajah berjalan seenaknya tanpa
memperhatikan apa yang dilaluinya. Puluhan semut yang tidak bersalah kembali
terinjak dan tidak sedikit dari mereka yang mati. Gajah kemudian beristirahat
sesampainya ia dirumah barunya.
Ratusan Semut yang merasa terganggu
dengan tingkah laku Gajah tersebut, kemudian datang menghadap raja mereka. Kepada
raja Semut, mereka menceritakan semua kejadian yang baru saja mereka alami pagi
ini. sang rajapun mendengarkannya dengan seksama dan penuh perhatian.
“Kalau begitu, aku akan menghadap kepada
Gajah untuk menyampaikan keluhan kalian sore ini.” Demikian ucap pemimpin Semut
ini pada rakyatnya.
“Terimakasih banyak yang mulia.”
Serombongan Semut tersebut kemudian
segera pulang setelah puas dengan jawaban dan janji raja mereka.
Tidak menunggu waktu lama, raja Semut
inipun segera pergi meninggalkan sarangnya untuk menemui sang Gajah dengan
harapan ia bisa sampai di kediaman Gajah pada sore harinya. Benar saja,
pimpinan Semut ini. Raja Semut inipun langsung mengatakan kepada Merpati sang
hulubalang raja, bahwa ia ingin bertemu dengan Gajah karena ada hal penting
yang hendak ia sampaikan.
“Tunggu disini. Aku akan menemui sang
raja.” Merpatipun terbang meninggalkan Semut guna menemui sang Gajah.
Terlihat sang raja baru tengah
bersantai menikmati suasana senja di tempat barunya. Merpatipun turun dan
berdiri di hapadan rajanya.
“Ada apa engkau menghadapku?”
“Raja semut ingin menghadap yang
mulia, dan sekarang ini ia telah berada di gerbang.” Jelas Merpati.
“Semut? Untuk apa ia menghadapku?
Sepertinya aku tidak pernah punya kepentingan dengannya.” Gajah terheran-heran.
“Bagaimana yang mulia? Apakah paduka
berkenan menerima sekarang atau menyuruhnya menunggu sampai esok hari?”
“Suruh dia menghadapku. Aku penasaran
ada apa gerangan ia ingin bertemu denganku.”
“Terimakasih yang mulia.”
Merpati pergi meninggalkan kediaman
sang raja untuk menemui Semut yang menunggu di gerbang.
“Bagaimana tuan hulubalang? Apakah
sang raja berkenan menerima saya hari ini?” Semut langsung bertanya ketika
melihat Merpati sudah berada dihadapannya kembali.
“Sang raja menunggu kedatanganmu
sekarang.”
“Terimakasih tuan Merpati. Kalau
begitu saya akan segera menemui yang mulia. Sekali lagi saya ucapkan
terimakasih.”
Semut masuk kedalam kerajaan guna
bertemu raja baru yang telah menindas rakyatnya.
“Ada apa kau ingin bertemu dengan
denganku?” Tanya Gajah ketika Semut sudah berada dihadapannya.
Semut menjelaskan bahwa kedatangannya
kali ini untuk menyampaikan keluhan dari warganya tentang apa yang telah
dilakukan oleh Gajah tadi pagi.
“Tidak sedikit dari saudara-saudara
hamba yang meninggal karena terinjak oleh kaki paduka”. Jelasnya melanjutkan.
“Lantas apa yang kau inginkan?”
“Hamba hanya mohon agar paduka lebih
memperhatikan setiap jengkal jalan yang hendak yang mulia lewati. Disamping perjalanan
yang mulia akan lebih aman, juga tidak akan menimbulkan malapetaka bagi yang
lainnya.”
Gajah terdiam mendengar nasehat dari
sang Semut. Namun ia diam bukan karena tersentuh hatinya, malainkan lebih
disebabkan oleh kemarahannya yang tertahan.
“Aku adalah raja dan memiliki kekuatan
yang sangat besar. Mengapa harus mendengarkan nasehat dari hewan kecil seperti
Semut?” Demikian pikirnya.
Tapi sebagai raja, ia tetap harus
menjaga perasaan rakyatnya.
“Kalau begitu baiklah. Aku terima
saran darimu. Sekarang kembalilah kau kepada trakyatmu dan sampaikan permintaan
maafku pada mereka.” Kata Gajah dengan manis.
“Terimakasih banyak yang mulia,
rasanya memang tidak salah kalau sang Harimau memberikan kepercayaanya kepada
tuan. Hamba mohon pamit.”
Gajah melepaskan kepergian Semut
dengan tatapan mata sinis. Ia merasa terhina karena diperingatkan oleh seekor
hewan yang sangat kecil dan lemah.
“Berani sekali Semut itu.” Gumam sang
Gajah.
Seperti hari yang lalu, pagi itu sang
Gajah keluar dari kediamannya untuk sekedar berjalan-jalan melihat daerah
sekelilingnya. Beberapa lama berjalan, ia melihat sekelompok Semut yang tengah
berjalan untuk mencari makan. Seketika itu pula sang raja baru ini teringat
akan kata-kata pemimpin Semut yang menemuinya kemarin. Kebenciannya pada hewan
kecil itu tiba-tiba memuncak dan muncullah niatnya untuk meluapkan sakit
hatinya.
Dengan kepala mendongak penuh
kecongkakan, sang Gajah mempercepat langkahnya guna melampiaskan kemarahannya
dengan cara menginjak ratusan semut yang tengah berjalan beriringan. Akibatnya
ratusan Semut tersebut terluka dan mati.
Puas dengan apa yang dilakukannya,
Gajah meninggalkan ratusan Semut yang terluka dan mati. Sementara Semut yang
bisa menyelematkan diri segera melaporkan kejadian tersebut kepada raja mereka.
Mendengar kejadian yang menimpa rakyatnya, meledaklah kemarahan pemimpin Semut
ini. Ia tidak menyangka ternyata janji Gajah padanya hanyalah omong kosong
belaka.
Tidak berlama-lama, raja Semut ini
kemudian mengumpulkan seluruh rakyatnya dan jutaan Semutpun berbondong-bondong
memenuhi panggilan pemimpin mereka. Raja Semut yang tengah marah ini lantas
mengatakan apa maksudnya memanggil semua rakyatnya untuk berkumpul. Ia
menjelaskan bahwa Gajah telah menindas bangsa Semut, sang raja juga
menceritakan bahwa Gajah juga telah melanggar janji dan kesepakatan dengannya.
“Kita harus melawan pemimpin seperti
itu.” Raja Semut menambahkan.
“Bagaimana kita bisa melawan Gajah
yang teramat kuat dan besar?” Tanya salah seorang Semut nampak ragu.
“Jika kita semua mau bersatu, rasanya
tidak ada yang tidak mungkin. Kita berjumlah jutaan dan mempunyai satu tujuan
yaitu mengalahkan pemimpin yang menindas kita.”
“Apakah anda punya gagasan untuk
mengalahkan sang Gajah yang perkasa tuanku?”
Pemimpin Semut inipun terdiam sesaat
mendengar pertanyaan dari salah satu warganya. Namun tidak lama ia termenung,
raut wajah sang pemimpin ini kembali berseri.
“Aku punya ide!” Demikian katanya
penuh kegirangan. “Namun kita semua harus bekerja sama dan bahu-membahu.”
Tambahnya
“Apa yang menjadi gagasan anda tuan?
Bukankah selama ini kita selalu saling membantu dan bekerja bersama-sama? Jadi
bukankalah sebuah masalah apabila anda menyuruh kami untuk bekerjasama.
Katakan, apa yang menjadi ide yang mulia?”
“Ikutilah aku. Aku akan menunjukkan rencanaku
kepada kalian.”
Raja Semut berjalan keluar dari
sarangnya dengan diikuti oleh jutaan rakyatnya. Ternyata raja Semut ini
menuntun rakyaknya ke sebuah lubang besar yang terletak tidak jauh dari telaga
tempat Gajah biasanya mandi diwaktu pagi. Lubang itu cukup tersembunyi diantara
semak dan ilalang.
Sampai ditempat itu, sang raja
kemudian memerintahkan jutaan rakyatnya untuk memungut ranting dan dedaunan kering
agar dapat menutup lubang tersebut. Jutaan pasukan Semut melaksanakan perintah
dari sang raja. Mereka bekerja sama saling bahu-membahu mengangkut
ranting-ranting kering yang banyak ditemukan disekitar telaga itu. Untuk
memindahkan ranting yang sangat besar bagi mahluk seukuran Semut, tidak menjadi
sesuatu yang berat karena mereka mengerjakannya secara bersama.
Hari belumlah malam ketika seluruh
bagian dari lubang besar itu tertutup oleh ranting dan dedaunan kering.
“Esok hari, ditempat ini kita akan
menghentikan penindasan sang Gajah kepada kita.” Kata sang raja.
“Saya belum mengerti apa yang tuan
maksudkan?”
“Kita akan menjebak Gajah disini.”
Jelasnya. “Kita akan memancing Gajah untuk sampai ketempat ini. Malam ini, kita
semua akan menginap disini dan besok aku akan memimpin kalian untuk memancing
Gajah sampai ketempat ini. sekarang beristirahatlah, karena besok pagi kita
akan melakukan sesuatu yang melelahkan.”
Demikianlah, jutaan Semut akhirnya
menginap di lubang tersebut. Mereka semua menebak-nebak apa yang menjadi
rencana dari sang raja yang katanya hendak menghentikan penindasan Gajah
terhadap mereka. Namun karena lelah setelah bekerja keras seharian, jawaban
dari pertanyaan mereka tidaklah terjawab. Pada akhirnya para semut itu lelap
tertidur.
Hari yang ditunggu akhirnya datang
juga. Kokok ayam jantan mulai terdengar memecah keheningan. Langit yang semula
gulita nampak mulai memerah dan sang mentari perlahan-lahan muncul di ufuk
timur. Raja Semut dan seluruh rakyatnyapun terbangun. Tanpa diperintah,
sebagian Semut pergi mencari makanan. Sementara sang raja juga langsung berdiri
ditengah-tengah rakyatnya menjelaskan apa yang menjadi rencananya.
“Seperti biasa, aku kira Gajah akan
datang ketelaga itu untuk mandi dan berendam. Sebelum ia sampai ditempat
tujuannya, aku dan beberapa dari kalian akan mengganggu perjalannya dengan jalan
menggigit sang Gajah yang lainnya tetap bersembunyi disini dan menunggunya di
sekitar lubang jebakan.”
“Kenapa harus tuan yang membawa Gajah
kemari? Bukankah banyak dari kita yang mau melakukan tugas itu?” Seekor Semut
menanggapi.
“Aku adalah pemimpin kalian, jadi
kalaupun ada yang harus terluka ataupun mati dalam rencana ini aku ingin
menjadi yang pertama.”
“Tapi siapa yang akan memimpin kami
nantinya kalau terjadi apa-apa dengan anda? Lebih baik tugas untuk memancing
Gajah kemari biarlah hamba yang melakukannya.” Ucap Semut lainnya yang ternyata
mendapat dukungan dari semua Semut yang ada di tempat itu.
Sang raja tidak bisa menolak
permintaan dari seluruh rakyatnya. Akhirnya ia memilih beberapa Semut untuk
menggantikan tugasnya.
Dari kejauhan, rombongan Semut yang
semula pergi untuk mencari makan juga telah kembali. Semua Semut-semut kemudian
makan bersama-sama untuk kesiapan tenaganya dan mendengarkan paparan mengenai
rencana sang raja.
Tidak beberapa lama setelah semua
Semut selesai makan, sayup terdengar suara Gajah memecah kesunyian hutan.
Puluhan Semut yang diserahi tugas untuk menggiring Gajah ke dalam lubangpun
berangkat kejalan setapak yang hendak dilalui sang raja hutan itu.
Tak lama menunggu, tubuh besar sang
Gajah mulai terlihat menerobos rimbunnya hutan dan semakin mendekati puluhan
semut yang telah menunggunya. Begitu kaki besar dari sang Gajah berada
dihadapannya, pemimpin rombongan Semut itu segera merayap naik ketubuh besar
itu. Sementara yang lainnya berjajar mengarah ke lubang jebakan yang telah
mereka persiapkan. Semut yang merayap di kaki Gajah kemudian menggigit kaki itu
sekuat tenaga. Walaupun tidak begitu sakit bagi hewan besar seukuran Gajah,
tentu saja gigitan itu mengagetkan sang raja hutan.
Gajah menatap kakinya dimana
didapatinya seekor Semut kecil menggigitnya. Ia sangat marah karena hal itu.
Kemudian dihentak-hentakkan kakinya ketanah dengan tujuan Semut tersebut jatuh.
Semut kecil itu tidak mampu menahan hentakan kaki sang Gajah yang berusaha
untuk melepaskan gigitannya. Pada akhirnya hewan kecil itupun jatuh ketanah dan
langsung berlari kearah lubang yang telah mereka persiapkan.
Kemarahan benar-benar membuat Gajah
gelap mata. Ia kemudian berlari mengejar Semut yang menggigitnya, ternyata ia
juga melihat puluhan Semut lainnya disekitar tempat itu. Gajah semakin
bersemangat mengejar Semut-semut yang berlarian menuju lubang jebakan.
Semut-semut yang menjadi umpan itu sampai di tengah tengah lubang jebakan, dan
berpura-pura kelelehan.
Menyaksikan hal itu, tanpa pikir
panjang, Gajah melompat hendak menginjak mereka dengan kaki raksasanya. Namun
apa yang dibayangkan tidaklah seperti apa yang ada dipikirannya. Hewan raksasa
itu terperosok masuk lubang ketika kakinya menginjak dedaunan kering penutup
lubang. Sang raja hutan ini mengeluarkan suara melengking keras karena sadar
telah masuk kedalam jebakan. Usaha kerasnya untuk keluar dari lubang jebakan
yang dalam dan besar itu sia-sia belaka.
Menyaksikan kejadian itu, raja Semut
yang semula bersembunyi bersama jutaan rakyatnyapun keluar. Bersama-sama mereka
menuju lubang dimana sekarang ini Gajah terjebak. Beramai-ramai Semut-semut ini
menaiki tubuh raksasa yang telah menindasnya. Gajahpun tidak tinggal diam, ia
membentur-benturkan tubuhnya pinggiran lubang untuk menghalau Semut-semut
tersebut. Usahanya berhasil membuat puluhan bahkan ratusan Semut mati, namun
yang menyerangnya kali ini berjumlah jutaan. Dan tidak sedikit dari mereka yang
berhasil memasuki telinganya dan lubang belalainya.
Gajah berteriak kesakitan dan meminta
ampun kepada Semut-semut yang telah disakitinya. Namun teriakan kesakitan dan
rintihan minta ampun dari sang Gajah tidak membuat Semut berhenti menggigit
seluruh tubuh raksasa itu. Karena begitu banyaknya Semut yang berhasil masuk
kelubang telinga dan belalainya akhirnya Gajah menyerah. Ia terus berteriak
meminta tolong kepada siapa saja yang mendengarnya.
Sementara itu, Harimau yang dalam
perjalanan pulang setelah ditipu mentah-mentah oleh si Kancil, kebetulan berada
di dekat tempat tersebut. Telinganya yang tajam mendengar teriakan meminta
tolong.
“Sepertinya aku tahu suara itu.” Kata
Harimau dalam hati.
Harimau berlari secepatnya menuju
sumber suara tersebut. Tidak butuh waktu yang lama, ia sampai juga kesumber
suara. Betapa kagetnya sang Harimau ketika melihat kejadian didepannya.
“Hentikan!” Bentak Harimau kepada
jutaan Semut.
Suara menggelegar dari Harimau tentu
saja membuat semua Semut terperanjat. Serta merta mereka berhenti menggingit
Gajah yang tidak berdaya itu. Namun karena luka yang dideritanya terlalu parah,
maka nyawa sang Gajah sudah tidak bisa tertolong lagi. Akhirnya hewan besar
yang gagah perkasa harus mati ditangan para Semut-semut kecil yang dianiaya
olehnya.
Tewasnya sang Gajah tentu saja membuat
Harimau marah. Namun, kemarahannya perlahan-lahan mereda setelah mendengar
penjelasan dari raja Semut tentang penindasan yang dilakukan sang Gajah. Serta
merta cerita dari raja Semut menyadarkan Harimau bahwa segala yang tidak
mungkin bisa menjadi mungkin dan terwujud dengan usaha yang keras dan bersatu.
Akhirnya, raja hutan ini memerintahkan
kepada raja Semut dan pasukannya untuk menguburkan mayat sang Gajah secara
baik-baik dan memaafkan semua Semut beserta pasukannya yang telah membunuh
wakilnya di hutan itu. Menyaksikan kenyataan yang baru saja terjadi, raja hutan
yang gagah perkasa ini menjadi semakin sadar bahwa ia sebenarnya hanyalah
mahluk kecil yang dapat dengan mudah dikalahkan. Semua keperkasaannya akan
sia-sia jika ia berkelakuan buruk. Sekelompok hewan yang dianggapnya lemah bisa
saja membunuhnya dengan mudah jika ia bertindak lalai.
Peristiwa yang baru saja dilihatnya
itu juga menyadarkan Harimau yang telah berbuat lalai terhadap Kutilang kecil
yang dimangsanya beberapa waktu yang lalu. Kejadian yang menimpa Gajah
benar-benar membuat hati Harimau terbuka. Iapun berjanji dalam hatinya tidak
akan mengulangi perbuatan Gajah yang sombong itu.
KESOMBONGAN
BERBUAH PETAKA
“Ini sudah sangat jauh dari rumpun
bambu, aku rasa Harimau tidak akan mengejarku sampai tempat ini.” Gumam Kancil
yang sudah berlari beberapa hari untuk menghindari kejaran Harimau yang telah
ditipunya.
Langit yang semula cerah tiba-tiba
menjadi gelap. Awan hitam berarak menutup matahari senja. Hari menjadi gelap
padahal malam belumlah tiba. Kancil menyadari bahwa sebentar lagi akan segera
turun hujan. Ia bergegas mempercepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh.
Tetes-tetes air mulai mengenai kulit
si Kancil menandakan gerimis telah jatuh. Hewan cerdik ini berlari kencang
menuju pohon jati besar yang dilihatnya dari kejauhan. Gerimis berubah menjadi
hujan lebat tatkala si Kancil tiba di bawah pohon jati, tidak jauh dari sungai
yang mulai mengering airnya karena kemarau panjang.
Kilat dan halilintar menyertai
titik-titik air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hewan yang tengah
kehausan, tanah menyerap air hujan dengan cepatnya. Dedauan yang semula kelabu karena tertutup debu kembali segar
setelah terbasuh hujan. Semua hewan air bergembira menyambut datangnya hujan
pertama setelah sekian lama.
Namun kegembiraan itu tidak sepenuhnya
dirasakan si Kancil. Tubuhnya basah kuyup karena guyuran air yang jatuh dari
pucuk-pucuk daun dan dahan jati tempatnya berteduh. Ia merapatkan tubuh
mungilnya kebatang pohon untuk menghindari tetesan air yang semakin deras tapi
ternyata batang pohon besar tersebut juga telah basah. Kancil mulai menggigil
kedinginan karenanya.
Akhirnya hujan deras itu
perlahan-lahan mereda. Matahari mulai terlihat lagi di langit barat.
Burung-burung yang semula berlindung disarangnyapun keluar dan berkicau riuh
untuk merayakan datangnya musim penghujan. Penghuni hutan yang semula harus
berjalan jauh untuk mencari minum, kini tidak lagi kesulitan untuk menemukan
sumber air. Semuanya senang menyambut datangnya musim hujan kali ini.
Hujan kini telah benar-benar reda.
Kancil yang semula menggigil kedinginan bejalan keluar dari tempatnya berteduh.
Ia berjalan menuruti kemana langkah kakinya menapak. Si Kancil sama sekali
tidak mempunyai arah dan tujuan dalam pengembaraannya kali ini. Sambil terus
berjalan, ia mengingat-ingat kembali semua kejadian yang baru saja dialaminya.
Sejak tertangkap dan berhasil meloloskan diri dari cengkraman Pak Tani dengan
jalan menipu Anjing miliknya. Kemudian dengan kecerdikannya ia berhasil
mengalahkan Kera, selamat dari mulut Buaya, dan yang paling membanggakannya
adalah ketika ia berhasil mengelabuhi Harimau sang raja hutan.
“Seharusnya akulah yang menjadi raja
hutan, bukan Harimau. Aku telah mengalahkannya, bukan dengan kekuatan badan,
melainkan dengan kecerdikanku.” Kata Kancil pada dirinya sendiri.
Mengetahui bahwa ia telah berhasil
mengalahkan binatang-binatang yang jauh lebih kuat daipada dirinya, Kancil
menjadi congkak dan sombong. Ia merasa bahwa dirinyalah hewan terkuat di dalam
hutan itu. Hewan cerdik ini berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan
terkadang melompat kecil untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling hebat.
Langkah kakinya semakin tidak
beraturan yang mengakibatkan ia tidak memeperhatikan jalan hingga akhirnya
tersandung sesuatu di depannya. Merasa terantuk batu, si Kancil berhenti dan
mencari batu mana gerangan yang mengenai kakinya. Matanya menangkap sebuah
benda berwarna kehitaman berbentuk bulat. “Rupanya, batu ini yang menghalangi
perjalananku.” Karena marah, Kancil kemudian menedang benda tersebut.
“Aduh.” Benda yang ditendang si Kancil
ternyata dapat berbicara. Hal itu tentu saja membuat si Kancil kaget dan
penasaran. Ia belum begitu yakin kalau benda itulah yang mengeluarkan suara.
Kancil kembali mendekati benda tersebut dan menendangnya sekali lagi dengan
lebih keras.
Benda kehitaman yang ternyata tidak
sepenuhnya berbentuk bulat itu menggelinding karena tendangan Kancil. Sekali
lagi Kancil mendengar suara mengaduh. Kali ini Kancil yakin bahwa benda yeng
ditendangnya tersebut dapat berbicara. Ia kemudian mendekati benda tersebut
yang masih terus merintih dan mengaduh.
“Siapa kamu?” Tanya Kancil.
Kancil tidak langsung mendapat jawaban
dari pertanyaan yang diajukannya. Benda bulat kehitaman itu peralahan-lahan
bergerak dan terlihat terangkat keatas. Setelah semua jelas, barulah Kancil
mengetahui bahwa benda tersebut ternyata adalah seekor Keong.
“Aduh, aku pusing sekali. Siapa yang
tega melemparkan aku?”
“Aku yang menendangmu karena kukira
engkau adalah sebuah batu.” Jelas Kancil.
Keong tersebut berjalan mendekat.
Melihat cara berjalan dari Keong itu, Kancil tertawa terpingkal-pingkal.
“Kenapa engkau tertawa Kancil?”
“Aku tertawa karena melihat caramu
berjalan sangatlah lucu.”
“Semua Keong berjalan dengan cara
seperti ini, lalu apa aneh dan lucunya?”
“Menurutku cara berjalanmu itu
sangatlah lucu, dan amat pelan. Kapan kau bisa sampai ketujuanmu kalau kau
berjalan dengan cara seperti itu?” Hina Kancil. “Sekarang katakan padaku,
kemana tujuanmu?” Tanya Kancil mengejek.
“Aku sedang berjalan kearah sungai
yang berada tidak jauh dari sini. Setiap musim penghujan aku kesana untuk
bertelur.” Jelas Keong.
“Ya, aku tahu sungai itu memang sudah
tidak jauh dari sini. Aku bisa mencapai tempat itu dalam waktu singkat karena
aku bisa berlari dengan cepat. Tapi bagaimana denganmu? Dengan cara berjalanmu
yang seperti itu, aku kira kau baru akan sampai disana besok hari.”
“Tidak apa-apa, yang penting aku bisa
sampai disana.”
“Bagaimana kalau aku menolongmu agar
bisa cepat sampai ditempat tujuanmu?” Kancil menawarkan.
“Tidak usah kawan. Aku menghargai
niatmu, tapi aku tidak ingin menyusahkan siapapun.” Ucap Keong menolak tawaran
Kancil.
Penolakan halus dari sang Keong
ternyata tidak bisa diterima oleh Kancil. Menurut Kancil penolakan dari Keong
adalah sebuah kesombongan.
“Kalau begitu aku pergi dulu kawan.”
Bersamaan dengan itu, Keong berjalan merayap menyusuri tanah yang masih basah
menuju kearah sungai.
Kancil merasa semakin dihina dengan
kelakuan Keong yang dinilainya sombong. Sekali lompat, Kancil sudah berada
didepan Keong kembali.
“Sombong sekali kau Keong.” Kancil
berkata dengan marah.
Keong terheran-heran dengan ucapan
Kancil yang baru saja didengarnya.
“Sombong? Apa yang aku sombongkan
darimu kawan?”
“Kau berjalan dengan sangat lambat,
dan aku ingin menolongmu agar kau bisa sampai ketempat tujuanmu dengan cepat.
Namun kau menolaknya, bukankah itu merupakan sebuah kesombongan?”
“Itu bukanlah sebuah kesombongan
kawan. Semua bangsa kami berjalan dengan cara seperti ini, namun ini bukan
berarti kami lambat. Dan keinginanmu untuk menolongku adalah sebuah niat yang mulia,
tapi aku tidak bisa menerimannya karena pertolongan tidak datang setiap saat.
Jika aku menerima pertolongan darimu karena kau merasa kasihan dengan caraku
berjalan, itu sama saja aku ingin selalu dikasihani dan aku tidak bisa menerima
itu sebab aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan seperti ini.” Jelas
Keong.
Bukannya menerima penjelasan dari
Keong, Kancil malah semakim marah karena merasa disepelekan. Ia tidak habis
pikir ada hewan yang berjalan dengan cara merayap sangat pelan bisa sedemikian sombongnya.
Terbersitlah niat jahat dalam pikiran Kancil.
“Dasar tidak tahu diri.” Dengus
Kancil.
Bersamaan dengan itu ia kembali
menendang Keong hingga tubuhnya menggelinding kencang. Cangkang setengah bulat
dari sang Keong terus ditendang oleh si Kancil menuju kearah sungai walaupun
Keong sendiri terus menerus memohon pada Kancil untuk menghentikan
perbuatannya. Keong terus menggelinding mengikuti kemana arah yang diinginkan
oleh Kancil.
Tidak beberapa lama, Kancil mendengar
gemericik air yang menandakan bahwa sungai telah berada dekat di depan mereka.
Keong yang dari tadi menggelinding akhirnya berhenti karena terbentur rumpun
ilalang dipinggir sungai. Ia terus merintih tiada henti karena pusing yang
dirasakannya.
“Kau benar-benar tidak punya perasaan
Kancil. Teganya engkau menindasku yang lemah dan tidak berdaya ini.”
“Hei Keong, sama sekali aku tidak
menindasmu. Bukankah aku malah menolongmu untuk sampai kepinggir sungai dengan
lebih cepat?”
“Memang benar, tapi kau membawaku
kemari dengan cara menendangku. Bukankah itu sama saja menyiksa?”
“Berjalanmu sangat lambat dan tentu,
kau juga tidak bisa memanjat kepunggungku agar aku dapat menggendongmu. Jadi
satu-satunya jalan untuk membawamu kemari adalah menggelindingkan tubuhmu.”
Ejek Kancil.
“Aku memang lambat, tapi belum tentu
engkau bisa lebih cepat dariku.”
Kancil tertawa terpingkal-pingkal
mendengar apa yang diucapkan oleh Keong. Ia tidak habis pikir bagaimana hewan
kecil dan lambat seperti Keong bisa lebih cepat darinya.
“Apa maksudmu? Kau ingin beradu cepat
denganku? Kau tidak akan mungkin menang.”
“Kalu begitu mari kita buktikan siapa
yang lebih cepat dalam sebuah perlombaan lari.” Tantang Keong kepada Kancil.
“Baiklah, ayo kita lakukan sekarang.
Kau boleh berlari terlebih dahulu.”
Keong sadar dia tidak akan mungkin
menang melawan Kancil dalam sebuah perlombaan lari jika ia sendirian. Maka dari
itu, ia berusaha mencari alasan agar Kancil mau menunda perlombaan antara
mereka sampai esok hari.
“Tidak mungkin kita melakukan
perlombaan itu hari ini. Disamping hari hampir gelap, aku juga masih sangat
pusing karena kau tendang kesana-kemari. Tapi aku akan siap melawanmu besok
pagi.” Keong beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kita akan
berlomba besok pagi. Silahkan kau yang menentukan tempat pertandingan kita.”
Tegas Kancil.
“Kalau begitu, kita bertemu lagi besok
pagi ditempat ini. Dan kita akan berlomba disepanjang aliran sungai. Dimulai
dari sini dan berakhir dicabang sungai yang terletak cukup jauh didepan kita.
Kau setuju?”
“Baik, aku setuju.”
“Sekarang aku akan beristirahat di
sungai untuk memulihkan tenagaku. Jika kau mau tetap disini silahkan saja.”
Tidak menunggu jawaban dari si Kancil,
Keong berjalan menuju pinggiran sungai dan kemudian menceburkan diri kedalamnya
dan Kancil ditinggalkannya sendirian di tempat itu.
Merasa dirinya disepelekan oleh Keong,
Kancilpun pergi meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali besok pagi untuk
berlomba.
“Bagaimaan mungkin Keong bisa menang
melawanku?” Gumam Kancil sambil melangkah pergi.
Sementara itu, ternyata dipinggiran
sungai yang tidak berarus deras, Keong tidaklah sendiri. Disana telah berkumpul
ratusan Keong lainnya yang memang setiap musim penghujan datang berkumpul
disungai itu. Segera ia menceritakan apa yang baru saja dialaminya juga dengan
lomba adu cepat yang telah disepakatinya bersama Kancil.
Semua Keong yang ada di tempat itu
tentu saja terperanjat kaget dengan apa yang dikatakan oleh kawannya tersebut.
“Kau menantang Kancil lomba lari?”
Tanya salah satu Keong terheran-heran.
“Apa mungkin kau bisa menang melawan
Kancil?” Keong yang lain turut bertanya.
“Iya, aku memang menantang Kancil
untuk beradu cepat besok pagi. Tapi aku tidak akan berlomba lari dengan Kancil
sendirian. Kita semualah yang akan berlomba melawan Kancil.” Jelasnya.
“Kita semua? Apa maksudmu?”
“Kita mempunyai kesamaan bentuk dan
ukuran, jadi aku punya rencana untuk mengalahkan Kancil dalam perlombaan itu.
Kita diuntungkan oleh kemiripan dan juga oleh derasnya arus sungai.”
“Aku semakin tidak mengerti.”
Keong kemudian mengutarakan rencananya
agar dapat mengalahkan Kancil. Ia menjelakan, dengan kemiripan yang mereka
punyai ia ingin membodohi Kancil yang sombong itu. Keong ini kemudian meminta
teman-temannya untuk membantu dengan jalan mereka semua bersembunyi terlebih
dahulu dirimbunnya ilalang yang ada disepanjang aliran sungai dengan jarak
tertentu sampai pada cabang sungai.
“Dengan bantuan arus sungai kita dapat
dengan cepat sampai pada pos kita masing-masing.” Keong mengakhiri
penjelasannya yang ternyata dapat diterima oleh semua teman-temannya.
“Kapan kita bisa mulai?”
“Sekarang saja kita mulai berpencar.
Hal itu bisa menambah waktu kita semua untuk beristirahat malam ini.”
Keong kemudian membagi teman-temannya
dalam beberapa kelompok dan tempat mana yang akan ditempati. Hal itu bertujuan
agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penempatan diri Keong-keong tersebut.
Tidak lupa Keong ini juga berpesan kepada teman-temannya, begitu mereka sudah
menyelesaikan tugasnya agar segera menyelam kedalam sungai dan berkumpul
ditempat akhir perlombaan.
Setelah semuanya mengerti dengan jelas
dengan apa yang akan dilakukannya, mereka semuapun berangkat dengan diantarkan
oleh arus aliran sungai. Hanya Keong yang menantang Kancil yang tinggal
ditempat itu, karena dialah yang akan memulai lomba.
Matahari barulah terbit dengan
sempurna dan Kancil ternyata sudah berada ditempat yang disepakatinya bersama
Keong sebagai permulaan lomba. Rupanya semalamalan ia tidak bisa tidur dengan
nyenyak karena terus memikirkan perlombaannya dengan Keong. Kancil merasa
sangat terhina karena tantangan dari Keong untuk beradu cepat dengannya dalam
sebuah perlombaan lari.
Kancil berjalan kesana kemari tidak
beraturan karena gelisah dan tidak sabar menunggu Keong yang belum juga muncul.
Ia mendekati sungai untuk melihat apakah calon lawannya itu sudah menampakkan
dirinya atau belum.
“Keong, dimana kamu?” Teriak Kancil
memanggil. Namun sama sekali Kancil tidak mendengar jawaban dari Keong.
“Jangan-jangan Keong itu melarikan
diri.” Pikir Kancil. “Tapi aku akan menunggunya beberapa saat lagi, mungkin
Keong itu masih tidur.”
Beberapa lama ia menunggu, Kancil
memanggil Keong sekali lagi dan berharap ia menerima jawaban.
“Iya cil aku
disini.”
“Dimana Kamu?” Kancil bertanya sekali lagi
karena ia tidak melihat keberadaan dari Keong.
“Aku disini.” Ternyata Keong
tersembunyi dibalik rerumputan. Ia berjalan amat lambat mendekati Kancil.
“Bagaimana kau bisa menang melawanku,
sedangkan untuk berjalan dari sungai kesini saja sangat lama?” Kata Kancil
sambil tersenyum mengejek.
“Kita buktikan dengan berlomba saja
Cil.”
“Kapan kita bisa mulai perlombaan ini
keong? Sekarang?”
“Iya sekarang saja Cil.”
“Kalau begitu silahkan engkau berlari
terlebih duhulu Keong.”
“Tidak bisa seperti itu Cil, kita
harus memulainya bersama. Walaupun menurutmu aku hewan yang pelan tapi aku
tidak mau kau perlakukan seperti itu.
“Baik, ayo kita mulai. Dasar sombong,
lihat saja aku pasti akan mengalahkanmu.”
Mereka berdua akhirnya memulai
perlombaan, Kancil langsung berlari sekuat tenaga dan berusaha meninggalkan
Keong sejauh-jauhnya agar ia bisa sampai ditempat akhir lomba terlebih dahulu.
Benar saja, Kancil berhasil meninggalkan Keong sangat jauh. Sementara itu, sang
Keong segera menuju sungai dan menghanyutkan dirinya bersama arus.
Karena sudah merasa cukup jauh
meninggalkan Keong, Kancil memperlambat larinya. Tapi betapa kagetnya dia
karena ternyata ia melihat Keong sudah berada didepannya.
“Ayo Cil kejar aku.”
Mendengar tantangan Keong, Kancilpun
kembali mempercepat larinya dan berhasil menyusul lawannya itu. Keong kedua
itupun segera menceburkan dirinya setelah merasa Kancil tidak melihatnya lagi.
Kancil yang sudah berada didepan, kemudian memanggil lawannya untuk mengetahui
dimana keberadaan dari sang Keong.
“Aku sudah berada didepanmu Cil,
mengapa kau begitu lambat?” Sahut Keong untuk menjawab panggilan Kancil.
Kancil semakin terbakar emosinya
karena sang Keong ternyata sudah berhasil mendahuluinya. Ia tidak habis pikir
mengapa Keong yang lambat itu bisa selalu berada didepannya. Kancil yang marah,
sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Ia terus berlari dan berlari. Namun yang
dialaminya selalu sama. Keong terus berada didepannya dan memimpin perlombaan.
Sementara itu, Keong pertama sudah
berada dicabang sungai dengan diantarkan oleh aliran air. Ia berjalan perlahan
untuk mencapai tempat akhir perlombaan yang telah disepakatinya bersama Kancil
kemarin. Keong itupun berhenti diatas sebuah batu yang cukup besar dengan
tujuan agar Kancil bisa melihatnya begitu ia sampai ditempat tersebut. Tidak
lama kemudian, dari kejauhan dilihatnya Kancil berlari cepat dengan nafas
terengah-engah karena kelelahan. Hewan cerdik ini terpetanjat kaget ketika
melihat Keong ternyata sudah terlebih dahulu sampai di garis akhir perlombaan.
“Kau kalah Cil, ternyata aku lebih
cepat darimu.”
“Tidak mungkin, kau pasti mencurangi
aku.” Kancil berkata sambil terengah-engah.
“Bagaimana mungkin aku curang
kepadamu, lihatlah badanku yang penuh keringat ini karena terus berlari untuk
mendahuluimu.” Keong menunjukkan sekujur tubuhnya yang basah karena baru saja
keluar dari sungai.
“Makanya Cil, kita itu tidak usah
sombong. Semua hewan dihutan ini tahu bahwa kau bisa berlari dengan cepat, dan
aku adalah hewan yang lambat. Tapi karena kesombonganmu itulah kau bisa aku
kalahkan.” Keong menasehati.
Kancil sangat terpukul dengan
kenyataan yang dihadapinya. Ia sama sekali tidak mendengarkan nasehat dari
Keong dan memilih kembali berlari secepatnya karena malu dengan kekalahannya
kali ini.
KISAH SEMUT DAN MERPATI
Siang itu langit kembali mendung. Awan
hitam terlihat tebal menyelimuti langit yang semula cerah. Seolah tidak peduli
dengan keadaan alam yang tengah terjadi, Kancil terus berjalan sambil
menundukkan muka karena malu dengan kekalahan yang diterminanya ketika berlomba
lari dengan Keong tempo hari. Ia tak pernah berhenti memikirkan bagaimana cara
Keong untuk mengalahkannya.
“Aku telah berhasil mengalahkan hewan
buas dan lebih kuat dariku, tapi aku dikalahkan oleh Keong ini sungguh
memalukan.”
Terus berpikir dengan kekalahannya
tempo hari, tanpa sadar Kancil telah keluar dari hutan. Sekarang ini ia berada
di pinggiran sebuah telaga cukup besar yang sebenarnya terletak tidak begitu
jauh dari ladang milik Pak Tani. Ditempat itulah Kancil memilih berhenti untuk
beristirahat karena hujan rintik-rintik juga sudah mulai turun.
Bersandar pada sebuah batu besar
dipinggir telaga, ia merebahkan badan sambil merenungi apa yang sudah menimpa
dirinya. Semua dialaminya dalam beberapa waktu belakangan tergambar jelas dalam
ingatanya. Namun yang paling mengganjal tentulah kekalahannya dari Keong.
Ditempat itu pula Kancil teringat akan nasehat terakhir Keong yang diberikan
kepadanya.
Kemenangan yang diraihnya dari Kera,
Harimau dan Buaya memang telah menjadikannya lupa diri dan merasa bahwa dialah
yang paling hebat hingga menyepelekan Keong yang kemudian berhasil
mengalahkannya dalam perlombaan lari tempo hari.
“Apa yang telah dikatakan Keong padaku
memang benar adanya. Aku terlalu sombong hingga lupa diri.”
Kancil terus merenungi semua yang
sudah menimpanya. Ia merasa sangat bersalah atas kesombongannya terhadap Keong.
Ingin ia meminta maaf karena telah menghina dan menyiksanya. Selain kepada
Keong, Kancil juga merasa bersalah kepada Kera, Harimau, dan Buaya karena telah
menipunya.
“Jangan-jangan Harimau itu mati karena
lidahnya terjepit bambu. Jika dia mati siapa yang memimpin hutan ini?” Pikir
Kancil.
Rasa bersalah dan lamunan Kancil
tiba-tiba berhenti ketika Merpati hulubalang raja tiba-tiba hinggap diatas batu
tempatnya bersandar. Kancil merasa ketakutan setengah mati melihat sang
Merpati. Pasti Merpati ini ditugaskan oleh sang raja untuk mencarinya, demikian
pikir Kancil.
“Kebetulan sekali aku bertemu engkau
disini Cil.”
“Engkau mencariku? Ada apa gerangan?”
“Aku mencari semua warga hutan untuk
menyampaikan undangan dari sang raja. Beliau meminta semuanya berkumpul.”
“Sang raja kembali mengumpulkan semua
warganya?”
“Iya Cil, paduka raja ingin
mengumumkan bahwa kekuasaan hutan ini telah kembali kepadanya setelah kematian
sang Gajah beberapa waktu lalu.”
Kancil terperangah mendengar berita
tentang kematian Gajah yang gagah perkasa.
“Gajah telah meninggal? Bagaiamana
bisa? Apakah ia mati ditangan para pemburu?”
“Bukan, sang Gajah mati karena ribuan
Semut telah mengeroyoknya.”
Kancil seolah tidak percaya dengan apa
yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa Semut membunuh Gajah? Merpati yang
melihat ketidakpercayaan Kancil kemudian menceritakan kejadian bagaimana
kesombongan Gajah setelah memegang tampuk kekuasaan dan bertindak semaunya.
Karena kecongkakan Gajah itulah ia kemudian bertindak lalai dan menindas para
Semut yang dikiranya hewan kecil dan lemah. Tapi ternyat ia salah, karena pada
akhirnya seluruh semut bersatu dan berhasil mengalahkan Gajah secara
bersama-sama.
“Maka dari itu Cil, jangan
mentang-mentang kita kuat maka kita berbuat lalai kepada yang lemah.” Nasehat
Merpati pada Kancil.
“Benar sekali apa yang kau katakan.
Pada akhirnya kesombongan akan mencelakakan diri kita. Tapi mengapa engkau bisa
sampai kesini? Bukankah ini sudah tidak termasuk wilayah hutan?”
“Setiap aku mendapat dari sang raja
untuk memanggil warganya, aku selalu mampir kesini. Disini merupakan tempat
yagn sangat bersejarah bagiku Cil.”
“Kenapa?”
“Dulu aku pernah hampir saja tewas
ditangan seorang pemburu disini kalau saja tidak ada Semut yang menolongku.”
Merpati menatap kosong ketengah
telaga. Ia teringat akan pengalaman yang beberapa waktu lalu menimpanya
ditempat yang sama.
“Waktu itu, hujan juga turun seperti
ini Cil.” Merpati mengawali ceritanya.
Karena hujan yang mulai turun, Merpati
memutuskan berhenti untuk mencari tempat perlindungan. Dipilihnya sebatang
pohon berdaun lebat yang kiranya dapat dijadikan tempat berteduh. Hujan gerimis
turun semakin besar, tatkala Merpati mendengar sayup-sayup teriakan meminta
tolong. Ia berusaha mencari siapa yang berteriak membutuhkan pertolongan itu.
Tapi matanya yang memang tidak setajam Elang, tidak bisa menemukan siapa yang
berteriak itu.
“Tolong, aku tidak bisa berenang.”
Teriakan itu kembali terdengar oleh
Merpati. Karena rasa kasihan dan penasaran, ia kemudian turun dari dahan pohon
menuju sebuah batu yang berada dipinggiran telaga. Disitu ia memasang telinga
dan matanya baik-baik.
“Tolong, aku mohon, aku tidak bisa
berenang.”
Sekali lagi teriakan itu terdengar.
Ternyata suara itu berasal dari tengah telaga jernih didepannya. Sang Merpati
kemudian terbang ketengah telaga untuk melihat siapa yang sedang membutuhkan
pertolongan. Ditengah telaga, terlihat olehnya seekor Semut yang sedang
terombang-ambing berusaha untuk menepi. Namun karena ia tidak bisa berenang
arus air membawanya kembali ketengah telaga.
“Merpati tolong aku, kumohon.” Pinta
Semut yang sedang kesusahan tersebut.
“Tunggu disini teman, aku akan segera
kembali untuk membantu menolongmu.”
Merpati langsung terbang kearah pohon
tempatnya semula berteduh. Dengan paruhnya ia memtuk sebuah daun yang sudah
hampir kering yang kemudian dibawanya terbang kembali ketengah telaga. Merpati
terbang dengan rendah agar dapat melihat secara jelas keberadaan Semut malang
itu. Tepat berada diatas si Semut, Merpati melepaskan daun yang ada diparuhnya.
“Berusahalah untuk naik kedaun itu,
angin akan membawamu kepinggir telaga.” Merpati mengarahkan.
Semut dengan sekuat tenaga berusaha
berenang untuk menggapai daun yang tidak jauh darinya. Akhirnya dengan usaha yang
pantang menyerah, Semut berhasil menggapai daun yang akan menjadi perahunya.
Angin yang tidak begitu kencang membawa daun kepinggir telaga. Merpati yang
sedari tadi mengawasi, terbang mendekati daun yang mengangkut sang Semut.
“Ayo cepat naik kesini.” Perintah
Merpati pada Semut ketika melihatnya sudah benar-benar merapat ditepi telaga.
Dengan sisa-sisa tenaga yang
dimilikinya, Semut merayap untuk mendaki tebing telaga yang agak licin karena
gerimis. Namun keinginan untuk terus bertahan hidup mebuat semangat dan
tenaganya kembali pulih. Dan dengan waktu yang tidak begitu lama, sampailah
Semut ketempat yang benar-benar aman.
“Terimakasih sekali Merpati. Kau telah
menyelamatkan aku. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas semua ini.”
“Kau tak perlu berterimakasih teman,
siapaun pasti akan melakukan hal yang sama seperti apa yang telah aku lakukan.
Bagaimana engkau bisa jatuh dan hampir tenggelam ketelaga?”
“Tapi kalau kau tidak ada, aku tidak
akan mungkin dapat selamat dan kembali kepada keluargaku. Aku kurang hati-hati
ketika berjalan kepinggir telaga, maka dari itu aku terperosok dan jatuh
kedalamnya.”
Gerimis turun semakin besar hingga
mengakibatkan bulu-bulu sang Merpati mulai nampak basah.
“Maafkan aku teman, aku harus kembali
berteduh. Kalau seluruh badanku basah, akan sulit bagiku untuk bisa kembali
terbang.”
“Baiklah teman, sekali lagi aku
mengucapkan terimakasihku padamu. Aku juga harus segera pulang karena
keluargaku pasti telah cemas menunggu kepulanganku. Sampai jumpa lagi teman.”
Kedua sahabat baru itu kemudian
berpisah, Merpati kembali ketempatnya berteduh semula dan Semut berjalan
menyusuri telaga untuk pulang kesarangnya. Semut kini berjalan dengan lebih
hati-hati supaya ia tidak terpeleset dan jatuh kedalam telaga lagi. Dalam
perjalanan pulang kesarangnya itulah, sang Semut melihat ada seorang pemburu
yang tengah mengarahkan senapannya kearah Merpati yang tengah berlindung di
dahan pohon.
Menyadari bahaya yang mengancam
Merpati penolongnya itu, ia berlari agar bisa segera sampai sedekat mungkin dengan
sang pemburu yang bersiap-siap melepaskan tembakan. Pemburu telah mengarahkan
senapannya tepat kebadan Merpati dan jari telunjuknyapun sudah menyentuh
pelatuk senapan. Tidak membuang waktu, Semut langsung menggigit kuat-kuat kaki
pemburu jahat itu. Karena kaget, pemburu menarik pelatuk senapan yang semula
sudah tepat mengarah ketubuh Merpati menjadi melenceng jauh.
Suara keras yang ditimbulkan oleh
letupan senapan membuat sang Merpati sadar bahwa bahaya telah mengancam. Namun
karena kepanikan yang melanda, ia justru malah terbang kearah sang pemburu yang
terus menggerutu dan menggaruk-garuk kakinya karena gigitian dari sang Semut.
“Dasar Semut kurang ajar. Dimana kamu?
Awas kalau nanti ketemu.” Gerutu sang pemburu.
Rupanya ucapan pemburu ini didengar oleh
Merpati yang terbang diatasnya. Sang merpati kini tahu bahwa bidikan senapan
dari pemburu itu meleset karena Semut telah menggigit kakinya. Dalam hati,
Merpati mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya pada Semut yang sudah
menolongnya itu.
Pemburu yang kecewa karena tidak
mendapatkan buruannya kemudian pergi meninggalkan telaga untuk pulang
kerumahnya. Merpati yang terus terbang tinggi berputar-putar lalu turun ketika
melihat pemburu yang mengincarnya telah jauh meninggalkan tempat itu.
“Semut, dimana kamu?”
“Aku disini Merpati.”
Semut kecil itu kemudian berjalan
keluar dari balik daun-daun kering yang berserakan disekitan tempat itu ketika
mendengar merpati memanggilnya.
“Kau telah menyelamatkan nyawaku
Semut. Sepertinya tidak ada yang pantas untuk menggantikan jasamu padaku ini.”
“Tidak Merpati. Engkau juga telah
menyelamatkan aku yang hampir saja tenggelam di telaga. Kalau tidak ada engkau
akupun tidak akan bertemu pemburu yang hendak menembakmu itu karena aku sudah
tenggelam terlebih dahulu.”
“Semut, biar bagaimanapun kau telah
menyelamatkan aku. Aku tetap ingin mengucapkan terimaksihku yang
sebesar-besarnya padamu.
“Sama-sama Merpati, engkau juga telah
menolongku.”
“Akhirnya kami berdua berpisah
ditempat ini, Cil.” Kata Merpati mengahiri ceritanya.
“Sungguh mengharukan ceriamu Merpati.
Dan sungguh mulia hati kalian serta betapa indahnya hidup saling
tolong-menolong satu dengan lainnya.”
“Benar Cil. Maka dari itu, aku selalu
menyempatkan waktuku untuk mengunjungi tempat ini untuk mengenang kembali kebaikan
dari Semut yang menyelematkan aku dari pemburu itu.”
Hari sudah menjelang senja dan hujan
rintik-rintik sudah mulai reda.
“Sepertinya aku harus kembali kehutan
guna melaporkan hasil kerjaku kepada sang raja Cil. Aku tak mau kemalaman
dijalan dan sepertinya gerimis sudah mulai reda hingga aku tak perlu takut
untuk terbang.”
“Silahkan saja kalau kau ingin
melanjutkan perjalananmu kembali Merpati. Aku juga akan mencari tempat menginap
malam ini.”
“Baiklah kalau begitu, tapi aku harap
kau mau datang ketempat pertemuan yang diadakan oleh sang raja.”
“Aku pasti datang Merpati. Banyak hal
yang ingin aku sampaikan kepada sang raja disana.”
“Aku permisi dulu Cil.”
“Hati-hati Merpati, sampai jumpa lagi
di istana sang raja.”
Merpati kemudian terbang dan Kancil sendiri
juga meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat menginap yang bisa
melindunginya dari dinginnya malam dan hujan kalau seandainya saja kembali
turun malam ini.
KERBAU LUGU DAN
BUAYA SERAKAH
Musim penghujan benar-benar telah datang.
Sudah beberapa hari terakhir hujan terus menerus mengguyur tanpa pernah
berhenti. Hampir semua hewan-hewan penghuni hutan menjadi susah karena keadaan
tersebut. Burung-burung tidak berani keluar dari sarangnya untuk terbang
mencari makan. Kawanan Kera yang biasanya bergelantungan dan berlompatan dari
satu dahan pohon kepohon lainnya lebih memilih untuk berlindung dari dinginnya
guyuran air hujan. Demikian halnnya dengan hewan-hewan lainnya yang lebih
memilih untuk berdiam diri ditempat perlindungannya.
Hujan yang terus-menerus juga
menyebabkan sungai-sungai disekitar hutan meluap. Air sungai yang semula jernih
kini berubah menjadi keruh kecoklatan serta alirannya yang semula tenang,
sekarang menjadi deras dan berbahaya. Tidak sedikit penghuni sungai yang
bertubuh kecil akhirnya hanyut terbawa air karena tidak mampu berenang
mempertahankan diri. Sementara hewan sungai yang bertubah besar dan kuat, lebih
memilih untuk berada ditepi sungai dimana arus air tidak begitu deras.
Buaya, sang raja disungai juga lebih
memilih untuk berada ditepi guna menghindari arus ditengah sungai yang sangat
deras. Buaya besar ini terus mencari tempat yang dirasa aman olehnya. Ia terus
berjalan hingga tanpa sadar ia sudah terlalu jauh meninggalkan sungai masuk
kekawasan hutan. Cukup lama berjalan, akhirnya Buaya ini berhenti di bawah
sebatang pohon tua. Buaya yang merasa lelah karena baru saja berjalan jauh ini
kemudian tertidur dengan lelap.
Baru sesaat sang Buaya tertidur, hujan
deras tiba-tiba reda digantikan oleh tiupan angin kencang. Pucuk-pucuk pohon
yang tinggi bergoyang karena tertiup angin. Daun-daun kering disetipa ranting
pohon mulai berguguran karena tidak mampu menahan laju dari udara yang kuat.
Semakin lama angin berhembus semakin kuat mulai mematahkan dahan dan
cabang-cabang bahkan tidak sedikit dari pohon-pohon yang juga turut roboh.
Suara gemuruh yang disebabkan oleh tumbanya pepohonan menghiasi seluruh hutan.
Namun kebisingan yang ditimbulkan
tidak cukup untuk membangunkan Buaya yang tengah tertidur dengan pulas. sang
Buaya besar ini baru terbangun ketika pohon tua yang menjadi tempat berlindung
roboh dan menimpa tubuhnya. Ia sangat kaget karena tiba-tiba merasa ada sebuah
beban yang sangat berat berada dipunggungnya. Sekuat tenaga sang Buaya berusaha
melepaskan diri dari pohon yang menghimpitnya tapi usahanya tetap sia-sia
karena pohon itu terlampau besar dan berat. Buaya yang terjebak ini sekarang
hanya mampu berteriak meminta tolong dan berharap ada yang bisa membantunya
melepaskan diri.
Tiupan angin topan yang melanda hutan
akhirnya berhenti. Matahari juga mulai terlihat sudah condong kebarat menadakan
hari telah senja. Burung-burung yang semula hanya berdiam diri disarangnya kini
mulai keluar dan berkicau riang. Riuh rendah suara patahnya ranting dan
tumbangnya pepohonan berganti dengan nyanyian merdu burung-burung penghuni
hutan. Warga hutan yang semula takut, kini mulai berani keluar untuk mencari
makan. Dari kejauhan terlihat seekor Kerbau yang berjalan kearah sungai untuk
mencari rumput yang biasanya banyak ditemuinya tumbuh disekitar sungai.
Ia berjalan sendirian melalui jalan
yang tidak jauh dari tempat Buaya terjepit batang pohon besar.dari temptanya
berjalan, Kerbau kekar ini mendengar sayup-sayup suara rintihan minta tolong
yang berasal tidak jauh darinya. Suara rintihan itu menuntun sang Kerbau untuk
mendekatinya.
“Kerbau, kumohon tolong aku dari
jepitan kayu besar ini.” Buaya memohon sambil terus merintih kesakitan karena
terjepit kayu.
Sang Kerbau yang melihat Buaya tengah
kesakitan dan butuh pertolongan merasa kasihan. Namun keinginannya untuk
menolong Buaya malang itu terhenti ketika ketakutannya kalau-kalau Buaya itu
akan memakannya setelah berhasil lolos dari himpitan kayu.
“Untuk apa aku menolongmu? Bukankah
kau selalu menjadikan teman-temanku sebagai makananmu? Dan jika kau berhasil
kutolong tentulah kau akan memakanku juga.”
“Tidak Kerbau, aku bukanlah hewan yang
tidak tahu balas budi. Jika kau menolongku aku berjanji tidak akan memakanmu
dan juga teman-temanmu.”
Buaya terus merintih kesakitan,
rintihan inilah yang menjadikan Kerbau kasihan kepadanya.
“Apakah kau akan menepati janjimu jika
aku menolongmu?”
“Benar Kerbau, kau bisa memegang
kata-kataku. Aku tidak akan memangsamu dan seluruh kerbau-kerbau lainnya.
Tolonglah, aku sangat kesakitan disini.”
“Baiklah Buaya, aku percaya padamu.”
Lalu Kerbau mendekati Buaya dan pohon
yang menghimpitnya. Dengan tanduk dan kekuatan besar yang dimilikinya, ia
mengangkat batang pohon besar yang menimpa Buaya. Dengan dibantu oleh Kerbau,
akhirnya Buaya malang itu terbebas dari jepitan kayu besar yang menindihnya.
Tapi persoalan yang dihadapi oleh Buaya tidak berhenti sampai disitu, sekarang
punggungnya terasa sangat sakit sehingga ia tidak bisa berjalan kembali
kesungai.
“Kerbau, tolonglah aku sekali lagi.
Karena terjepit oleh kayu itu, tulang dipunggungku serasa patah dan aku tidak
bisa berjalan untuk kembali kesungai.”
“Mengantarkanmu? Bagaimana caranya?”
“Engkau hewan yang sangat kuat Kerbau.
Kau mampu mengangkat batang kayu yang besar itu, tentulah bukan sebuah
kesulitan bagimu untuk menggendongku sampai kesungai.”
“Kasihan sekali kau Buaya, baiklah aku
akan menggendongmu.”
Lalu Kerbau menundukkan badannya
supaya Buaya dapat dengan mudah naik keatas punggungnya. Dengan kesakitan dan
sisa tenaga yang dipunyai Buaya berusaha naik kepunggung Kerbau yang baik hati
itu. Buaya berpegangan erat dipunuk Kerbau agar tidak jatuh begitu sang Kerbau
mulai berjalan. Melihat punuk Kerbau yang besar dan penuh daging itu timbullah
niat jahat dari Buaya. Ia ingin memakan punuk itu karena sang Buaya sadar,
dengan keadaannya sekarang ini ia tidak akan bisa leluasa mencari makan.
“Kerbau kau sangat baik hati telah
menolongku dari himpitan kayu dan sekarang kau bersedia mengantarkan aku
kesungai. Maukah kau memberikan sesuatu milikmu untuk menolongku sekali lagi?”
“Aku menolongmu karena kau memang
sedang membutuhkan pertolongan. Selain itu, kau juga berjanji tidak akan
memakan aku dan teman-temanku. Apa lagi yang kau inginkan dariku Buaya?”
“Sekarang aku sangat lapar Kerbau.
Bolehkah aku memakan punukmu ini?”
Permintaan dari Buaya kali ini tentu
saja langsung ditolak oleh Kerbau, sementara sang Buaya culas ini terus menerus
meminta Kerbau untuk memberikan punuknya sebagai makanannya. Pertengkaran hebat
anatara merekapun terjadi. Kerbau meminta Buaya untuk turun dari punggungnya
atau ia akan menghempaskan Buaya kuat-kuat. Namun sang Buaya tetap tidak mau
turun bahkan ia mencengkeran kuat-kuat punuk Kerbau hingga terluka dan berdarah
sehingga niat Kerbau untuk menghempaskan Buaya culas itu batal terlaksana.
“Aku hanya menginginkan punukmu, bukan
ingin memakanmu.”
“Tapi itu sama saja menyakitiku. Kau
sungguh tidak tahu balas budi Buaya. Aku telah menolongmu tapi sekarang kau
malah ingin memakan punukku. Sekarang turun dari punggungku” Bentak Kerbau.
“Aku tidak akan turun sebelum engkau
mau memberikan punukmu sebagai makananku. Kalau kau tetap tidak mau
memberikannya, aku akan memakanmu.”
Pertengkaran antara mereka berduapun
terjadi semakin hebat. Kerbau dan Buaya sama-sama tidak mau mengalah dan merasa
bahwa merekalah yang paling benar. Kerbau yang kesakitan karena cengkraman kuku
Buaya dipunuknya berjalan semakin cepat kearah sungai. Buaya yang takut
kalau-kalau Kerbau akan menghempaskannya juga mencengkeram semakin kuat.
Dari kejauhan, Buaya dan Kerbau melihat
Kancil yang sedang berjalan kearah mereka. Kancil sendiri kebetulan lewat
tempat itu karena hendak mengikuti pertemuan warga hutan yang diadakan sang
Harimau. Melihat kedatang hewan cerdik ini, Kerbau mengusulkan pada Buaya untuk
meminta pendapat dari Kancil tentang cara penyelesaian dari pertengkaran
diantaranya.
“Kancil terkenal sebagai hewan yang
cerdik, tentulah ia bisa membantu kita untuk memutuskan mana yang terbaik.”
“Aku setuju dengan apa usulmu Kerbau.
Kau memang telah menolongku, tapi tanpa makan aku juga akan mati. Aku telah
berjanji untuk tidak memakanmu, maka dari itu aku hanya menginginkan punukmu
ini. Kalau begitu mari kita tanyakan masalah ini kepada Kancil.”
Dengan menggendong Buaya, Kerbau
mendatangi Kancil dengan maksud ingin mendengar pendapat Kancil tentang
penyelesaian masalah yang sedang dihadapinya.
“Berhenti sebentar Cil, aku ingin
menanyakan sesuatu padamu.” Kata Kerbau setelah berada didekat Kancil.
Kancil tentu saja terheran-heran
melihat ada seekor Buaya besar dipunggung Kerbau yang memanggilnya itu.
“Ada apa Kerbau? Dan mengapa ada
seekor Buaya dipunggungmu?”
“Justru karena itulah aku ingin
meminta pendapatmu.”
“Pendapatku?”
Kerbau dan Buaya secara bergantian
lantas menjelaskan duduk permasalah yang sedang mereka hadapi. Secara rinci,
kedua hewan yang tengah bertengkar itu menceritakan dari awal, bagaimana Buaya
bisa berada di gendongan Kerbau sekarang ini. Tidak lupa Kerbau juga mengatakan
bahwa sekarang ini Buaya ingin memakan punuknya, dan kalau ia tidak mau
memberikan punuk itu maka sang buaya akan memakan seluruh tubuh dari Kerbau.
“Bagaimana menurutmu Cil? Apakah aku
harus menyerahkan punukku atau Buaya yang seharusnya turun dari gendonganku?”
Tanya Kerbau setelah mengakhiri penjelasannya.
“Memang sulit untuk memutuskan masalah
yang sedang kalian hadapi. Disatu sisi, engkau telah menolong Buaya. Tapi
disisi lain, Buaya juga membutuh makanan sedangkan sekarang ini ia tengah
terluka dan itu akan menyulitkannya untuk mencari makan.”
“Kau adalah hewan yang banyak akal
Cil. Dulu kau pernah membohongi aku dan teman-temanku untuk menyebarangi
sungai. Dan aku rasa sekarang ini kau tentu punya ide untuk menyelesaikan
masalah diantara kami.” Ujar Buaya.
Kancil termenung sesaat memikirkan
jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah diantara kedua hewan tersebut.
Akhirnya ia menemukan ide untuk membantu Kerbau lolos dari cengkeraman Buaya
culas tersebut.
“Sepertinya aku tidak bisa menolong.
Masalah yang kalian hadapi sangtlah rumit. Ini menyangkut hidup dan mati.
Mungkin aku bisa membantu kalian jika saja melihat secara langusung apa yang
terjadi diantara kalian.”
“Maksudmu apa Cil?” Tanya Buaya.
“Aku akan membantu menyelesaikan
masalah kalian berdua asalkan kalian mau menunjukkan awal kejadiannya padaku.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan membawamu
ketempat dimana pohon itu tumbang. Mari ikuti aku Cil.”
Kerbau dengan menggendong Buaya
berjalan didepan sementara Kancil mengikutinya dari belakang. Tidak lama
kemudian mereka bertiga sampai ditempat pohon tumbang yang menjepit Buaya.
“Sekarang tunjukkan padaku bagaiman
keadaan Buaya ketika terjepit batang pohon lalu engkau kemudian datang untuk
menolongnya.” Perintah Kancil kepada Kerbau.
Kerbau dan Buaya menuruti saja apa
yang diperintahkan oleh Kancil. Kemudian Kerbau meminta Buaya turun dari gendongannya
dan menempati posisi dimana ia semula terjepit oleh batang pohon. Setelah Buaya
berada diposisinya maka Kerbau kembali mengangkat batang pohon besar tersebut
dengan tanduknya untuk menindih tubuh sang Buaya culas itu.
“Sekarang tunjukkan padaku darimana
engkau datang dan bagaimana engkau bisa menolong Buaya ini.” Perintah
selanjutnya dari Kancil kepada Kerbau.
Tanpa menolak sedikitpun, Kerbau
lantas menunjukan jalan yang semula dilaluinya untuk mencari makan hingga
akhirnya melihat Buaya yang sedang kesakitan karena terjepit kayu besar.
“Sekarang aku benar-benar sudah paham
dengan kejadian yang menimpa kalian berdua.”
“Kau bisa membantu kami untuk
menyelesaikannya Cil? Bagaimana? Kerbau, ayo segera bebaskan aku lagi” Buaya
berkata dengan kesakitan karena kembali terjepit batang pohon.
Kerbau berjalan hendak mengangkat
batang pohon yang menimpa Buaya, namun Kancil menghentikan niatnya.
“Untuk apa kau kembali menolongnya?
Buaya itu pasti akan memakan punukmu kalau kali ini kau membebaskannya kembali.
Sudah, lebih baik kita tinggalkan saja dia dan biarkan Buaya tetap seperti itu
sampai ada yang mau menolongnya.
“Kurang ajar kau Cil, kau membohongi
aku lagi.” Teriak Buaya marah.
“Kali ini aku tidak berbohong padamu,
itu adalah hukuman setimpal yang harus kau terima karena tidak tahu balas budi.
Kerbau, ayo kita pergi sekarang. Hari sudah hampir malam.”
“Terimakasih Cil, kau telah
menolongku.”
Si Kancil dan Kerbau lalu pergi
meninggalkan Buaya yang terus berteriak marah karena merasa telah kembali
ditipu. Tapi kemarahan Buaya ini tidak bisa berbuat banyak untuk menolongnya
yang harus kembali terjepit oleh sebatang pohon besar. Sementara itu si Kancil
dan Kerbau telah hilang dari pandangan matanya.
SALING BERMAAFAN UNTUK KEBERSAMAAN
Si Kancil dan Kerbau berjalan bersama
melintasi lebatnya hutan guna mencari tempat peristirahatan malam ini.
Berhubung musim penghujan telah benar-benar datang, mereka harus menemukan
tempat menginap yang juga sekaligus bisa melindungi mereka kalau-kalau hujan
turun. Tidak jauh didepan mereka, akhirnya terlihatlah sebuah gua kecil yang
kiranya cukup untuk ditempati bersama.
“Bagaimana dengan luka dipunukmu
teman?” Kancil bertanya pada Kerbau setelah mereka berdua memasuki gua
tersebut.
“Sudah tidak begitu sakit Cil. Kau
lihat sendiri bukan? Darahnya juga sudah mulai mengering.”
Si Kancil memandangi punuk sang Kerbau
dimana terdapat luka bekas cengkeraman kuku-kuku Buaya yang memang nampak telah
mengering.
“Lebih baik malam ini kita menginap
disini saja Cil, besok barulah kita melanjutkan perjalanan menuju pertemuan
hutan.”
“Iya, walaupun gua ini kecil tapi
cukup untuk melindungi kita dari dinginnya hujan. Aku sudah tidak sabar untuk
bertemu sang raja.”
“Memangnya ada hal penting yang ingin
kau sampaikan pada paduka hingga kau cepat-cepat ingin bertemu dengannya.”
“Aku telah melakukan kesalahan pada
sang raja dan warga hutan lainnya. Aku ingin meminta maaf sekaligus memohon
ampunan. Aku yakin disana akan berkumpul semua hewan yang telah aku sakiti.”
“Memangnya kau ini telah melakukan apa
Cil? Apakah kesalahan yang kau lakukan sedemikian besar?”
Kancil menceritakan semua yang telah
dilakukannya kepada Anjing milik pak tani, Kera, Harimau dan juga Keong kepada
Kerbau. Pengalaman yang dialaminya dengan Keong benar-benar telah merubah
hatinya. Tak lupa Kancil juga mencerikatan pertemuannya dengan Merpati yang
semakin menguatkan niatnya untuk meminta maaf dan merubah sikapnya.
“Pantas saja Buaya tadi mengatakan
pernah kau tipu Cil. Ternyata kau memang pernah bertemu dengan dia sebelumnya.”
Ucap Kerbau setelah Kancil selesai menceritakan pertualangannya.
“Biasanya Keong dan Kera memang hadir
dalam pertemuan hutan. Tapi aku belum pernah melihat Anjing yang engkau
ceritakan itu menghadiri pertemuan Cil.”
“Engkau benar Kerbau. Aku mungkin
tidak akan menjumpai Anjing tersebut. Tapi tidak apa, aku akan meminta maaf
pada semua yang hadir dipertemuan dimana dia pernah aku sakiti.”
“Senarnya engkau tidaklah menyakiti
mereka sepenuhnya Cil. Engkau hanya membela diri.”
“Aku memang hanya membela diri, tapi
apa yang aku lakukan, bisa saja membunuh mereka.”
Kedua sahabat baru itu terus
bercakap-cakap dan bertukar pikiran sampai larut malam. Mereka nampak akrab
layaknya teman lama yang sudah lama tidak saling bertemu. Perbincangan antara
mereka berdua berhenti ketika suara Burung Hantu terdengar menghiasi malam.
“Rupanya hari sudah benar-benar malam
Cil, lebih baik kita tidur karena perjalanan kita masih panjang.”
Kancil dan Kerbau kemudian sama-sama
menyandarkan badan mereka didinding gua untuk beristirahat ditemani suara
Jangkrik dan Burung Hantu.
Kokok Ayam jantan memecah keheningan
hutan manadakan pagi telah datang walaupun matahari sendiri belum terlihata
karen tertutup oleh mendung tebal. Kancil dan Kerbaupun segera tebangun walaupun
mereka berdua masih nampak lesu dan bermalas-malasan. Namun mereka berdua
segera bergegas ketika mengingat bahwa pertemun warga hutan akan diadakan
keesokkan hari.
“Kerbau, kita harus cepat menuju
kekediaman Harimau, lebih baik kita sampai disana sebelum senja dan
beristirahat serta menginap disana.”
“Iya Cil, kalau begitu mari kita
berangkat sekarang saja. Dijalan kita pasti akan menemui banyak makanan serta
tidak akan kesulitan mencari sumber air.”
Kancil dan Kerbau melanjutkan
perjalanan mereka menuju kediaman Harimau untuk menghadiri pertemuan seluruh
warga hutan. Sebenarnya hari telah siang ketika mereka memutudkan untuk
beristirahat dipinggir sungai, namun karena langit tertutup oleh mendung maka
matahari sama sekali tidak tampak hingga hutan telihat remang. Mereka berdua
melepaskan melepaskan dahaga pada air sungai yang mengalir deras. Kerbau yang
sepertinya sudah merasa lapar langsung memakan rumput ilalang yang banyak
dijumpainya hampir disepanjang aliran sungai. Sementara si Kancil lebih memilih
untuk menyandarkan diri pada batu besar dipinggir sungai.
“Apakah perjalanan menuju kediaman
Harimau masih jauh Kerbau?”
“Tidak Cil, kediaman paduka berada
didedat muara sungai ini. Sebentar lagi kita akan sampai disana.” Kerbau
menjelaskan.
“Kalau begitu kita istirahat saja dulu
disini.”
“Aku rasa juga begitu Cil. Kalau kita
sampai disana terlalu cepat, kita akan kesepian karena hewan-hewan yang lain
belum ada yang tiba di kediaman paduka raja.”
Semilir angin dan suasana mendung di
hutan membuat mata si Kancil mengantuk. Namun kantuknya itu tiba-tiba hilang
ketika melihat sebuah benda bulat hitam yang berjalan pelan diantara rerumputan
dipinggir sungai. Itu Keong, aku harus menemuinya, teriak si Kancil dalam
hatinya.
“Keong tunggu!”
Kancil bergegas menghampiri Keong yang
sempat kaget karena teriakan Kancil memanggilnya.
“Kamu Cil, ada apa memanggilku?”
“Tidak apa-apa Keong. Kamu hendak
kemana? Sepertinya tergesa-gesa sekali. Apakah kau juga ingin memenuhi undangan
dari sang Harimau untuk berkumpul dikedianmannya?”
“Iya Cil. Maka dari itu aku seharian
ini mengikuti arus air agar bisa sampai disana tepat waktunya. Kau sendiri
hendak kemana?”
“Aku juga akan datang kepertemuan itu.
Keong, aku menghentikan perjalananmu kali ini sebenarnya ingin meminta maaf
atas perlakuanku padamu beberapa waktu yang lalu. Aku sungguh menyesal telah
menyepelakan dan menendangmu kesana kemari. Aku mohon maafkan aku Keong.” Pinta
Kancil sepenuh hati.
Permintaan si Kancil kali ini tentu
saja membuat Keong terperanjat kaget. Ia sama sekali tidak menyangka kalau si
Kancil akan berkata seperti itu. Keong menatap dalam-dalam mata si Kancil dan
ia melihat ada ketulusan dalam permintaan maafnya.
“Sudahlah Cil, lupakan saja apa yang
sudah terjadi diantara kita. Itu hanyalah masa lalu dan kita bisa mengambil
hikmah dari peristiwa itu. Aku juga berterimakasih padamu. Karena kejadian itu
kami semua para Keong bisa bersatu.”
“Kau memaafkan aku Keong? Terimakasih
sekali. Kejadian waktu itu mempersatukan kalian? Apa maksudmu?”
Keong lantas menceritakan kejadian
sebenarnya bagaimana ia bisa memenangkan lomba adu cepat dengan si Kancil.
“Karena itulah aku meminta
pertandingan antara kita diadakan dipinggir sungai Cil. Hal itu bertujuan untuk
memudahkan kami agar bisa mencapai garis akhir perlombaan dengan cepat.” Kata
Keong menutup ceritanya.
Kancil menghela nafas panjang kemudian
tersenyum setelah mengetahui bagaimana Keong mengalahkannya.
“Kenapa Cil?”
“Tidak apa-apa Keong. Dari cerita yang
baru saja kudengar darimu itu membuatku semakin sadar kalau aku tidak akan
pernah bisa hidup sendiri. Aku membutuhkan teman-teman yang saling mendukung
agar bisa menjadi pemenang, walaupun hidup ini bukan untuk saling mengalahkan.”
Keong semakin kaget melihat perubahan
yang terjadi pada diri si Kancil. Terakhir bertemu dengannya si Kancil masih
mempunyai perangai sombong dan bertindak semuanya. Ternyata ia sekarang telah
menjadi hewan yang baik dan rendah hati.
“Aku juga berterimakasih padamu Keong,
karena kalau saja aku tidak kalah dalam pertandingan itu, tentu sekarang akan
menjadi semakin lupa diri dan hukuman atas kesombonganku itu pastilah akan
semakin besar.”
“Kau benar sekali Cil. Tidak ada
gunanya kita menyombongkan diri, karena diatas langit pasti masih ada langit
yang lebih tinggi lagi.”
“Cil, ayo kita melanjutkan
perjalanan.” Tiba-tiba suara Kerbau memanggil.
“Kau bersama Kerbau Cil?” Tanya Keong.
“Iya Keong. Kerbau, tunggu sebentar.”
“Cepatlah, sepertinya hujan akan
segera turun.” Suara Kerabu kembali terdengar.
“Keong bagaimana kalau kau ikut
bersama kami menuju kediaman Harimau.” Kancil menawarkan.
“Tidak perlu Cil, lebih baik aku
menempuh perjalananku melalui sungai saja. Disamping itu lebih cepat juga tidak
merepotkan kamu dan Kerbau.”
Si Kancil tentulah sudah sangat tahu
kalau Keong adalah hewan yang tidak mau merepotkan siapapun tidak berani
memaksa untuk ikut bersamanya menuju kediaman Harimau.
“Kalau begitu semoga kita bisa bertemu
lagi secepatnya dikediaman sang raja.” Kancil mengucapkan kata perpisahannya
pada Keong.
“Iya Cil, sampai jumpa lagi.”
Si Kancil bergegas menyusul Kerbau
yang sudah menantinya, sementara Keong turun kembali kesungai.
Kerbau dan si Kancil setengah berlari
ketika merasakan gerimis mulai turun. Mereka berdua tidak mau perjalanannya
terhambat karena hujan yang mungkin turun semakin deras. Akhirnya sebelum hari
menjadi gelap tibalah mereka di gerbang kediaman sang raja. Disana sudah
menunggu Merpati dan Kera yang merupakan pembantu terdekat raja. Kera yang
melihat kedatangan si Kancil tersenyum sinis mengingat apa yang telah dilakukan
oleh Kancil kepadanya beberapa waktu lalu. Namun ia tidak berani bertingkah
macam-macam dikediaman Harimau karena takut ia akan terkena hukuman nantinya.
Ia langsung memasang muka manis untuk menyambut kedatangan dua tamu rajanya
itu.
“Silahkan masuk, beberapa hewan lain
juga telah ada didalam.” Ucap Kera kepada kedua tamunya yang baru datang itu.
“Terimaksaih Kera. Ayo Cil kita
masuk.” Ajak Kerbau.
“Kau masuk lebih dahulu saja Kerbau.
Aku masih menunggu seorang teman.”
“Aku tunggu kamu didalam Cil.”
Kerbau kemudian masuk meninggalkan si
Kancil dipintu gerbang kediaman Harimau bersama Kera dan Merpati.
“Merpati, apakah Keong sudah sampai
disini.” Tanya si Kancil untuk berbasa-basi.
“Belum Cil. Ada apa?”
“Tidak apa-apa, tadi aku sempat
bertemu dengannya.”
“Apa kabarmu tuan Kera?” si Kancil
memberanikan dirinya untuk bertanya pada Kera walaupun tadi ia sempat melihat
bagaimana ekspresi wajah Kera ketika melihat kedatanganya bersama Kerbau.
“Baik, kau?” Kera menjawab ketus.
“Saya baik juga tuan.”
Si Kancil terlihat bingung bagaimana
ia harus mengucapkan permintaan maafnya pada Kera. Melihat dari cara Kera
memandang dan menjawab pertanyaannya, “sepertinya ia tidak akan memaafkan
perbuatanku tempo hari.” Guman si Kancil. “Tapi aku harus mencoba untuk meminta
maaf kepadanya.”
Kancil berjalan agar lebih dekat
dengan Kera. Ia berdiri tepat berada disamping hewan yang pandai memanjat itu.
“Tuan, saya kesini disamping untuk
menghadiri undangan dari sang raja juga untuk menyampaikan permintaan maaf saya
kepada semua yang telah saya sakiti termasuk anda. Saya mohon maaf
sebesar-besarnya dan sudilah kiranya anda memaafkan.”
“Tidak semudah itu Cil. Lihatlah hasil
perbuatanmu, luka diwajahku belumlah hilang karena sengatan tawon.”
“Saya mengerti kalau tuan masih
menyimpan rasa marah kepada saya, tapi saya benar-benar tulus ingin meminta
maaf dan juga berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Saya mohon maafkan saya
tuan. Dan masalah sengatan Tawon diwajah tuan, saya rasa itu dikarenakan
keserakahan anda sendiri.”
“Apa katamu Cil?” Kera membentak.
Suara keras Kera dalam membentak si
Kancil rupanya terdengar oleh Merpati.
“Ada apa dengan kalian berdua?”
Kera dan si Kancil menjawab bersamaan.
“Tidak ada apa-apa.”
“Ya sudah, jangan bertengkar disini
atau aku laporkan kepada paduka.”
“Tidak merpati, kami tidak bertengkar.
Hanya saja karena sudah lama tidak saling bertemu kami tidak mampu menahan
kerinduan untuk saling bertukar cerita.” Kancil memberi penjelasan.
“Apa maksudmu dengan keserakahanku
Cil?” Kembali bertanya hanya saja kali ini dengan suara yang lebih rendah.
“Cobalah tuan ingat-ingat kembali,
bukankah karena keinginan tuan untuk menguasai hutan ini dengan jalan menabuh
kenong wasiat dewa itu hingga tuan bisa saya bohongi? Dan kalau saja tuan bisa
berbuat adil kepada saya ketika menyantap buah pisang itu tentulah hubungan
antara kita akan baik-baik saja.”
“Berani sekali kau mengatakan aku
serakah Cil. Kalau tidak karena bujuk rayumu aku juga tidak mungkin punya
pikiran sampai kesitu.”
“Karena itulah saya meminta maaf tuan.
Kita berdua sebenarnya sama-sama salah. Tuan telah bertindak aniaya dan saya
juga pendendam waktu itu. Jadi saya mohon maafkanlah saya.”
Kera tetap saja sinis mendengar
penjelasan dan permintaan maaf dari si Kancil. Sakit hatinya terhadap si Kancil
ternyat tidak bisa serta merta hilang dengan permintaan maaf si Kancil. Namun
karena ketakutannya kalau Kancil mengadu kepada sang raja mengenai keinginannya
untuk memiliki sendiri kenong wasiat dewa, ia menjadi sedikit melunak.
“Aku akan menunggu keputusan sang raja
Cil. Kalau ia bisa memaafkan perbuatanmu yang menipunya waktu itu. Aku juga
akan turut memberi maaf.”
“Berarti anda tidak tulus memaafkan
saya?” si Kancil mendesak.
“Walaupun aku tidak tulus memaafkanmu,
aku juga tidak akan bisa berbuat banyak kalau paduka ternyata memberimu
ampunan.”
Si Kancil sedikit kecewa dengan
ditolaknya permintaan maaf darinya kepada Kera. Namun ia tidak bisa berbuat
apa-apa, karena ia sadar maaf itu tak bisa dipaksakan.
“Hari sudah hampir malam tuan Kera.
Lebih baik saya masuk dan beristirahat.”
Si Kancil langsung masuk kedalam
kawasan kediaman Harimau untuk beristirahat tanpa menunggu jawaban Kera untuk
mempersilahkannya. Tidak lama setelah Kancil pergi, datanglah Keong yang juga
langsung menuju tempat pertemuan.
Waktu pertemuan akhirnya datang juga.
Pagi itu semua warga hutan nampak hadir, Harimau sebagai tuan rumah menyambut
kedatangan warganya dengan hangat.
“Semua yang hadir disini tentu merasa
bingung mengapa aku mengundang kalian. Aku mengadakan pertemuan ini sebenarnya
hanya untuk menyampaikan bahwa kekuasaan yang semula keberikan kepada Gajah
kini kutarik kembali. Selain itu untuk mempererat persatuan semua warga hutan
aku ingin mengadakan pertemuan rutin semacam ini setiap tiga bulan sekali. Hal
ini dikarenakan semakin banyaknya pemburu yang mengancam kehidupan kita semua
dan juga semakin semakin sempitnya hutan kita.”
“Benar sekali paduka. Hamba kebetulan
tinggal diwilayah hutan yang kebetulan dekat dengan pemukiman manusia. Mereka
menangkapi teman-teman hamba untuk dijadikan hewan penarik gerobak maupun
pembajak sawah dan setelah kami tua mereka menyembelih kami untuk dimakan.”
Terang Kerbau.
“Demikian juga yang menimpa
teman-taman hamba. Karena banyaknya pohon yang ditebang untuk dijadikan rumah
dan membuka lahan pertanian, semakin hari kami seolah tidak mempunyai tempat
lagi untuk membuat sarang.” Burung Hantu menambahkan.
“Pada musim Kemarau yang lalu, manusia
juga membakar hutan ilalang tempat kami biasa mencari makan. Oleh karena itu
sekarang kami mencari makan ditempat yang jauh.” Kuda turut mengatakan
keluhannya.
“Ketika musim hujan datang seperti
sekarang ini, sungai-sungai dihutan mudah sekali meluap airnya demikian juga
dengan arus airnya yang bertambah deras. Hal itu menyebabkan hamba dan semua
teman-teman mudah terbawa kuatnya arus air. tidak sedikit dari teman hamba yang
akhirnya mati karena teubuhnya membentur batu ketika berenang.” Kata Keong.
Harimau sangat murung mendengar
laporan dari warganya. Sama sekali tidak didengarnya cerita bahagia dari semua
yang hadir disitu. Mereka semua mengeluhkan tindakan manusia yang semauanya
membakar dan menebang hutan tanpa memperhatikan kehidupan lain.
“Kita tidak bisa berbuat banyak untuk
mencegah perbuatan manusia dalam memburu dan merusak hutan kita. Kita hanya
bisa berdo’a semoga saja mereka sadar bahwa semua yang ada didunia tidak bisa
hidup sendiri.”
Semua warga hutan diam merenungi nasib
dan tempat tinggal mereka. Keheningan suasana itu tiba-tiba pecah karena
kedatangan Kutilang yang rupanya terlambat menghadiri pertemuan.
“Maaf saya datang terlambat yang
mulia.”
Kutilang mungil yang berada didepannya
kali ini tentu saja langsung mengingatkan Harimau bahwa ia pernah memangsa
seekor Kutilang karena keinginannya untuk dapat bernyanyi. Ia merasa sangat
menyesal karena perbuatannya itu hingga tanpa sadar matanya berkaca-berkaca.
“Kenapa yang mulia nampak begitu sedih
setelah kedatangan Kutilang?” Kera memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Kera, kau tentu ingat dalam
perjalanan kita beberapa waktu lalu ketika aku memangsa seekor Kutilang karena
keinginanku untuk dapat bernyanyi seperti dia. Aku sangat menyesal telah
melakukan itu.”
Harimau menatap Kutilang dalam-dalam.
“Kutilang, aku ingin meminta maaf
karena perbuatanku yang telah memangsa salah satu temanmu. Dan tolong sampaikan
juga permintaan maafku ini kepada keluarganya.”
Semua yang hadir disitu terperanjat
dengan apa yang baru saja didengarnya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa
Harimau yang gagah perkasa sekaligus raja mereka, tidak malu untuk meminta maaf
kepada Kutilang kecil yang lemah. Mereka semakin bangga kepada raja mereka
karena permintaan maaf itu diucapkannya didepan semua warga hutan. Ia sama
sekali tidak takut kehilangan wibawanya sebagai pemimpin dengan meminta maaf
kepada Kutilang.
“Baiklah yang mulia, saya akan
menyampaikan permintaan maaf baginda kepada keluarga teman hamba sepulangnya
hamba dari pertemuan ini. Hamba yakin mereka akan memaafkan baginda dengan
setulus hati.”
Kera yang melihat kejadian itu turut
tersentuh hatinya. Ia teringat permintaan maaf si Kancil padanya kemarin. Raut
wajah menyesal Kera terlihat jelas karena ia tidak langsung memaafkan Kancil.
Padahal dalam perseteruannya dengan si Kancil ia juga tidak sepenuhnya benar,
bahkan ialah yang mengawali permusuhan itu karena keculasannya.
Si Kancil yang dari tadi berada
dibelakang kini maju kedepan untuk menghadap sang raja.
“Hamba datang kesini selain karena
ingin memenuhi undangan dari paduka juga disebabkan oleh rasa bersalah hamba
kepada yang mulia atas kejadian di hutan bambu. Hamba mohon yang mulia sudi
memaafkan hamba karena hampir saja mencelakakan paduka.”
“Tidak apa-apa Cil, sekarang aku sadar
bahwa apa yang menimpaku dihutan bambu itu adalah sebuah peringatan sekaligus
hukuman setimpal untukku atas apa yang aku lakukan kepada Kutilang sebelumnya.
Kejadian yang menimpa Gajah telah menyadarkan mataku bahwa yang kuat tidak
selamanya bisa mengalahkan yang lemah. Hanya dengan persatuan kita bisa menang.
Dan Semut telah mencontohkannya pada kita semua.”
Permintaan maaf si Kancil yang
dikabulkan oleh Harimau tentu saja sangat melegakan hatinya. Perasaan bersalah
yang selama ini menghantuinya langsung sirna begitu Harimau memberinya maaf,
walaupun masih ada yang mengganjal dihatinya yaitu Kera yang belum bisa
memaafkannya. Baru saja si Kancil merasa masih ada yang mengganjal dihatinya,
Kera mendekat dan memeluknya erat-erat.
“Maafkan aku Cil, akulah yang
seharusnya meminta maaf karena keculasan yang telah kulakukan padamu dipohon
pisang waktu itu. Kau telah berbesar hati dengan meminta maaf padaku padahal
sebenarnya engkau tidak sepenuhnya bersalah. Sekarang kumohon maafkan aku Cil.”
“Tuan Kera, anda tidak perlu seperti
ini. Saya telah memaafkan tuan sebelum saya datang kesini untuk meminta maaf
kepada anda. Sekarang saya benar-benar merasa lega karena tidak ada lagi yang
mengganjal dihati saya.”
Saling memaafkan antara Gajah dan
Semut juga terjadi. Warga hutan terharu dengan apa yang baru saja mereka alami.
Sekarang semuanya nampak begitu akrab layaknya teman lama yang tidak pernah bermusuhan
ataupun berselisih. Harimau sang raja terlihat sangat bahagia menyaksikan
kebahagiaan dan semangat persatuan yang dimiliki oleh semua warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar