Kamis, 24 Mei 2012

Dongeng Kancil Mencuri Timun 2


KANCIL MENCURI TIMUN

Pagi itu, udara berhembus sejuk dan matahari mulai menampakkan diri ketika Pak Tani mengayunkan langkah kakinya menuju kebun. Terlihat betapa riang dirinya pagi ini, nampak dari caranya berjalan yang ringan dan siulan yang tak pernah berhenti. Cangkul yang ia panggulpun sepertinya sama sekali tidak memberatkan. Demikian pula dengan Anjing kesayangannya yang mengikuti dari belakang. Beberapa lama, sampailah Pak Tani kekebun yang ditanaminya buah timun, dan betapa kagetnya ia ketika mendapati tanamannya rusak. Bergegas ia mendekati dan memandang terheran-heran serta berusaha mengira-ngira siapa yang merusak dan mencuri timun dikebunnya. Namun heran dan berbagai pertanyaan lain dalam pikirannya tidaklah berlangsung lama. Segera setelah itu, ia mulai mencabuti pohon timun yang sudah dicuri buahnya. Ia juga tak lupa membersihkan ladangnya dari timun yang berceceran. Setelah semua dirasa beres, Pak Tanipun meninggalkan kebun dengan tak lupa sebelumnya memetik beberapa buah timun sebagai buah tangan dari ladang. Sesampainya dirumah, pak tani tidak bisa berhenti berbipir dan menduga-duga siapa yang telah mencuri timunnya. Tapi sekuat apapun ia menduga, tetap saja tidak bisa menyimpulkan siapa yang mencuri dan merusak ladang miliknya.
Malam menjelang ketika si Kancil muncul dari rerimbunan pohon. Ia berjalan congkak menghampiri kebun timun milik Pak Tani dimana ia semalam juga telah mencurinya. Kancil sama sekali tidak mempedulikan betapa banyak tanaman dan daun-daun pohon timun yang rusak oleh injakan kakinya. Ia berjalan kesana kemari untuk mencari buah timun yang sudah cukup tua untuk dimakannya. Matanya tajam menatap seluruh areal lahan, demikian juga dengan hidungnya tak pernah berhenti mengendus. Setelah menemukan timun yang dicarinya, tanpa basa-basi ia langsung memakannya. Namun, belum sempat habis timun tersebut dimakan, matanya menangkap timun lain yang lebih menarik hatinya, demikian seterusnya hingga tidak kurang dari seperempat lahan timun milik pak tani rusak dibuatnya. Puas dan perut sudah dipenuhi oleh timun curian, si Kancil berjalan lunglai karena kekenyangan kemudian pergi menyusuri gelapnya malam.
Anjing milik pak tani terus mengonggong menandakan pagi telah tiba. Tak selang beberapa lama, Pak Tanipun keluar dari rumahnya dengan membawa peralatan lengkap untuk pergi kekebun. Alangkah kagetnya Pak Tani melihat apa yang terjadi. Lagi-lagi didapati, tanaman timun yang sudah siap panen rusak dan dicuri. Namun kerusakan yang ditimbulkan hari ini jauh lebih besar dari kemarin pagi. Ia kemudian membersihkan sisa-sisa timun yang dimakan hanya separuh oleh pencuri serta memotong batang dan daun timun yang rusak diinjak-injak. Setelah menyelesaikan semua pekerjaanya dikebun, Pak Tani segera pulang. Dijalan, ia tak berhenti memikirkan bagaimana cara untuk dapat menangkap pencuri tersebut.
Sore harinya pak tani memutuskan untuk mengintai pencuri timun miliknya. Malam harinya, ia berjalan sendirian kemudian bersembunyi dibalik rimbunnya pepohonan dimana ia bisa bisa dengan jelas mengawasi kebun tanpa diketahui oleh siapapun. Kegelapan sempurna telah menyelimuti bumi ketika dari kejauhan Pak Tani melihat sosok mungil berjalan mendekati kebun timun miliknya. Mata Pak Tani tak pernah lepas mengawasi mahluk apa gerangan yang sedang mendekati kebun miliknya. Setelah semakin dekat barulah pak tani tahu kalau mahluk tersebut adalah seekor Kancil yang memang selama ini terkenal doyan mencuri. Pak Tani hanya menyaksikan dari kejauhan tatkala si Kancil mulai menjarah ladangnya. Setelah mendapatkan kepastian siapa yang menjadi pencuri timunnya, Pak Tani segera beranjak dari tempatnya bersembunyi dengan hati-hati agar tidak diketahui oleh si Kancil.
Seperti pagi hari sebelumnya, ketika matahari mulai menyingsing, Anjing milik Pak Tani terus menggonggong untuk membangunkan sang majikan sekaligus mengajaknya pergi keladang. Pak Tani juga muncul tak lama berselang, namun kali ini ia tidak membawa cangkul sebagai perlengkapan utamanya. Kini, Pak Tani keluar dari rumah dengan memegang sebuah golok panjang, yang tentu saja membuat sang Anjing ketakutan karena mengira ia akan disembelih. Pak Tani paham dengan apa yang sedang dialami anjingnya, iapun memberi isyarat bahwa ia tidak akan melukai sang Anjing, hingga iapun kembali lega tanpa merasa takut. Ternyata, pagi itu Pak Tani membawa golok untuk menebang pohon bambu yang tak jauh dari rumahnya untuk dibuat boneka layaknya manusia. Pak Tani kemudian membungkus bambu yang sudah berbentuk seperti kepala, kaki dan tangan manusia tersebut dengan jerami agar benar-benar mirip dengan manusia. Tak lupa ia juga memberikan caping yang biasa ia pakai pada kepala boneka yang baru saja diselesaikannya. Boneka yang memang nampak amat mirip dengan manusia itu kemudian dibawanya pulang. Sang Anjing hanya mengikuti majikannya tanpa pernah tahu apa yang sedang direncanakan oleh Pak Tani.
Matahari telah condong jauh kearah barat ketika Pak Tani membawa bonekanya keluar. Dibawanya juga sebuah kaleng besar yang belum jelas apa isinya. Dengan diikuti Anjingnya, Pak Tani membawa boneka tersebut kekebun timunnya. Berbeda dengan apa yang dilakukannya sehari-hari, sesampainya dikebun pak tani membuka kaleng yang dibawanya dari rumah yang ternyata berisi lem kanji. Ia melumuri seluruh bagian boneka yang dibawanya dengan lem tersebut. Setelah seluruh bagian boneka dilumuri lem, Pak Tani menempatkan boneka tersebut tepat dijalan masuk ladangnya. Sang Anjing hanya bisa menatap penuh keheranan dengan apa yang dilakukan majikannya, karena Pak Tani nampak sangat serius dengan apa yang dilakukannya kali ini. Setelah semuanya dirasa cukup, Pak Tani mengajak Anjing setianya untuk meninggalkan ladang tanpa memungut daun-daun dan buah timun yang berserakan terlebih dahulu.
Remang malam mulai menyelimuti bumi. Saat langit bertambah pekat, ketika dari sela-sela pohon yang nampak bagai raksasa, muncul sesosok mungil dari antaranya. Ya,,,, si Kancil, yang beberapa malam terakhir berhasil mencuri timun Pak Tani tanpa pernah ketahuan. Seperti biasanya, ia berjalan dengan penuh percaya diri menuju kebun timun yang tiap malam disatroninya. Namun, ia merasa ada yang aneh dan tidak seperti malam yang lalu. Ia melihat ada sosok hitam yang berdiri menghadangnya. Itu kan Pak Tani, pikirnya. Ia merubah langkah kakinya menjadi lebih halus dan mengendap-endap. Semakin dekat…….. semakin dekat, sang Kancil terus memperhatikan benda hitam tersebut dengan seksama. Tidak ada yang lepas dari perhatiannya. Dan dengan sangat berhati-hati ia berhasil menyelinap dibelakang boneka tersebut. Sang kancil makin percaya dengan keberhasilannya. Ia kemudian berjalan mengitari orang-orangan itu yang ternyata tidak berakasi apa-apa. Rasa percaya diri si Kancil semakin memuncak melihat hal itu. Ia beranggapan bahwa orang tersebut tidak bisa melihatnya. Maka ia berjalan mundur beberapa langkah, berlari sekencang-kencangnya, melompat dan memukul orang-orangan tersebut dan setelah kaki bagian depannya menyentuh orang-orangan tersebut, ya,,,,, kaki si Kancil menempel di jerami yang sebelumnya telah dilumuri lem. Menyaksikan apa yang terjadi, sang Kancil bertambah marah, ia mengayunkan kaki kiri belakangnya untuk memukul orang-orangan tersebut. Namun nasib yang dialami kaki belakangnya tidaklah berbeda jauh dengan kaki depannya. Sekarang ketiga kakinya tertempel ke orang-orangan sawah tersebut. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri, satu-satunya kaki yang tersisa kemudian ditempelkannya ketubuh orang-orangan sawah dengan harapan bisa medorong badannya dari cengkaraman boneka tersebut. Namun harapan tinggal harapan. Ketika kaki terakhirnya menempel di tubuh boneka jerami, maka semakin ia tidak bisa melepaskan diri. Si kancil yang panik, kini berusaha menenangkan diri menunggu datangnya ide agar bisa menyelamatkan diri. Oh ya…. Aku masih punya moncong, demikian pikirnya. Mungkin dengan moncong yang dimiliki bisa membantu mendorong tubuhnya agar tidak menempel pada boneka. Namun, usaha terakhirnya kali ini juga tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Malah semakin memeperparah posisinya, karena sekarang, seluruh tubuhnya sudah menempel pada boneka tanpa mau dilepaskan lagi. Si kancil hanya pasrah sambil terus-menerus berdoa dan menyesali perbuatannya.
Nyanyian Ayam jantan kembali terdengar mengiringi tarian sang mentari menapaki langit. Pak Tanipun telah bangun tidur dan bersiap-siap untuk pergi keladang. Bersama Anjing setianya, mereka berdua menuju ladang. Terlihat dari kejauhan, ladang timunnya hijau menghampar, yang kini didalamnya terdapat sebuah orang-orangan sawah. Dilihatnya, orang-orangan sawah tersebut menunjujkkan keanehan. Hari masih pagi yang tentu saja angin belum begitu kencang, namun boneka tersebut terlihat selalu bergerak-gerak seolah ada yang menggerakkannya. Melihat keanehan itu, wajah Pak Tani berseri-seri. Ia sudah bisa menduga apa yang membuat boneka itu bergerak-gerak. Ya, pasti si Kancil yang mencuri timunnya telah terperangkap dalam jebakan yang sudah ia siapkan.
Benar saja, ketika Pak Tani mendekati boneka tersebut, terlihatlah sesosok Kancil yang telah menempel disana. Badan sang kancil terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri, dan hal itulah yang menyebabkan boneka terus-menerus bergerak. Pak tani, mendekati sang kancil sambil tersenyum. Kemudian ia melepaskan si Kancil dari boneka jebakan dan memegangnya erat-erat. Ia berkata dalam hati, “lumayan bisa buat lauk makan esok hari”. Hari itu pak tani memutuskan untuk tidak mengurus kebun timunnya. Ia lebih memilih untuk membawa pulang si Kancil yang telah membuatnya kesal. Ia memberi isyarat kepada Anjingya untuk segera pulang, dan sang Anjingpun menurutinya. Mereka berdua pulang kerumah dengan wajah berseri dan hati yang gembira.



























ANJING YANG BODOH

Pada kisah yang lalu diceritakan, Kancil yang senang mencuri timun tertangkap oleh Pak Tani. Kancil langsung dimandikan untuk membersihkan lem yang menempel diseluruh tubuhnya karena jebakkan orang-orangan sawah yang dipasang Pak Tani begitu sampai dirumah. Setelah semua badan si kancil bersih dari lem, pak tani kemudian memasukannya kedalam kerangkeng yang telah dipersiapkan dan menyuruh anjingnya untuk menjaga si Kancil.
Hari sudah sore ketika Pak Tani mengasah golok yang dipakainya untuk menebang bambu kemarin. Melihat gelagat yang ditunjukkan pak tani, tentu saja membuat Kancil ketakutan setengah mati. Kancil sangatlah paham dengan apa yang akan dilakukan Pak Tani. Ya,,, tentu saja ia akan menyembelih dan memanggang dagingnya untuk dijadikan lauk makan. Si Kancil harus memutar otak guna mencari cara bagaimana bisa meloloskan diri. Ia mengamati gembok pada kerangkeng yang mengurungnya, dan ternyata gembok tersebut hanya bisa dibuka dari luar sehingga tidak mungkin ia bisa melepaskan gembok tersebut dari dalam kerangkeng. Lalu ia harus minta tolong siapa? Padahal Anjing yang menjaga kerangkeng merupakan hewan paling setia pada majikannya. Ah tidak mungkin, “inilah akhir dari hidupku” demikian pikir Kancil.
Selesai mengasah goloknya, pak tani menghampiri kerangkeng tempatnya mengurung kancil. Semakin dekat Pak Tani berjalan menuju kerangkeng, semakin Kancil ketakutan. “habislah aku sekarang” demikian ucapnya dalam hati. Namun ketakutannya serta merta hilang ketika tahu tujuan Pak Tani saat itu hanya untuk berpesan pada Anjingnya agar menjaga si Kancil baik-baik dan segera ia meninggalkan mereka berdua.
Malam ini, seolah sudah menjadi malam terakhir buat si Kancil. Ia berpikir sudah tidak akan lagi bisa melihat matahari terbenam esok sore. Dari dalam kerangkengnya ia terus memperhatikan gerak-gerik sang Anjing yang tak pernah berhenti mengawasinya. Dengan pengawasan ekstra ketat yang diberikan sang Anjing, tentu saja membuatnya tak bisa berkutik. Namun karena pengawasan ekstra yang diberikan si Anjing itulah ia mempunyai ide untuk meloloskan diri. Didalam kerangkeng besi dan dengan pengawasan sang si Kancil mulai menjalankan idenya. Pertama-tama ia duduk dengan tenang dan penuh konsentrasi. Sesaat kemudian mulutnya mulai meracau tidak jelas. “terimakasih Tuhan, Kau telah menempatkanku di tempat sebenarnya. Kau telah mengirimkan aku kepada orang yang sangat baik hati”.
Racauan si Kancil tentu saja mengusik perhatian sang Anjing. Ia mendekat ke kerangkeng dan membentak Kancil
“Diam, ini sudah malam. Jangan berisik, nanti majikanku terbangun dan dia malah memotongmu malam ini.”
Kancil terdiam mendengar hardikan si Anjing.
“Maafkan aku karena telah mengganggu tidurmu dan majikanmu. Aku hanya ingin mengucapkan rasa terimaksihku pada Tuhan yang telah mengirimku kemari.”
Jawaban si Kancil tentu saja membuat Anjing pak tani ini terheran-heran.
“Apa? Kau berterimakasih? Apakah kau tidak tahu bahwa Pak Tani akan memotongmu besok pagi dan dijadikan lauk makan untuk kami berdua?”
Jawaban sang Anjing Kancil tentu saja membuanya kaget, karena apa yang diperkirakannya ternyat benar. Pak Tani akan memotongnya besok pagi. Namun kekagetan si Kancil tidak berlangsung lama. Segera ia pasang muka bijaksana.
“Kau salah sangka teman. Majikanmu sebenarnya tidak ingin memotongku besok pagi. Tidak pula ia akan memanggangku untuk dijadikan lauk. Ia berbohong padamu, sebenarnya ia ingin mengajaku untuk jalan-jalan ke kota”.
Anjing tertawa terbahak-bahak sambil mengejek, mendengar jawaban Kancil. “Mana mungkin ia mengajakmu kekota. Kau telah mencuri timun dikebunnya, dan majikanku juga telah mengasah goloknya untuk memotongmu besok. Aku saja yang sudah bertahun-tahun menemaninya disini tak pernah diajaknya kekota, apa lagi kamu, pencuri”.
Kancil yang sudah merasa berhasil menarik perhatian sang Anjing semakin  percaya diri dalam merekayasa kebohongannya.
“Justru karena aku telah mencuri timun milik majikanmu itulah, aku diajaknya kekota. Sebagai penebus rasa bersalahku, aku akan menunjukkan tempat penjualan bibit timun yang terbaik. Pak tani mengasah goloknya karena golok tersebut akan dibawanya kekota, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kami akan menemui rintangan sepanjang perjalanan”.
Sepertinya apa yang diharapkan oleh Kancil menjadi kenyataan. Anjing yang menjaganya, sudah mulai percaya dengan apa yang diceritakan. Maka kebohongannya semakin menjadi-jadi.
“Apakah kau lupa, ketika baru saja aku sampai disini Pak Tani langsung memandikanku? Itu adalah pertanda bahwa dia menyayangiku. Dan dia juga berpesan padamu agar menjagaku dengan baik, itu juga merupakan bukti bahwa dia tidak mau kehilangan aku.”
Penjelasan dari si Kancil yang nampak sangat meyakinkan dan masuk akal tersebut tentu saja membuat sang Anjing sedikit banyak percaya pada bualan Kancil. Nampak dari raut wajah sang Anjing yang mulai bimbang dan ragu. Melihat kondisi yang menguntungkan tersebut, si Kancil bertanya pada sang Anjing
“Benarkah kau belum pernah melihat kota?”
Sang Anjing yang sudah mulai terlanjur percaya pada Kancilpun menjawab dengan jujur
“Belum. Sebenarnya aku ingin sekali melihat kota. Namun majikanku tak pernah mengajakku karena aku harus menjaga rumah.”
“Kasihan sekali dirimu. Kau adalah hewan paling setia yang pernah aku temui. Tapi aku heran mengapa Pak Tani begitu kejam hingga tak pernah mengajakmu pergi kekota.” Jawab kancil.
Termakan omongan si Kancil, sang Anjing nampak semakin bimbang dan ragu. “Ya kau benar! Tapi apa yang bisa aku lakukan. Berkali-kali aku memintanya untuk mengajakku kekota, namun jawabannya selalu sama. Kalau aku ikut dia kekota, siapa yang akan menjaga rumah.”
“Ingin rasanya aku menolongmu, namun aku takut kalau-kalau aku dikira ingkar janji pada Pak Tani.” Jawab kancil dengan pura-pura bingung dan penuh rasa bersalah.
Mendengar jawaban si Kancil yang sepertinya penuh dengan ketulusan dan kejujuran, sang anjing pun terpancing untuk terus bertanya.
“Benarkah kau bisa menolongku?”
“Tidak kawan, aku tidak bisa menolongmu. Aku terlanjur berjanji pada pak tani untuk menebus semua salahku dengan jalan menemaninya kekota”.
“Bukankah tadi kau mengatakan ingin menolongku?” tanya sang Anjing.
“Ya, aku memang ingin menolongmu, namun kau juga tidak tahu dimana tempat penjual bibit timun terbaik dikota? Jadi percuma saja aku menolongmu.”
Setelah berkata demikian si Kancil merebahkan dirinya seolah-olah tidak peduli dengan kepedihan sang Anjing. Dan hewan penjaga itupun semakin semakin pedih karena Kancil sepertinya tak mampu menolong. Keduanya saling terdiam beberapa saat lamanya.
Malam semakin hening dan senyap ketika tiba-tiba suara sang Kancil memecahkannya.
“Aku bisa menolongmu teman, aku punya ide. Tapi..... ah tidak, aku tak mau menyusahkanmu.”
Sang Anjing yang dari tadi lunglai karena keinginannya untuk dapat melihat kota sepertinya sudah tidak akan mungkin terwujud, mendengar ucapan Kancil barusan menjadi bersemangat kembali.
“Benarkah kau punya ide untuk mewujudkan keinginanku agar bisa pergi kekota? Tidak apa-apa, asalkan aku dapat pergi kekota aku tidak akan merasa disusahkan. Apa yang harus aku lakukan?”
Kancil sudah merasa amat sangat yakin kalau rencanaya pasti akan berhasil makin percaya diri dengan keadaan tersebut.
“Baiklah kalau tidak menyusahkanmu. Aku rasa kau tidak mengetahui dimana tempatnya orang yang menjual bibit timun tersebut. Makanya aku akan menggambar sebuah peta sebagai petunjuk jalanmu.”
“Baiklah aku setuju dengan usulmu. Dimana kau akan menggambarnya?” tanya sang anjing.
“Tunggu dulu, jangan terlalu senang. Karena setelah itu masih ada satu masalah lagi.”
Sang anjing terperanjat “Masalah apa lagi?”
“Bagaimana cara kita untuk meyakinkan Pak Tani agar kau bisa menggantikan posisiku?”
Semangat yang terpancar dari mata sang Anjing yang sempat berkobar kembali meredup setelah mendengar kata-kata si Kancil. Benar juga apa yang dikatakan Kancil. Ia bisa saja menggantikan posisi Kancil yang tahu tempat dijualnya bibit timun terbaik, namun tidak mungkin ia bisa menggantikan posisi Kancil karena perbedaan diantara keduanya sangatlah berbeda.
Kancil tentu sangatlah paham dengan apa yang sedang dialami Anjing, dan kesempatan seperti inilah yang ditunggu-tunggunya.
“Oh iya, aku ingat sekarang. Pak Tani mengajakku pergi kekota pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit. Jadi dia tidak akan dapat membedakan siapa yang sebenarnya diajaknya pergi kekota karena hari masih gelap.”
Sang Anjing sangat gembira mendengar ide dari si Kancil.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Keluarkan aku dari sini, aku akan menggambar peta tempat dijualnya bibit timun terbaik. Setelah itu, kamu menggantikan posisiku didalam dan aku yang akan menjagamu.”
Sang Anjingpun membuka pintu kerangkeng dan si Kancil akhirnya keluar. Kancil sudah berjanji akan menggambar sebuah peta yang berisikan rute perjalanan dari desa Pak Tani menuju kota, dan juga tempat dijualnya bibit timun segera menepati janjinya. Dengan serius ia menggambar peta tersebut ditanah tempatnya berpijak, demikian juga dengan sang Anjing yang terlihat amat seksama memperhatikan peta yang digambar si Kancil.
“Kawan, rasanya ini sudah lewat tengah malam. Menurutku tidak lama lagi, pak tani akan keluar dan segera mengajakku kekota. Sebaiknya kau masuklah kekandang dan aku yang akan menjagamu diluar.”
Anjing  masuk kedalam kemudian si Kancil menutup pintu kerangkenng lalu menguncinya. Keduanya nampak sama-sama bahagia. Sang Anjing akan segera pergi kekota bersama majikannya, sementara itu si Kancil berhasil meloloskan diri dari maut. Lama keduanya saling diam dan terbuai khayalan masing-masing. Tiba-tiba si Kancil memegang perutnya dan mengeluarkan suara mengaduh. Anjing yang merasa telah berhutang budi pada kancil terlihat khawatir dengan apa yang menimpa sahabat barunya.
“Apa yang terjadi denganmu kawan? Ada apa dengan perutmu?” demikian tanya sang Anjing penuh khawatir.
Kancil tetap memegang perutnya dan nampak sangat kesakitan.
“Perutku sakit, tahukah kau dimana aku bisa menemukan tempat untuk buang air besar?”
“Tentu saja aku tahu” jawab sang Anjing. “Tempatnya ada dibelakang dumah Pak Tani, sudah hampir masuk kedalam hutan. Lebih baik engkau keluarkan aku, aku akan memapahmu berjalan sampai kesana.”
“Tidak perlu kawan, rasanya aku masih kuat berjalan sendiri. Kau tunggulah disini. Sebentar lagi aku akan kembali.”
Tanpa menunggu jawaban sang Anjing, si Kancilpun melangkahkan kakinya pergi kearah hutan untuk buang air besar. Ia berjalan dengan tertatih-tatih sampai hilang dari panglihatan Anjing karena gelapnya malam. Setelah merasa yakin bahwa Anjing penjaga tidak melihatnya lagi, si Kancilpun berlari secepatnya masuk kedalam hutan sambil tertawa penuh bahagia.
Kembali kepada Anjing yang sekarang terkkurung dalam kerangkeng. Ia masih saja terus-menerus mengkhawatirkan keadaan si Kancil yang sudah pergi cukup lama belum kembali. Ia berpikir bahwa Kancil pasti tersesat hingga masuk kedalam hutan dan tidak bisa kembali. Karena kekhawatiran yang dirasakan sang anjing ia tertidur dan tidak menyadari bahwa pagi telah datang.
Ayam jantan mulai berkok dan langit menjadi terang. Pak Tani bangun dari tidurnya. Ia merasa ada hal yang tidak berjalan seperti biasanya. Setiap pagi tiba, biasanya Anjingnya selalu menggonggong untuk membangunkannya ataupun hanya sekedar memberi pertanda bahwa pagi telah tiba. Kemudian ia teringat bahwa pagi ini ia berncana untuk memmotong Kancil dan memanggangnya. Kemudian ia mengambil golok yang sudah diasahnya kemarin dan buru-buru menuju kerangkeng tempat ia mengurung si Kancil. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahu bahwa sekarang yang berada dalam kerangkeng adalah Anjing miliknya yang disuruh untuk menjaga Kancil. Pak Tani membentak sang Anjing supaya ia bangun. Hewan tersebut langsung terbangun dengan wajah yang berseri-seri dan bertanya
“Kita berangkat sekarang tuan?”
Pak tani yang masih terkejut menyaksikan apa yang dilihatnya balik bertanya. “Berangkat kemana? Hari ini kita tidak kekebun.”
“Bukannya tuan hari ini akan pergi kekota untuk membeli bibit timun baru yang dirusak oleh Kancil kemarin?” demikian sang Anjing melanjutkan pertanyaannya.
“Siapa yang mengatakan itu padamu? Dan sekarang dimana si Kancil?” pak tani balik bertanya.
“Si Kncil yang menceritakan ini pada saya. Dan keberadaanya sekarang saya tidak tahu. Mungkin ia tersesat kedalam hutan.”
Anjing kemudian menceritakan semua kejadian yang dialaminya dengan si Kancil semalam secara runtut tanpa ada satupun yang terlewatkan. Pak Tani mendengarkannya dengan penuh perhatian. Setelah selesai mendengarkan cerita Anjing peliharaanya, Pak Tani terawa terbahak-bahak, yang tentu saja membuat sang anjing kebingungan.
“Kenapa anda tertawa tuan?” tanya sang Anjing.
“Tentu saja aku mentertawakan kebodohanmu yang ternyata masih bisa ditipu oleh si Kancil.” Jawab pak tani sambil terus tertawa.
“Tertipu? Maksud tuan?’ sang anjing kembali bertanya keheranan.
Pak tani menjelaskan bahwa sebenarnya ia ingin memotong si Kancil sebagai lauk makan mereka berdua hari ini, namun karena ternyata si Kancil berhasil lolos maka hari ini pak tani harus kembali mencari lauk dikebun dengan sebelumnya membebaskan sang Anjing dari dalam kerangkeng. Akhirnya mereka berdua berangkat ke kebun. Anjing nampak sangat terpukul, karena kebodohannya ia gagal menyantap Kancil panggang hari ini. Sementara Pak Tanipun masih tidak bisa menahan senyum karena tak habis pikir bahwa Anjingnya masih bisa ditipu oleh si Kancil.










HUKUMAN PADA YANG CULAS

Malam itu Si Kancil berlari dengan cepatnya menembus gelap dan rimbunya pepohonan. Ia takut, kalau Pak Yani mengetahui pelariannya akan mengejar bersama Anjing yang baru saja dibohonginya. Ia menembus pekatnya belantara malam serta tak lagi mempedulikan jalan yang dilaluinya. Setelah cukup lama berlari, Si Kancil merasakan lelah yang tak tertahankan dan memaksanya harus berhenti. Si Kancil kemudian menyandarkan badannya pada sebatang pohon untuk beristirahat. Karena kelelahan itulah, Si Kancil sampai tertidur dengan pulasnya dibawah pohon rindang tempatnya bersandar. Ia terbangun tatkala matahari mulai menyengat kulit tubuhnya. Ketika terbangun kepalanya menengok kekiri dan kekanan menandakan ia masih khawatir kalau-kalau Pak Tani dan Anjingnya mengejar. Setelah memeriksa keadan dan memastikan bahwa tidak ada yang mengejarnya ia perlahan-lahan melangkah pergi, masuk kedalam hutan.
Tak terasa sudah hampir setengah hari Si Kancil berjalan dan berlari tanpa sedikitpun makan dan minum. Perutnya terus berbunyi, kerongkongannya terasa kering, dan masih ditambah lagi pegal yang menyelimuti seluruh badannya. Sayup-sayup ia mendengar gemericik suara air. Ia pun berjalan untuk mencari tahu sumber suara tersebut. Ternyata tidak jauh dari tempat tersebut ada sebuah sungai yang masih sangat jernih airnya. Karena haus yang begitu mencekik, Si Kancil berlari cepat menuju sungai dan langsung minum sepuas-puasnya. Satu masalah telah selesai. Sekarang tinggal bagaimana caranya ia bisa mendapatkan makanan untuk mengisi perutnya yang dari tadi keroncongan.
Ia menduga, tidak jauh dari sungai pasti ada pohon buah yang lezat. Si Kancilpun berjalan mengikuti arus aliran sungai tersebut. Dan ternyata benar saja, tidak begitu lama ia berjalan, dilihatnya ada buah pisang yang sudah masak. Dengan girang, ia berlari mendekati pohon pisang tersebut. Karena ia tidak bisa memanjat, maka ia berinisiatif untuk menggoyang-goyangkan pohon pisang itu dengan harapan ada beberapa biji buah pisang yang jatuh. Berkali-kali ia mencoba menggoyangkan pohon pisang, namun tidak ada satu bijipun yang jatuh. Lama kelamaan Si Kancil menyerah juga. Ia hanya bisa duduk sambil memandang buah pisang yang sudah berwarna kuning dengan menahan air liurnya.
Sembari duduk dan memandang buah pisang, ia terus memutar otak untuk menemukan cara bagaimana bisa memakan buah tersebut. Beberapa saat setelah ia duduk dan merenung, datanglah seekor Kera untuk minum disungai. Kera adalah hewan yang pintar memanjat pohon. Dalam hatinya Kancil berujar, aku akan meminta bantuannya untuk memetikkan buah pisang tersebut. Si Kancil kemudian mendekati sang Kera yang tengah asyik minum air sungai. Karena lapar yang begitu hebatnya, tanpa banyak basa-basi Kancil langsung mengutarakan niatnya.
Kera adalah binatang yang sangat menyukai pisang. Begitu mendengar bahwa disekitar tempat itu ada buah pisang yang sudah masak ia langsung merasa lapar.
“Dimana pohon pisangnya” Tanya sang Kera kepada Kancil.
“Tunggu dulu tuan Kera. Saya akan memberitahukan dimana letak buah pisang itu asalkan tuan mau memenuhi persyaratan yang saya ajukan” kata Kancil
“Baik katakan saja apa sayaratnya”
“Saya ingin tuan yang memanjat pohon, kemudian pisang-pisang itu kita bagi dua. Bagaimana tuan? Anda setuju?”
Sang Kera diam sejenak sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Baiklah, aku setuju denganmu. Tapi bagaimana caranya untuk membagi buah pisang itu?”
“Gampang saja tuan Kera.” Jawab Kancil “Setiap anda memakan satu buah pisang diatas pohon, anda juga harus melemparkan kepada saya satu. Demikian seterusnya. Anda setuju?” Kancil menawarkan
“Baiklah, aku setuju. Dimana pohon pisangnya?”
“Mari ikuti saya.”
Kancil berjalan didepan dan sang Kera mengikutinya. Sekarang tepat didepan mereka terdapat rumpun pohon pisang dimana dari salah satu pohonnya sudah ada yang berbuah masak. Tanpa menunggu komando dari Kancil, Kera langsung memanjat. Dalam hitungan detik ia sudah berada diatas. Ia pun memetik dua buah pisang dimana satu untuknya dan satu untuk si Kancil. Mereka berdua langsung memakan buah pisang tersebut dengan lahapnya.
Dalam hal memakan pisang, Keralah juaranya. Buah yang berada pada tangan si Kancil belum habis setengah, buah pisang milik sang Kera sudah habis duluan. Iapun kemudian melemparkan kulit pisang yang baru saja habis dimakannya kebawah. Tiba-tiba muncullah akal buruk dalam pikirannya. Ya, dia hanya akan memberikan kulit pisang saja kepada Kancil. Bukankah Kancil adalah hewan pemakan sayur dan buah? Pasti kulit pisangpun dia juga doyan. Sang Kera kemudian memetik buah pisang selanjutnya. Namun kali ini ia hanya memetik satu buah saja untuk dirinya sendiri. Karena kecepatan makannya terhadap pisang, maka buah pisang yang kedua ini habis berbarengan dengan buah pertama milik si Kancil.
Melihat pisang milik Si Kancil juga sudah habis, maka ia segera memetik pisang kembali, tapi hanya satu untuk dirinya sendiri. Dan ia kemudian melemparkan kulit pisang yang sudah habis dimakannya kearah si Kancil. Kancilpun dengan senang hati menerima jatahnya, tapi ketika ia mendekat pada pisang yang baru saja dilemparkan oleh Kera ia kaget alang kepalang. Ternyata yang diterimanya barusan hanyalah kulitnya saja, sementara isinya sudah tak ada lagi.
Kancil berteriak menyeru kepada Kera. “Tuan mengapa buah yang anda lemparkan hanya kulitnya saja?”
Kera yang berada diatas pohon berpura-pura tidak mendengar secara jelas teriakaan Kancil, karena waktu itu kebetulan angin sedang berhembus kencang.
“Apa? Suaramu tidak begitu jelas. Ulangi lagi pertanyaanmu, lebih keras!”
Kancil mengulang lagi perkataannya dengan suara yang lebih lantang. Demikian juga Kera, iapun kembali hanya mengulang jawabannya dengan suara yang lebih keras pula.
Akhirnya Kancil tidak bisa berbuat banyak dengan apa yang sedang terjadi. Ia terus-menerus menggerutu karena ternyata hanya bisa menikmati kulit pisang, padahal ia-lah yang merasa paling berjasa karena menemukan pohon pisang itu. Kesal dan marah bercampur menjadi satu dalam hati Kancil. Hatinya bertambah kesal karena Kera tetap saja tidak peduli.
Diatas dahan sang Kera terus memakan buah pisang dan hanya melemparkan kulitnya saja pada si Kancil demikian sampai setandan pisang diatas pohon habis diamakan sang Kera.
Kancil berusaha tetap memasang muka tenang dan sabar ketika sang Kera turun dari pohon dan menghampirinya.
“Kenapa kamu tidak meminta buahnya kepadaku? Apakah kamu lebih menyukai kulit pisang daripada isinya?” Tanya Kera.
Kancil yang sebenarnya sangat kesal karena kelakuan Kera, menjawabnya dengan penuh diplomatis.
“Ya benar. Saya adalah hewan yang jauh lebih suka kepada kulit pisang daripada buahnya. Dan saya kira anda adalah hewan yang sangat menyukai pisang daripada kulitnya. Karena itulah, saya merasa pembagian buah pisang antara saya dan anda barusan sangatlah adil.”
Selesai perbincangan itu, keduanya sepakat untuk berpisah. Kancil berjalan mengikuti arah aliran sungai sementara Kera kearah sebaliknya.
Beberapa hari kemudian, secara kebetulan Kancil dan Kera bertemu lagi. Mereka berdua saling bertegur sapa dan menanyakan hendak kemana tujuannya. Dengan pongahnya Kera mengatakan bahwa ia baru saja menghadap Harimau sang raja hutan serta sedang mengemban tugas rahasia demi ketentraman seluruh penghuni rimba. Kancil sebagai hewan yang terkenal cerdik tidak kurang akal untuk mencari tahu tugas apa yang sebenarnya tengah diemban oleh Kera.
“Tuan, tugas apa gerangan yang sedang tuan emban? Kalau boleh ijinkan saya untuk menyertai tuan mengemban tugas mulia dari sang raja.” Tanya Kancil merendahkan diri.
“Aku rasa kau tidak akan mampu membantuku mengemban tugas ini. Karena tugas ini terlalu rumit dan berat.” Jawab Kera.
Kancil tidak menyerah begitu saja. “Saya menyertai tuan bukan untuk membantu tuan dalam hal tugas, tapi saya hanya ingin menjadi pembatu tuan agar tuan tidak kekurangan suatu apapun.”
Kera mulai menimbang apa yang diusulkan oleh si Kancil. Ya, paling tidak jika ada yang menyertainya maka ia tidak harus mencari makan ataupun minum sendiri. “Kalau begitu baiklah, kau boleh mengikutiku. Tapi kau harus ingat bahwa, kau hanya membantukuku dalam mencari makanan dan minuman, bukan untuk menemukan pusaka yang diperintahkan sang raja.”
“Pusaka?” sahut Kancil. “Pusaka apa yang tuan cari?”
Kera menyadari kesalahannya. Ia sudah terlanjur mengatakan tentang tugas yang diembannya dari sang raja.
“Karena aku sudah terlanjur mengatakannya maka aku akan menceritakan padamu.” Kera mengajak Kancil berjalan menyusuri hutan belantara. Ia kemudian menceritakan bahwa Harimau sang raja hutan baru saja menerima wangsit melalui mimpinya. Dalam bisikan tersebut dikatakan bahwa, ada pusaka milik para dewa yang tertinggal didalam hutan. Pusaka tersebut berbentuk sebuah kenong wasiat yang apabila dipukul akan menimbulkan suara gemuruh yang hebat hingga seluruh hutan akan mendengarnya. Sang raja juga mengatakan, bahwa siapapun yang mempunyai pusaka tersebut akan selalu dilindungi oleh para dewa. Raja menginginkan pusaka itu bukan hanya untuk mendapatkan berkah dari para dewa, namun juga, jika pusaka berhasil didapatkan maka ia tidak perlu susah-susah dalam mengumpulkan warganya. Karena suara gemuruh yang ditimbulkan oleh kenong dewa juga akan digunakan sebagai tanda bahwa raja menghendaki semua rakyatnya berkumpul. Demikian kera menjelaskan perintah yang sedang diembannya.
Sembari bercerita, keduanya terus berjalan melintasi belantara luas. Hari mulai sore. Kera sebagai pemimpin, memutuskan untuk beristirahat dan meneruskannya keesokan hari. Kancil sadar bahwa dalam perjalanan ini ia adalah pembantu kera. Maka dengan cekatan, ia menyiapkan tempat istirahat untuk majikan barunya. Setelah tempat istirahat untuk sang majikan selesai, maka si Kancil segera pergi untuk mencari tempat makanan dan minuman.
Tak jauh dari tempat mereka beristirahat ada sebuah danau kecil dengan air yang jernih serta dikelilingi oleh pohon berbagai macam buah yang mulai ranum. Kancil memanfaatkan situasi ini untuk berkeliling melihat pemandangan sekitar danau.
Si Kancil berjalan menyisir setiap sudut danau hingga sampailah disebatang pohon Delima yang tengah berbuah lebat. Karena merasa sudah cukup jauh berjalan. Ia memutuskan berhenti sejenak untuk beristirahat. Si Kancil menyandarkan tubuhnya pada batang mungil pohon delima. Karena terlalu lelah berjalan, akhirnya si Kancil tertidur ditempat itu. Tapi belum lama ia terlelap, telinganya yang tajam menangkap suara berdengung yang membisingkan. Si Kancil memasang mata dan telinga untuk mencari sumber suara. Ternyata suara tersebut berasal dari ribuan tawon Gung yang hendak pulang kerumahnya di atas pohon nangka yang tak jauh dari tempatnya bersandar.
Sekawanan lebah itu hendak pulang kesarang mereka setelah seharian mencari makan. Mata si Kancil tak bisa lepas mengikuti kawanan lebah sampai dirumahnya yang berbentuk bulat dan menggantung. Alangkah besarnya kuasa pencipta alam ini, pikirnya.
Belum habis ketakjuban si Kancil terhadap sang pencipta, dari kejauhan ia mendengar suara sang Kera memanggilnya. Mendengar panggilan dari sang Kera, Kancil buru-buru menjawab dan menghampirinya.
“Dari mana saja kamu? Kenapa lama sekali?” Tanya Kera marah-marah.
Kancil yang sadar bahwa posisinya sekarang hanya sebagai pembantu Kera berusaha menenangkan situasi.
“Maaf tuan, bukannya saya melupakan apa yang menjadi kewajiban saya. Saya tidak buru pulang, karena saya ingin berkeliling sekitar danau untuk mencari makanan yang terbaik untuk tuan.” Kata Kancil menjelaskan.
Kerapun akhirnya mengerti bahwa kancil berlama-lama didanau hanya untuk mencarikan mana yang terbaik untuknya.
“Lalu apa yang kau dapatkan?” Tanya Kera.
 “Banyak sekali tuan. Namun sesuai apa yang saya ucapkan, saya mencari yang terbaik untuk tuan. Yaitu pisang!”
“Pisang?” Kera balik bertanya penuh girang.
“Iya tuan, disebelah sana.” Kancil menunjuk arah bertolak belakang dari tempatnya tertidur tadi. Mereka berdua saling beriringan menuju rumpun pohon pisang yang ditunjukan kancil. Kera langsung memanjat pohon pisang tersebut sesampainya disana. Kembali, kejadian beberapa hari yang lalu harus terulang. Kera menikmati pisang tersebut untuk dirinya sendiri dan memberikan kulitnya kepada si Kancil. Kejadian ini tentu saja membuat sakit hati Kancil kepada Kera semakin menjadi.
Matahari sudah hilang digantikan gelapnya malam saat Kancil dan Kera berjalan menuju tempat peristirahatan mereka. Kera langsung terlelap tidur diatas tumpukan daun kering yang disiapkan Kancil tadi siang. Sementara Kancil tetap saja tak bisa memejamkan mata. Ia terus berpikir bagaimana bisa melampiaskan sakit hatinya terhadap Kera. Terus ia berpikir dan akhirnya ide itu datang juga.
Kancil yang baru saja mendapatkan ide cemerlang, langsung meninggalkan tempat peristirahatan. Ia berjalan kearah danau menuju pohon Delima yang tengah berbuah lebat. Disinilah ia akan melakukan pembalasan terhadap Kera. Waktu berlalu begitu lambat rasa si Kancil. Ketika rasa bosan hampir menghinggapi, jauh dari dalam lebatnya hutan terdengar kokok Ayam jantan membahana. Matanya yang semula dihinggapi oleh kantuk serta merta kembali bersinar cerah. Semua kantuknya hilang bersamaan lengking suara Ayam jantan menandakan pagi. Ia bergegas duduk bersila dibawah pohon Delima.
Langit yang semula kelam telah berubah warna menjadi merah membara. Rimba belantara yang semula gulita perlahan-lahan menjadi terang dan hangat hingga membangunkan Kera dari lelap tidurnya. Ia kemudian duduk diatas tumpukan daun kering yang semalam menjadi alas tidurnya. Ada yang aneh, ia tidak melihat si Kancil disekitar situ. Lalu kemana dia? Mungkinkah sedang mencari makanan untuknya? Ya, pasti Kancil tengah mencari makanan. Namun setalah lama menunggu, ternyata Kancil tidak kelihatan batang hidungnya. Apakah Kancil telah pergi meninggalkannya? Tidak, tidak mungkin Kancil pergi. Ia tentu saja ingin turut berjasa bagi sang raja. Tapi kemana ia pergi?
Kera tak mau berlama-lama dengan pertanyaan yang terus berkecamuk dalam hatinya. Ia memutuskan untuk pergi mencari Kancil sekaligus berusaha menemukan makanan. Ia akhirnya melihat sang si Kancil yang tengah duduk  manis dirimbunya rerumputan hutan tak jauh dari pohon Delima. Namun apa yang sedang dilakukan Kancil, Tanya Kera dalam hati. Ia berjalan mendekati si Kancil yang sedang duduk bersila layaknya pertapa.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Kera membentak.
Kancil terperanjat kaget. Matanya membelalak dan kakinya mundur beberapa langkah.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Kera sekali lagi.
Cukup lama Kancil membelalakkan mata tanpa bisa bersuara.
“Kenapa kamu?” Tanya Kera lebih keras.
Barulah Kancil seolah-olah mendapatkan kembali separuh nyawanya. Ia buru-buru menjawab pertanyaan Kera
“Maafkan saya, tidak segera menjawab pertanyaan tuan. Saya tadi merasakan bahwa sukma saya sedang berada dialam lain. Alam para dewa.”
Kera terheran-heran mendengar jawaban Kancil.
“Alam para dewa? Apa maksudmu?” Kancil berjalan mendekati Kera
“Bukankah tuan sedang mencari pusaka kenong para dewa dihutan ini? Waktu mencari makanan kemarin sore, saya mendapat bisikan dari peri penunggu danau ini. Ia menyuruh saya agar bertapa di tempat ini. Oleh karena itu, semalam saya meninggalkan tuan ketika sudah terlelap.”
“Lalu apa yang kau dapatkan?” lanjut Kera.
Kancil tidak langsung menjawab pertanyaan majikannya. Ia malah nampak kebingungan.
“Kenapa kau malah bingung seperti itu? Kau membohongiku dengan mengarang cerita tentang peri penunggu danau?” Kera bertanya.
“Bukan, bukan begitu tuan. Sebenarnya saya tadi sudah mendapat petunjuk dimana kenong pusaka itu. Tapi………”
“Tapi apa?” Desak Kera.
“Saya tidak berani mengatakannya.” Mendengar jawaban Kancil yang berbelit-belit tersebut, tentu saja membuat Kera naik pitam. Ia kemudian mencengkeram leher Kancil kuat-kuat.
“Katakan.” Perintah Kera dengan marah.
“Baik tuan.”ucap si Kancil setengah ketakutan.
Kera melepaskan cekikannya. “Sekarang ceritakan.” Ucapnya.
Kancil menarik nafas panjang sebelum mulai bercerita.
“Saya memang telah mengetahui letak dan kelebihan dari pusaka tersebut berkat petunjuk para dewa. Siapapun yang memiliki pusaka kenong wasiat itu akan menjadi penguasa seluruh belantara menjadi wakil para dewa yang tak terbantahkan.”
“Aku sudah tahu tentang kelebihan kenong wasiat itu, semuanya! Sang raja, telah memberitahuku.” Kata Kera menyela cerita Kancil.
“Kalau tuan sudah tahu dengan semua kelebihan itu, mengapa tuan tidak ingin memilikinya? Jika memukulnya, tuan bisa memanggil para dewa dan memohon bantuannya. Dengan senang hati, para dewa tersebut akan membantu tuan.” Kancil merayu!
Kera, mulai termakan rayuan Kancil. Raut wajahnya menandakan ia mulai berpikir untuk memiliki pusaka tersebut. benar juga apa yang dikatakan Kancil, dengan Kenong para dewa ditangannya. Bahkan sang Harimau sang raja hutanpun bukan lawan yang sepadan.
“Tuan, semua hewan penghuni hutan ini akan tunduk pada anda termasuk sang raja. Tidakkah anda ingin melihat keturunan anda hidup mulia?” Tambah Kancil meyakinkan.
Keraguan sekaligus keinginan Kera mengenai Kenong pusaka tersebut semakin menjadi.
“Benar juga apa yang kau katakan, tapi mengapa kau tidak ingin memiliki pusaka tersebut sementara kau telah mengetahui dimana pusaka tersebut berada?” Tanya Kera.
“Pada mulanya saya memang ingin memiliki pusaka tersebut, namun ternyata Kenong dewa itu terletak disuatu tempat yang tidak bisa saya ambil. Dan tuanlah satu-satunya harapan saya. Kalau tuan bisa mendapatkannya, saya hanya berharap semoga saja tuan mau menerima saya dan seluruh keturunan saya nantinya menjadi abdi tuan yang paling setia.”
Jawaban yang sempurna dari Kancil membuat Kera yakin bahwa apa yang dikatakan pembantunya tersebut bukanlah sebuah kebohongan.
“Memang dimana letak pusaka itu hingga kau tak bisa mengambilnya?” Tanya Kera penuh ingin tahu.
“Ikutlah dengan saya tuan.”
Kancil membawa Kera mendekati pohon Nangka yang tidak jauh dari tempatnya bertapa.
“Pasang telinga tuan baik-baik dan dengarkanlah.” Perintah Kancil.
Kera yang sudah sangat penasaran dengan keberadaan Kenong pusaka menurut saja. Sayup-sayup ia mulai mendengar suara gemuruh yang berasal dari tempat diatasnya.
“Tuan mendengarnya? Suara gemuruh itu? Itu adalah efek yang ditimbulkan cari Kenong Dewa tersebut. dan jika ia dipukul, maka seluruh hutan ini akan mendengarnya sebagai pertanda bahwa yang memukulnya adalah raja baru mereka.” Kancil menjelaskan.
“Lalu?” Kera mendesak.
Kancil melanjutkan penjelasannya.
“Pusaka Kenong Dewa tersebut terletak menggantung dipucuk pohon Nangka ini. Anda adalah bintang yang paling pandai memanjat, jadi letak pusaka itu tidak akan menjadi masalah bagi anda.”
Mengetahui keberadaan Kenong Dewa tersebut, Kera bergegas hendak memanjat pohon Nangka yang ditunjukkan Kancil, Kancil segera mencegahnya.
“Tunggu tuan! Penjelasan saya belum berakhir.”
“Penjelasan apa lagi?”
“Tuan harus memukul Kenong Dewa dengan tengan tuan sendiri. Tuan juga harus memejamkan mata serta muka tuan juga harus berada tepat didepannya. Karena penunggu Kenong Dewa itu selain mengenal muka anda juga harus hafal dengan aroma tubuh tuan.” Jelas Kancil selanjutnya.
“Hanya itu persyaratannya?”
“Benar tuan. Namun, saya tidak berani untuk menunggu  disini. Suara Kenong Dewa itu akan menyakiti telinga saya. Tapi tuan tidak usah khawatir dengan itu. Sebab, menurut wasiat yang saya terima siapapun yang memukul pusaka itu akan mendengarkan suara layaknya alunan musik yang sangat merdu.”
“Baiklah kalau begitu. Tunggu aku ditempat rumpun pisang yang kemarin. Setelah berhasil mengambilnya aku akan menemuimu disana.” Kera memerintah.
“Duli tuanku.”
Kancil pergi meninggalkan tempat itu, dan Kera juga langsung memanjat pohon Nangka tempat bersemayamnya Kenong Dewa incaran Harimau sang raja hutan. Kancil berlari sekuat tenaga, karena ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kera memanjat pohon Nangka dengan cepatnya. Matanya tajam mengawasi puncak pohon dan telinganya semakin jelas mendengar dengung suara Kenong Dewa. Akhirnya, mata  sang Kera menangkap benda berwarna coklat berbentuk bulat layaknya Kenong. Semangatnya memuncat, hingga ia mempercepat langkahnya menuju puncak pohon dimana pusaka itu berada. Saat Kenong Dewa itu sudah tepat berada didepan mata, kemudian ia menciumnya dan mulai memejamkan mata. Semua petunjuk dari si Kancil telah dijalankannya, hanya kurang satu lagi. Yaitu memukulnya sekuat tenaga. Dengan hati berdebar-debar dan penuh harap, ia kumpulkan segenap tenaganya kemudian memukul kenong tersebut kuat-kuat. Bersamaan dengan tangannya menembus Kenong Dewa yang ternyata adalah sarang tawon Gung tersebut maka ribuan tawon yang merasa terusik keluar dari sarangnya untuk mencari tahu.
Kera masih memejamkan mata hingga ia tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ia baru sadar, ketika seluruh tubuhnya mulai merasakan sakit karena sengatan ribuan tawaon tersebut. Mengetahui bahaya yang mengancam, sang Kera langsung beranjak turun dari pohon. Namun lebah-lebah yang tak terhitung banyaknya tidak begitu saja membiarkan Kera lolos. Mereka terus mengejar sang Kera disertai sengatan-sengatan disekujur tubuhnya hingga bengkak disana-sini. Karena panik, Kera tergesa-gesa menuruni pohon Nangka hingga akhirnya ia jatuh terjerembab ketanah.
Kera terus berlari dengan diikuti lebah-lebah yang mengejar sambil tak hentinya mengumpat si Kancil. Ribuan lebah itu baru berhenti mengejarnya setelah Kera bersembunyi dengan jalan membenamkan dirinya di danau. Kera keluar dari danau dengan terengah-tengah karena menahan nafas beberapa lama. Sekujur tubuhnya bengkak serta sakit karena sengatan tawon dan jatuh dari pohon nangka. Dengan langkah tertatih-tatih ai memutuskan untuk kembali menghadap Harimau agar dapat melaporkan semua kejadian yang barusaja dialaminya.











BUAYA YANG BODOH

Kancil berjalan begitu enteng setelah keberhasilannya menipu sang Kera. Sepanjang perjalanan ia tersenyum dan kadang pula tertawa terbahak. Betapa bangga ia sederet kemenangan yang telah ia raih. Pertama, ia bisa dengan puas menikmati timun Pak Tani walaupun pada akhirnya tertangkap juga. Setelah itu, dengan mulus ia berhasil mengelabui Anjing lugu milik pak tani dengan berbagai cerita bohongnya. Dan barusan ia berhasil menipu sekaligus membuat Kera meringis menahan sakit karena telah menyakitinya.
Berbagai keberhasilan yang telah dicapainya merasuki otak Kancil dan mulai menganggap dirinya sebagi yang terbaik diantara semua hewan. Seharusnya akulah yang menjadi raja hutan, bukan Harimau, pikirnya. Ia terus larut dalam euforia kemenangannya hingga tak terasa hari sudah sore.
Kerongkongan Kancil terasa kering setelah hampir seharian berjalan menyusuri lebatnya hutan. Ia terus berjalan untuk mencari keberadaan sumber air yang paling dekat. Akhirnya ia menemukan sungai dan segera ia minum sepuas-puasnya. Setelah hilang semua dahaganya ternyata hari telah beranjak malam. Ia memutuskan untuk menginap disitu dengan pertimbangan tidak akan kesulitan mencari sumber air pada keesokkan harinya.
Si Kancil menyandarkan badannya pada sebuah pohon besar sambil membayangkan bagaimana muka Kera setelah tersengat ribuan tawon. Kembali ia tertawa terpingkal-pingkal memecah heningnya malam dan pada akhirnya ia terlelap dengan pulasnya.
Hangatnya pelukan sinar mentari dan riuh kicau burung membangunkan si Kancil yang terbuai mimpi. Hari sudah pagi, ucapnya. Namun si Kancil tetap bermalas-malasan di tempatnya semula sambil berpikir akan kemana ia hari ini. Ia mereka-reka rencana tentang perjalanannya hari ini, belum selesai ia membuat rencana perjalanan perutnya berbunyi tanda lapar. Matanya berkeliling mencari makanan, namun yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Akhirnya Kancil berjalan kesungai untuk sekedar minum.
Si Kancil sama sekali tidak menyadari bahwa didalam sungai tersebut telah menunggu seekor Buaya yang sudah mengawasinya sejak tadi pagi. Bersamaan dengan langkah kaki Kancil yang mendekati sungai, Buaya tersebut juga turut berenang ketepi. Kancil berada ditepi sungai untuk minum tanpa tahu bahaya apa yang sedang mengancam dirinya. Ketika mulutnya menyentuh air, tiba-tiba Buaya menerkamnya dan barulah ia sadar saat semuanya sudah terjadi.
“Mati aku” kata Kancil.
Sang Buaya kemudian membawa Kancil berenang ketengah sungai untuk menyantapnya. Kancil harus bisa berpikir cepat untuk bisa menyelamatkan diri.
Sesampainya ditengah sungai, Buaya membuka mulutnya lebar-lebar hendak memakan Kancil. Disaat-saat yang sangat kritis tersebut itulah Kancil kemudian menemukan ide untuk menyelamatkan dirinya.
Sesaat sebelum Buaya mengatupkan mulutnya, Kancil berkata,
“Tunggu tuan Buaya, saya harap anda mau bersabar untuk mendengar penjelasan saya.” Tentu saja Buaya merasa aneh dengan apa yang tengah terjadi.
Kancil sosok mungil itu berani berkata demikian.
“Beraninya kamu berkata demikian padaku? Kamu itu hanya seekor kancil yang sudah tidak berdaya didalam mulutku.” Buaya berkata penuh marah.
“Benar tuan, saya memang hanya seekor Kancil kecil yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa didalam mulut anda. Namun jika tuan memakan saya, tuan sendirilah yang akan celaka.” Jawab Kancil.
“Apa maksudmu?’ Tanya Buaya semakin marah.
“Kalau tuan memakan saya sekarang, tuan dan semua keturunan tuan akan dikutuk oleh para dewa penguasa langit yang marah.” Jelas Kancil.
Buaya semakin tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan Kancil. Ia tidak peduli lagi dan ingin segera mengunyah Kancil.
“Sekali mohon tuan mau meunggu untuk tidak memakan saya. Saya akan jelaskan semuanya. Setelah itu terserah tuan hendak melakukan apa.” Kancil memelas.
“Sekarang cepat katakan! Aku sudah tidak sabar untuk memakanmu.” Bentak Buaya.
Dengan posisi yang masih terjepit didalam mulut Buaya, Kancil kemudian bercerita.
“Sebenarnya, sekarang ini saya sedang diutus oleh para dewa untuk mengambil pusaka kenong wasiat mereka yang tertinggal di hutan ini. Malam tadi sewaktu saya menginap dibawah pohon itu, saya diberi petunjuk bahwa keberadaan pusaka tersebut sudah tidak jauh lagi dari tempat ini. Oleh karena itulah saya buru-buru bangun untuk melaksanakan perintah tersebut.”
Semua hewan di hutan tempat hidup Kancil dan Buaya memang sangatlah mempercayai berbagai cerita mistis, baik itu tentang pusaka, hantu, dan lainnya. Hal tersebutpun terbukti ketika Buaya tiba-tiba menjadi mengendorkan cengkraman mulutnya pada tubuh Kancil.
“Benarkah apa yang kau katakan itu?” tanya Buaya.
“Saya sudah hampir mati dimakan oleh tuan. Jadi untuk apa saya berbohong kepada anda. Malah akan menambah dosa saya ketika menghadap para dewa.” Tegas Kancil.
Buaya mulai berpikir untuk melepaskan si Kancil, namun perutnya juga sudah sangat lapar dan Kancil merupakan menu sarapannya pagi ini.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku melepaskanmu, sementara aku juga memerlukan kamu sebagai sarapanku?”
Kancil langsung tanggap dengan situasi yang sedang dihadapi.
“Untuk sekarang ini, saya mohon kebaikan hati tuan agar mau melepaskan saya. Setelah saya menjalan tugas dari para dewa, saya akan kembali kesini lagi untuk menjadi santapan tuan. Apabila semua tanggung jawab saya telah usai, saya juga tidak ingin berlama-lama hidup karena para dewa pasti telah menunggu saya.” Kancil berusaha meyakinkan.
“Baiklah kalau begitu, aku akan melepaskanmu. Namun kau harus kembali lagi kesini untuk menjadi santapanku.” Buayapun berenang lagi ketepi sungai untuk mengembalikan Kancil setelah merasa yakin dengan semua penjelasan dari mangsanya tersebut.
“Besar terimakasih saya kepada tuan Buaya yang sudi bermurah hati. Saya berjanji akan segera kembali kesini untuk menjadi santapan tuan setelah mengambil pusaka dan mengembalikannya. Saya juga akan menyampaikan kepada para dewa bahwa anda adalah hewan yang paling baik hati, hingga mereka mau melimphakan anugerahnya kepada tuan.” Ucap Kancil penuh rayu.
“Jika kau bertemu dewa akan menyampaikan hal itu padanya?” Kata Buaya menyelidiki.
“Saya tidak akan berbohong. Bukankah sudah saya katakan tadi bahwa setelah mengembalikan pusaka, saya akan segera kembali kesini untuk menjadi santapan tuan? Jadi biarlah saya melimpahkan semua anugerah yang akan diberikan para dewa kepada saya untuk tuan. Karena setelah mati, saya akan menerima anugerah yang jauh lebih besar. Kalau begitu saya permisi dulu tuan. Saya tidak ingin menunda-nunda perjalanan saya dalam mengmban tugas.” Kancil segera mohon pamit karena khawatir Buaya akan berubah pikiran dan kembali menyantapnya.
Tanpa menunggu jawaban Buaya, ia langsung meinggalkan tempat itu dan berlari sekuatnya walau kakinya terluka akibat gigitan Buaya yang hendak memangsanya. Kancil terus berlari mengikuti arus aliran sungai untuk mencegah kecurigaan dari sang pemangsa. Setelah melewati kelokan sungai, barulah ia merasa yakin bahwa Buaya itu sudah tidak bisa lagi melihatnya barulah kemudian si Kancil berhenti untuk memeriksa luka dikakinya. Ternyata lutunya terluka akibat gigitan taring Buaya yang tajam. Tapi semua sakit disekujur badannya setelah ia melihat beberapa pohon Ketela yang nampaknya sudah berbuah besar. Ia berlari mendekati rumpun pohon buah tersebut dan dengan kakinya Kancil mulai mengais-ngais tanah agar dapat memakan buah yang tersembunyi didalamnya. Ternyata pohon tersebut telah berbuah. Begitu Kancil melihat Ketela merah yang sudah masak, langsung ia menyantapnya dengan lahap.
Selesai makan, Kancil berjalan menuju pohon beringin besar yang tak jauh dari situ. Ia menyandarkan badannya dipohon itu untuk sekedar beristirahat. Lama Kancil duduk dibawah pohon beringin, barulah ia kembali merasakan sakit di lututnya.
“Kalau begini aku juga tidak akan mampu berjalan jauh, lebih baik aku tinggal sementara disini. Bukankah disini banyak terdapat makanan dan dekat dengan sumber air?” ucapnya.
Merasa tidak mungkin lagi dapat berjalan untuk jauh-jauh meninggalkan Buaya, Kancil memutuskan untuk tinggal sementara ditempat itu.
Beberapa hari terlewati, luka di lutut Kancil telah sembuh sempurna. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu hari ini. Si Kancil akan meneruskan pengembaraanya untuk menyusuri seluruh hutan. Selesai sarapan, ia berjalan menyusuri arus aliran sungai guna menghindari Buaya. Setelah cukup jauh, ia membelokkan langkahnya memasuki hutan. Kancil terus berjalan melawati pepohonan besar dengan akar-akarnya yang menonjol keluar.
Dari depan terdengar sayup-sayup suara menggerutu. Kancil mencoba mencari tahu sumber suara. Ia terus berjalan untuk menyelidiki siapa gerangan yang tengah menggerutu itu.
“Sepertinya aku mengenal suara ini” kata Kancil.
Semakin mendekat, semakin ia bisa memastikan sang empunya suara.
“Itu adalah suara Kera, bisa bahaya kalau dia melihatku. Namun aku juga penasaran ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang, setelah ribuan lebah menyengatnya beberapa hari yang lalu.” Kancil mengendap-endap untuk mengintip keadaan Kera. Benar dugaan Kancil, bahwa pemilik suara itu adalah Kera yang ditipunya kemarin.
Setengah ketakutan, Kancil mengintip Kera lebih dekat lagi. Dilihatnya sekujur tubunya masih bengkak dan kedua mata sang Kera hampir tidak terlihat akibat sengatan lebah. Melihat keadaan Kera, Kancil menahan tawa. Ia sangat puas dengan apa yang telah menimpa Kera.
“Aku akan melaporkan perbuatan Kancil kepada sang raja. Aku yakin pasti sang raja akan marah besar dan memangsanya.” Kata Kera.
Mendengar ucapan Kera barusan membuat Kancil terperanjat kaget. Kalau sampai ia dilaporkan kepada sang raja, tentulah ia akan menjadi santapannya.
“Lepas dari mulut Buaya, mulut Harimau telah menanti” kata kancil dalam hati. “Aku harus segera pergi menjauhi Kera.” Kancil terus mengawasi gerak-gerik Kera agar bisa memastikan kemana ia harus mengambil arah. Melihat Kera berjalan menuju tengah hutan, Kancil mengambil arah sebaliknya. Ia langsung berlari kencang agar bisa menghindari kejaran Harimau jika suatu saat memburunya.
Menjelang siang, sampailah ia ditepian sungai yang mengalir begitu deras hingga tidak mungkin ia menyeberanginya. Kancil berjalan berputar-putar untuk mencari tempat dangkal disungai itu dan menyebrang. Namun sudah jauh ia melangkah, tidak juga ia menmukan apa yang dicarinya.
Si Kancil kemudian beristirahat ditepi sungai untuk mencari akal. Lama ia memutar otak untuk menemukan cara melewati sungai didepannya namun tetap saja ia tidak manemukan akal.Kancil sudah hilang harapan. Ia bangkit dan hendak meninggalkan sungai, namun belum sempat ia membalikkan badan untuk melangkah pergi seekor Buaya menerkamanya. Ternyata Buaya yang menerkamnya sekarang adalah Buaya yang beberapa hari lalu melepaskannya..
“Hendak kemana lagi kamu sekarang? Ingin membohongiku lagi?” Kata Buaya. Kancil sadar bahaya yang sangat besar tengah mengancamnya. Namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“Justru sebaliknya tuan Buaya. Sudah berhari-hari, saya menyusuri sungai ini untuk mencari tuan dan ternyata kita bertemu disini.” Kata Kancil.
“Apa maksudmu dengan mencariku? Aku menunggumu ditempat yang sama selama dua hari. Namun kamu sama sekali tidak menampakkan diri.” Buaya menanggapi.
Kancil melihat kemarahan Buaya yang sepertinya sudah mencapai titik puncak. Ia berkata dengan lembut untuk menenangkan pemangsanya ini,
“Maafkan saya kalau telah membuat tuan lama menunggu. Kemarin, setelah saya berhasil melaksanakan tugas para dewa, mereka mengundang saya untuk mampir di istana kahyangan. Karena itulah saya tidak bisa menemui tuan.”
Buaya percaya saja dengan alasan  yang diberikan Kancil. Ia melepaskan kaki kancil dari cengkraman gigitannya dan balik bertanya.
“Kau diajak untuk mengunjungi istana dewa?”
Mengetahui kakinya telah dilepaskan dan Buaya sudah mulai percaya dengan alasan yang diberikannya, Kancil malah mendekati mulut Buaya agar ia tidak curiga.
“Sebenarnya, disana saya disuruh memilih berbagai anugerah termasuk untuk menggantikan posisi Harimau menjadi raja hutan. Tapi saya tidak bisa menerimanya karena masih punya janji dengan tuan.” Kancil menjelaskan.
“Namun setelah bertemu dan mengunjungi istana para dewa saya mempunyai tawaran yang lebih baik untuk tuan dan seluruh buaya disungai ini.”
Buaya terlihat bingung dengan penjelasan Kancil.
“Kamu hendak menawarkan apa untukku?”
“Tuan, sewaktu saya berada di kahyangan saya menceritakan kebaikan hati tuan yang sudi melepaskan saya walaupun anda tengah dilanda kelaparan. Maka dari itu, mereka menghadiahkan kepada saya puluhan Kerbau untuk dijadikan mangsa tuan.” Kancil melanjutkan kebohongannya.
Buaya yang sudah terlanjur percaya kepada bualan si Kancil girang alang kepalang karena akan mendapatkan Kerbau sebagai mangsanya hari ini.
“Dimana Kerbau-kerbau itu sekarang?” Buaya bertanya.
“Mereka tengah dalam perjalalan kemari, oleh karena itu saya minta kepada tuan untuk mengumpulkan semua  teman-teman tuan agar saya bisa membagikan Kerbau-kerbau itu dengan adil. Sementara tuan memanggil teman-teman anda, saya akan tetap berada disini untuk menunggu para Kerbau.”
Buaya menurut saja dengan apa yang dikatakan si Kancil.
“Baiklah, aku akan segera memanggil teman-temanku. Tunggulah disini dan jangan-bernai-berani berbohong padaku!” Buaya kemudian pergi untuk memanggil semua teman-temannya. Kancil sama sekali tidak meninggalkan tempat tersebut. Ia sudah menemukan cara supaya dirinya bisa menyebrangi sungai.
Tidak lama kemudian datanglah Buaya dan serombongan temam-temannya.
“Mana Kerbau yang kau janjikan?” Tanya Buaya.
Kancil berjalan mendekati serombongan buaya tersebut.
“Sabar tuan-tuan, bukankah tadi saya sudah berkata bahwa saya akan menghitung dulu berapa jumlah Buaya di sungai ini agar saya bisa membagikan Kerbau-kerbau itu dengan adil.”
Buaya yang paling besar diantara semua rombongan berkata dengan suara tinggi,
“Kami semua sudah berkumpul disini, cepat kamu bisa menghitung kami semua sekarang.”
“Jika anda semua bergerombol seperti itu, bagaimana mungkin saya bisa menghitung tuan-tuan dengan tepat.” Jawab Kancil tenang.
“Lalu?”
“Saya harap, tuan-tuan mau berbaris agar saya mudah menghitungnya.” Perintah Kancil.
Buaya menuruti perintah yang diberikan Kancil. Mereka kemudian berbaris disepanjang tepian sungai. Namun belum selesai mereka berbaris, Kancil bersuara.
“Bukan seperti itu yang saya inginkan. Kalau tuan-tuan berbaris disepanjang tepian sungai, saya juga akan kesulitan menghitungnya, karena harus berjalan dari ujung sini sampai ujung satunya.”
“Jadi kami harus berbaris seperi apa?” tanya Buaya yang sudah tidak sabar.
“Berbarislah tuan-tuan layaknya jembatan di sungai, saya akan menghitung anda semua dengan cara menaiki punggung anda satu persatu.” Komando Kancil berikutnya.
Puluhan buaya itupun kembali menuruti perintah dari si Kancil. Mereka merubah formasi barisan, dimana semula mereka berbaris disepanjang tepian sungai sekarang berubah menjadi layaknya jembatan hidup disepanjang derasanya arus sungai.
“Saya akan mulai menghitung.”
Bersamaan dengan itu kancil melompat ke punggung Buaya pertama yang berada tepat didepannya.
“Saya harap semuanya bisa tenang, karena saya juga tidak ingin tenggelam di sungai ini.”
“satu, dua, tiga,..... dan seterusnya.” Kancil menghitung Buaya-buaya itu. Dasar Kancil, semula ia hanya berada diatas punggung Buaya. Namun lama-kelamaan ia berpindah keatas kepala Buaya  menghitunganya dengan pukulan kakin kekepala-kepala  Buaya itu.
“Empat puluh.” Hitung Kancil ketika sampai pada Buaya yang terakhir sekaligus ia sudah berada diseberang sungai dan segera ia melompat untuk mencapai daratan. Setelah menginjakkan kakinya di daratan, ia langsung berlari secepatnya guna menghindari kejaran Buaya jika mereka menyadari bahwa ia telah membohonginya. Melihat Kancil yang melarikan diri setelah berhasil menyebrang sungai, barulah mereka sadar telah ditipu lagi.
Gerombolan Buaya tersebut kemudian menghantam-hantamkan ekor mereka kesungai sebagai pelampiasan rasa marah. Namun kemarahan mereka tidak bisa berbuat banyak, karena Kancil telah jauh berlari dan lagi-lagi berhasil menyelamatkan diri.


KEINGINAN MEMBAWA CELAKA

Kancil berlari sekuat tenaga. Ia menerobos apa saja yang berada didepannya. Tingginya ilalang bukanlah penghalang, pohon menjulang tidak menjadi aral melintang.
“Aku harus terus berlari” kata Kancil.
Berlari dan berlari hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menghindari kejaran Buaya. Kalau ia sampai tertangkap pastilah Buaya-buaya itu akan mencincangnya. Nafasnya terengah-engah karena sekian lama berlari, akhirnya ia berhenti di sebuah sendang, Kancil minum kemudian beristirahat.
“Aku telah membohongi Pak Tani dan Anjingnya, Kera, dan Buaya. Sekarang aku tengah menghadapi masalah yang berat karena Kera akan melaporkan aku kepada Harimau. Sang raja pasti akan memangsaku karena ini.” kata Kancil dalam hatinya.
Ia duduk termenung dipinggir sendang itu merenungkan nasibnya.
“Aku pasti bisa menghadapinya.” Kancil menyemangati dirinya.
Merasa sudah cukup beristirahat, Kancil meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan. Langkahnya gontai menyusuri lebatnya hutan. Cukup jauh berjalan, Kancil bertemu dengan serombongan Kerbau.
“Hendak kemana kamu Cil?” Tanya kepala rombongan Kerbau, kepada Kancil.
“Tidak tahu, aku hanya ingin berkelana mengelilingi seluruh hutan ini. kalian sendiri mau kemana?” Kancil balik bertanya.
“Kami semua akan pergi menghadap sang raja. Seluruh hewan di hutan ini mendapat undangan. Apakah kamu tidak diundang sang raja Cil?”
“Tidak! Memanganya ada apa gerangan sang raja mengumpulkan seluruh warga hutan? Adakah hal sangat penting?” Kancil ingin tahu.
“Kami sendiri tidak tahu. Beberapa hari yang lalu, Merpati utusan raja menemui kami untuk menyampaikan berita ini. Sang raja menghendaki seluruh rakyatnya berkumpul pada purnama nanti.” Jelas kerbau.
“Aku tidak menerima undangan itu, mungkin karena aku selalu berpindah-pindah tempat jadi tidak bertemu dengan utusan raja.”
“Walaupun kamu tidak mendapatkan undangan, seharusnya kamu tetap datang kepertemuan itu, karena engkau juga warga di hutan ini. sebagai warga yang baik, tentulah kau harus mentaati peraturan disini.” Bujuk Kerbau mengajak Kancil.
Kancil sangatlah tahu apa yang akan terjadi kalau saja ia menghadiri acara tersebut. Harimau akan langsung memakannya, karena Kera pastilah sudah melaporkan tindakannya.
“Mungkin karena aku hanya hewan kecil yang sama sekali tidak berpengaruh di hutan ini, hingga tidak perlu mendapatkan undangan. Lebih baik kalian saja yang pergi, dan sampaikan salam hormatku kepada sang raja.” Kancil beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kami akan menyampaikan salammu kepada sang raja.”
Selesai mengatakan itu, merekapun berpisah. Kancil terus menerus menebak apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu. Pikirannya semakin dipenuhi oleh kalut dan takut. Semakin ia berjalan, semakin ketakutan itu menghantuinya hingga si Kancil menghentikan langkah karena malam telah datang.
Sementara itu, Kera telah sampai ketempat Harimau sang raja hutan. Malam itu Kera menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya bersama Kancil. Tentu saja laporan Kera kepadanya membuat Harimau sangat geram kepada Kancil.
“Tapi kamu juga bodoh. Aku mengutusmu karena menganggapmu sebagai hewan yang paling cekatan diantara yang lain, namun ternyata kamu tidak sepintar yang aku duga.” Bentak Harimau.
Kemarahan Harimau tentu saja membuat wajah Kera pucat pasi.
“Maafkan hamba yang mulia. Tapi sungguh Kancil sangatlah cerdik dan saya akhirnya terbuai rayuannya..” Ucap Kera gemetar menahan takut.
“Bukan Kancil yang cerdik, melainkan kamu yang bodoh.” Kata Harimau lebih keras, yang tentu saja membuat Kera semakin ketakutan.
“Maafkan saya paduka. Tolong jangan hukum saya. Saya bersedia melakukan apapun demi maaf dari yang mulia.” Kera memohon.
Semula Harimau memandang Kera dengan tatapan penuh kemarahan, namun mendengar permintaan maaf dan cerita Kera yang nampaknya tidak dibuat-buat menjadikannya luluh juga.
“Baiklah, aku maafkan kamu.” Kata harimau.
Tatap mata Kera langsung berbinar mendengar jawaban Harimau rajanya. Mukanya kembali cerah dan senyum merekah lagi dibibirnya.
“Terimakasih yang mulia, terimaksih.” Ucap Kera berkali-kali. Begitu mendapatkan permintaan maaf dari Harimau, Kera hendak langsung meninggalkan tempat itu dengan tujuan menghindari kemarahan selanjutnya. Belum sempat ia berpamitan, Harimau meneruskan perkataanya.
“Sebagai ganti dari kekeliruan yang kau buat aku akan memberikan tugas baru untukmu.”
“Tugas apa gerangan yang akan yang mulia berikan kepada saya? Saya takut kalau tidak mampu mengembannya.” Ucap Kera sambil menundukkan wajah.
“Besok malam aku mengundang seluruh warga hutan untuk berkumpul ditempat ini.” Jelas Harimau. “Aku ingin pergi mengembara beberapa waktu kedepan, dan dalam pertemuan itu akan diumumkan bahwa aku menyerahkan tampuk kepemimpinanku untuk sementara kepada Gajah.” Jelas Harimau.
Kera sempat terperanjat dengan perkataan Harimau.
“Bukankah biarpun paduka berkelana, anda tetaplah raja kami?” Tanya Kera.
“Aku memang tetap raja kalian, namun aku juga tidak ingin ada kekosongan kekuasaan disini yang pada akhirnya memecah belah persatuan seluruh warga hutan. Oleh karena itulah aku menunjuk Gajah untuk menggantikan posisiku sementara waktu.” Harimau menerangkan.
“Diantara semua warga hutan, Gajahlah yang paling pantas menggantikanku, karena anakku belum cukup dewasa. Dia kekar, berwibawa, dan cukup disegani oleh hewan-hewan lainnya. Jadi kuharap aku tidak salah pilih.” Harimau melanjutkan.
“Lalu tugas apa yang hendak tuan berikan kepada saya?” Kera bertanya.
“Aku kau ikut bersamaku mengembara. Aku pasti akan memerlukan banyak tenagamu kelak.”
Kera sangat bersemangat dan antusias mendengar ajakan Harimau.
“Baiklah yang mulia, hamba akan menuruti semua perintah paduka dalam pengembaraan nantinya.” Jawab Kera tegas.
Setelah pembicaraan tersebut berakhir, Kera berpamitan kepada Harimau untuk beristirahat.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Menjelang malam sudah berdatangan, Kerbau, Kuda, Banteng, Jerapah, Kambing, Ayam, Gajah, dan semua penghuni hutan lainnya kecuali Kancil yang merasa bahwa dia tidak diundang.
Dibawah terangnya cahaya rembulan, mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran dimana raja mereka, Harimau berada didepannya. Setelah semuanya berkumpul, Harimau mulai berbicara kepada seluruh rakyatnya.
“Malam ini aku sengaja mengundang kalian semua kesini karena aku ingin menyampaikan sebuah pengumuman yang penting.”
Seluruh undangan terlihat saling mengkerutkan dahinya tanda tengah menerka-nerka pengumuman penting apakah yang akan disampaikan raja mereka. Harimau melanjutkan kata-katanya.
“Sudah sekian lama aku terus-menurus hanya berada ditempat ini karena kewajibanku sebagai raja kalian. Dalam beberapa bulan kedepan, rasanya aku ingin kembali mengembara menikmati bagaimana rasanya mencari hewan buruan layaknya dulu ketika masih muda.......”
Harimau belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Kuda menyela.
“Kalau tuan meninggalkan tempat ini siapa yang kan menjadi pemimpin tempat kami berkeluh kesah?”
“Benar yang mulia. Bukankah semua kebutuhan paduka sudah disediakan semuanya?” Kerbau menambahkan.
“Justru karena pertanyaan itulah aku mengumpulkan kalian semua disini. Setelah aku mempertimbangkan secara matang, aku menjatuhkan pilihanku kepada Gajah yang akan menggantikan posisiku sementara waktu.”
“Kenapa bukan putera paduka yang menggantikan posisi yang mulia?” Banteng turut bertanya.
“Kalian semua tentu telah mengetahui kalau anakku masih terlalu muda untuk mengemban tugas ini. Oleh karena itulah aku memilih Gajah yang berbadan kekar dan kuat serta sudah berpengalaman dalam memimpin kelompoknya. Kau sanggup mengemban tugas ini Gajah?” Tanya Harima kepada Gajah.
“Saya merasa kurang mampu dalam mengemban tugas ini. Namun kalau yang mulia meminta saya akan berusaha semampu saya.”
“Gajah telah setuju dengan keputusanku, sekarang tinggal kalian. Bagaimana, setujukah kalian apabila Gajah menggantikanku untuk beberapa waktu?” Harimau ganti bertanya pada seluruh warganya.
“Setuju!” jawab mereka serempak.
“Kalau kalian semua telah setuju, maka pertemuan kita berakhir disini. Mulai besok, Gajah akan menjadi pemimpin baru kalian. Patuhilah ia seperti kalian mematuhi aku. Sekarang beristirahatlah kalian semua.”
“Terimakasih yang mulia.” Kata seluruh warga hutan bersamaan.
Pertemuan malam itupun berakhir dengan menghasilkan keputusan bahwa Gajah akan menggantikan posisi Harimau sebagai raja hutan untuk sementara waktu, karena Harimau akan kembali mengembara. Semuanya setuju, tidak ada satupun yang menolak keputusan raja hutan tersebut.
Pagi itu dengan diiringi tatap mata seluruh penghuni hutan, Harimau dan Kera pergi meninggalkan pusat kerajaan hutan untuk mengembara. Warga hutan-pun segera meninggalkan tempat pertemuan tersebut untuk pulang kerumahnya masing-masing setelah melepas kepergian raja mereka. Hanya Gajah saja yang tertinggal ditempat itu, karena sekarang ialah yang diserahi tanggung jawab untuk mengurusnya.
Harimau dan Kera terus berjalan menyusuri lebatnya rimba. Matahari belumlah tinggi, panas belum begitu menyengat. Riuhnya kicau burung juga masih terus menemani perjalanan sang raja hutan. Diantara ramainya kicauan burung, Harimau amat terpukau dengan suara Kutilang yang merdu.
“Kera, kemari!” perintahnya pada Kera yang berada dibelakangnya.
Kera mendekati majikannya. “Ada apa yang mulia?”
“Kamu dengar kicauan burung Kutilang itu? Indah sekali. Bisakah kau menghadapkannya padaku?” Harimau bertanya sekaligus memerintah.
“Baiklah yang mulia, hamba akan mencobanya.” Kera kemudian memanjat pohon jati yang menjadi tempat berkicaunya sang  Kutilang untuk menyampaikan pesan dari Harimau. Setelah menerima pesan dari Kera, Kutilang segera turun untuk menemui Harimau.
“Ada apa gerangan tuanku memanggil hamba untuk menghadap? Adakah kesalahan yang hamba perbuat?” Kutilang bertanya.
“Tidak, sama sekali engkau tidak melakukan kesalahan.” Jawab Harimau.
“Lalu ada apakah paduka menginginkan hamba menghadap?” Kutilang melanjutan.
“Aku sangat terkesan dengan nyanyianmu tadi. Maukah kau mengajarkan padaku bagaimana caranya menyanyi sepertimu?” Pinta Harimau.
“Maaf yang mulia, saya dan anda mepunyai kelebihan masing-masing yang tidak dapat ditiru. Paduka mempunyai badan yang kekar dan gagah serta taring yang kuat. Sementara saya diberikan kelebihan bisa terbang dan bernyanyi. Jadi tidak mungkin saya bisa mengajarkan bagaimana cara menyanyi saya kepada tuan.” Kutilang menjelaskan.
“Engkau pasti telah menyembunyika rahasia bagaimana cara bernyanyimu dariku. Tidak ada yang tidak bisa dipelajari didunia ini Kutilang.” selidik Harimau.
“Sama sekali tidak ada yang hamba rahasiakan dari tuan. Hanya saya dan kaum saya yang bisa bisa bernyanyi seperti ini, karena ini adalah anugerah yang berikan kepada kami. Demikian juga dengan suara auman tuan miliki, tidak ada satupun hewab dimuka bumi ni yang bisa menyamainya.” Kutilang memberikan pengertian.
Namun Harimau tetap saja tidak mau mengerti dengan penjelasan yang diberikan Kutilang. Ia tetap memaksa Kutilang untuk memberitahukan rahasia kicauannya. Permintaan Harimau ini tentu saja membuat Kutilang semakin bingung dan tidak tahu harus berkata apa karena memang ia tidak bisa memenuhinya.
Kera hanya berdiri menonton perdebatan antara Harimau dan Kutilang. Ia sangatlah tahu bahwa kicauan Kutilang tidak bisa ditirukan oleh yang lain, namun ia juga tidak berani mengatakan  kepada Harimau karena ia takut kalau-kalau sang raja tersebut marah padanya.
Kali ini harimau benar-benar marah pada Kutilang. Ia tetap saja bersikukuh bahwa Kutilang tidak mau mengajarkan padanya bagaiman caranya menyanyi.
“Kutilang, kau tetap pada pendirianmu tidak mau mengajarkan bagaimana menyanyi sepertimu?” Bentak harimau.
“Baiklah tuan, saya akan bernyanyi didepan paduka, saya harap yang mulia bisa mempelajarinya.”
Kutilang kemudian bernyanyi sambil menari dengan indahnya didepan Harimau. Kicauan terdengar sangatlah merdu dan menarik hati dari sanga raja yang tengah berkelana itu. Ia sangat terpukau dengan suara riuh rendah yang harmonis tersebut.
“Kera coba kau perhatikan bagaimana caranya menyanyi, mungkin saja kau bisa mengetahui rahasia nyanyiannya.” Ucap Harimau sembari terus menyimak nyanyian sang Kutilang. Kicau merdu sang Kutilang akhirnya berhenti.
“Saya sudah memperlihatkan seluruh kemampuan saya dalam bernyanyi. Sekarang giliran paduka untuk mencobanya.” Kata Kutliang.
Harimau kemudian mengambil posisi untuk mulai bernyanyi. Ia menarik nafas dalam-dalam sebagai persiapan. Dengan bergaya layaknya Kutilang, ia kemudian mengeluarkan nafas yang sudah terkumpul dalam dadanya. Ketika suara Harimau tersebut keluar dari mulutnya, tidak ada sama sekali suara merdu yang terdengar. Malah layaknya bagaikan dengkuran yang menggelikan. Harimau malu sekali dengan keadaan yang dihadapinya. Ia mencobanya sekali lagi, namun tetap saja hasilnya tidak yang seperti yang diharapkan. Dengan menahan malu, ia mendekati Kutilang yang sedang bertengger didekatnya.
“Kutilang!” Bentak Harimau. “Kau pasti telah merahasiakan sesuatu dariku. Tidak mungkin tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari di muka bumi.”
“Sama sekali tidak ada yang saya rahasiakan yang mulia.” Jelas Kuitlang menenangkan.
“Kicauan yang saya miliki adalah sebuah karunia yang tidak bisa dipelajari siapapun kecuali para Kutilang.”
Harimau yang sudah terlanjur marah karena merasa dibohongi dan dipermalukan oleh Kutilang, menangkap Kutilang kemudian mencengkeramnya kuat-kuat.
“Sekarang kau sudah berada dalam cengkeramanku, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakan rahasia menyanyimu?”
Kutilang yang memang telah mengatakan apa adanya kepada Harimau, segera meminta ampun karena ia sadar apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak segera memohon ampunan.
“Ampun yang mulia. Hamba telah mengatakan semuanya dengan jujur, tidak ada satupun yang hamba tutup-tutupi.
Kera yang dari tadi hanya menonton apa yang terjadi, berusaha memabantu Kutilang yang dalam bahaya.
“Benar yang mulia, kicauan Kutilang memang tidak bisa dimiliki oles siapapun kecuali dia. Tapi menurut hamba, auman yang mulia jauh lebih berwibawa daripada nyanyian Kutilang.” Kata Kara berusaha memberi penjelasan sekaligus menenangkan Harimau.
“Diam kamu Kera, kau tak perlu turut campur masalah ini.” Ucap Harimau marah.
“Bukan begitu maksud hamba paduka. Hamba hanya ingin menjaga wibawa yang mulia agar tidak tercemar karena melakukan perbuatan  yang memalukan seperti ini.”
“Memalukan katamu?” Tanya Harimau pada Kera. “Justru aku ingin menambah kewibawaanku kalau seandainya bisa menyanyi.”
Kera berjalan mendekati Harimau. “Sekali lagi maafkan saya tuan. Bukannya saya hendak mencampuri urusan paduka, namun apa yang dikatakan kutilang benar adanya. Tidak mungkin yang mulia bisa menyanyi seperti dia, karena kemampuan menyanyi Kutilang hanya Kutilanglah yang bisa mempelajarinya.” Kera berusaha memberikan pengertian. Mendengar penjelasan Kera yang bukannya mendukung malah menyudutkan dirinya, Harimau semakin marah.
“Kau kuajak bersamaku untuk menemani dan membantuku, bukan melawan kehendakku. Sekarang lebih baik kau pergi dari hadapanku. Pergi atau kau akan kujadikan santapanku.”
Melihat kemarahan Harimau yang tampaknya sudah memuncak, Kera tidak bisa berbuat apa-apa. Iapun hanya bisa pasrah dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Berbagai penjelasan dari Kera dan Kutilang hingga akhirnya Kera pergi meninggalkannya bukannya membuat Harimau menjadi sadar akan kesalahannya. Ia malah semakin menjadi dengan obsesinya untuk bisa menyanyi seperti Kutilang. Matanya menatap Kutilang yang tak berdaya dengan penuh selidik.
“Katakan apa yang menjadi rahasia menyanyimu, atau kau akan kujadikan santapan pembukaku?” Harimau mengancam.
Dengan penuh takut, Kutilang menjawab “Saya sama sekali tidak mempunyai rahasia apapun dalam menyanyi. Karena semua kaum kami bisa melakukan hal itu seiring pertumbuhan usia mereka.
“Kau pasti berbohong, aku akan memakanmu. Setelah itu aku pasti akan bisa bernyanyi.” Harimau kemudian memasukkan Kutilang kedalam mulut dan menelannya bulat-bulat. Selesai memakan Kutilang malang itu, Harimau mencoba bernyanyi kembal.
Sambil berjalan menyusuri hutan ia terus menerus berlatih menyanyi. Tapi hasil yang didapatkan ternyata sama saja. Hanya auman membahana yang keluar dari sela taringnya. Melihat tingkah dari raja hutan tersebut tentu saja membuat heran para penghuni hutan yang kebetulan berpapasan dengannya. Harimau tidak peduli dengan tatap mata aneh dari warga hutan yang heran melihat tingkah yang memang tidak seperti biasanya.
Matahari sudah mulai redup ketika Harimau sampai ditepi sungai yang hampir kering airnya. Ia kemudian minum dan beristirahat ditempat itu. Setelah merasa cukup melepas lelah, Harimau meneruskan perjalanannya dengan menyebrangi sungai. Saat malam mulai menyapa, barulah Harimau mencari tempat untuk menginap malam ini. Ia memilih untuk beristirahat dibawah sebuah pohon Maoni yang rindang.
Pagi hari, ketika Harimau terbangun dari tidurnya ia merakan betapa lapar perutnya. Hari belum begitu terang, namun ia memutuskan untuk pergi berburu mencari makanan. Matanya yang tajam menjadikan remang suasana hutan tidak menjadi penghalang. Hidungnya terus menerus mengendus bau mangsa yang bisa didapatinya. Lama ia berjalan mencari mangsa hingga belantara yang semula remang menjadi benderang.
Kini didepannya menghampar hutan padang rumput dan beberapa rumpun pohon bambu. Pasti akan banyak hewan yang mencari makan ditempat ini, katanya dalam hati. Angin bertiup cukup kencang waktu itu, hingga menjadikan pucuk-pucuk ilalang bergoyang. Harimau kemudian bersembunyi diantara tingginya ilalang untuk mengintai calon mangsanya.
Benar juga apa yang menjadi perkiraannya. Matanya menangkap seekor Kancil kecil yang tengah duduk dibawah rumpun bambu. Melihat Kancil, ia langsung teringat pada cerita Kera beberapa waktu lalu. Mengingat Kancil adalah hewan sangat cerdik maka Harimaupun amat berhati-hati dalam mendekatinya. Ia mengendap-ngendap menuju rumpun bambu dimana Kancil tengah duduk. Begitu sudah merasa cukup dekat, ia segera melompat dan kini tepat berada didepan Kancil. Kancil amat sangat kaget melihat siapa yang sekarang tengah berdiri dihadapannya. Harimau, sang raja hutan! Kancil tak habis pikir mengapa ia sampai tidak tahu dengan kedatangan Harimau.
“Sekarang kau tidak akan bisa pergi kema-mana lagi Kancil. Kau telah menipu Kera, dan aku akan menjadikanmu sebagai mangsaku.”
Kancil ketakutan setengah mati mendengar perkataan Harimau. Di pagi yang cerah dengan disertai semilirnya angin ini ternyata akan menjadi akhir hidupku, pikir Kancil. Harimau berjalan perlahan mendekati mangsanya, sementara Kancil juga mundur selangkah demi selangkah hingga akhirnya tubuhnya membentur rumpun bambu hingga ia tak bisa lagi kemana-mana.
Merasa ajalnya sudah semakin dekat, Kancil duduk bersimpuh dibawah rumpun bambu. Bersamaan dengan itulah angin bertiup cukup kencang hingga menyebabkan beberapa pohon bambu saling bergesekan dan menimbulkan suara, krieet,,, krieet,,, krieet. Harimau terpukau mendengar suara yang ditimbulkan oleh pohon bambu tersebut, namun ia tidak tahu dari mana asalnya suara itu.
“Suara apa itu?” Tanya Harimau.
“Itu adalah suara seruling dewa.” Jawab Kancil sekenanya.
“Seruling dewa?”
“Iya paduka, dan keberadaan saya disini adalah untuk menjaganya.” Kata Kancil.
“Bisakah kau memainkannya untukku?” Pinta Harimau.
“Tentu saja! Namun saya harus menunggu angin agar memudahkan saya untuk meniupnya.”
“Baiklah! Aku akan menunggunya” Kata Harimau.
Harimau dan Kancil menunggu dengan sabar datangnya angin. Kancil berlagak diantara rumpun bambu seolah olah ia hendak meniup seruling. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Angin bertiup dengan kencangnya hingga puluhan pohon bambu saling beradu dan suara riuhpun terdengar. Mulut dan tangan Kancil juga bekerja layaknya tengah memperagakan sedang meniup seruling. Harimau merasa kegirangan dengan apa yang dilihatnya.
“Kancil, apakah kau bisa mengajariku bagaimana caranya meniup seruling dewa ini?” Tanya Harimau.
“Bisa saja, asalkan paduka mau menuruti semua perintah hamba.”
“Baiklah aku setuju, ajarkan padaku.”
Kancil kemudian menjelaskan bagaimana caranya bisa memainkan seruling dewa yang sedang ditungguinya. Pertama-tama Harimau harus menempelkan lidahnya kebatang bambu sembari meniupnya agar ia terbiasa. Harimau menurut saja pada perkataan Kancil. Ia kemudian menempelkan lidahnya pada salah satu batang bambu kemudian meniupnya. Lama ia meniup, namun suara yang diinginkan tidak juga keluar.
“Kau bohong padaku Cil?” Bentak Harimau.
“Mana mungkin saya berani berbohong pada paduka yang mulia.” Sahut Kancil.
“Yang mulia harus menunggu bantuan angin, karena tuan belum pernah meniup seruling itu sebelumnya. Sekarang cobalah lagi.” Perintah Kancil.
Harimau menempelkan lidahnya disalah satu batang bambu. Mulutnya tak berhenti meniup layaknya tengah memainkan seruling. Angin yang ditunggupun datang. tapi kali ini angin yang bertiup tidak begitu kencang, hingga suara yang ditimbulkannyapun hanya suara yang kecil. Harimau girang alang kepalang menyadari dirinya bisa memainkan seruling dewa tersebut.
“Aku bisa Cil, aku berhasil.” Harimau kegirangan.
“Ulangilah lagi paduka, agar anda terbiasa dan bisa memainkan seruling itu dimana saja.” Ucap Kancil.
“Benarkah aku bisa memainkannya dimana saja? Baiklah kalau begitu.”
Harimau kembali menempelkan lidahnya pada batang bambu. Sementara kancil berjalan mengendap-endap untul meloloskan diri.
“Mau kemana kau Cil?” Tanya Harimau.
“Saya akan pergi sebentar untuk mencari minum disungai. Yang mulia pasti akan kehausan saat meniup seruling itu.”
“Baiklah kalau begitu, cepatlah kembali agar aku bisa belajar lebih banyak.”
Kancil lantas berjalan untuk meninggalkan rumpun bambu tersebut dan setelah merasa cukup jauh iapun berlari secepatnya. Sementara itu Harimau masih saja menempelkan lidahnya di batang bambu sambil terus meniupnya. Karena angin yang berhembus waktu itu belum terlalu kencang maka suara yang ditimbulkan akibat gesekan batang bambupun tidak seberapa.
Harimau tidak menyerah begitu saja, ia terus berusaha untuk meniup seruling dewa tersebut. Ia pun beristirahat sejenak untuk mengembalikan tenaganya sambil menunggu Kancil yang tengah mencari air minum. Dari kejauhan Harimau melihat pucuk ilalang yang nampak bergoyang kencang karena tiupan angin. Sang raja hutan tidak ingin melepaskan kesempatan ini, ia segera mendekati batang bambu dan menempelkan lidahnya disana. Begitu angin kencang tersebut sampai dirumpun bambu itu, tentu saja membuat seluruh bantang-batang bambu bergerak tak beraturan dan menimbulkan suara yang cukup riuh.
Harimau semakin bersemangat karena keberhasilannya memainkan seruling dewa itu. Ia menjulurkan lidahnya semakin panjang keluar. Tiupan angin yang semakin kencang menyebabkan batang bambu yang bergerakpun bukan hanya dibagian atasnya saja.
Karena tiupan angin yang kencang hingga mengakibatkan seluruh pohon bambu bergerak dari atas sampai kebawah, maka akhirnya lidahnya itupun terjepit oleh bambu yang saling bergesekan. Sakit alang kepalang dirasakan Harimau ketika lidahnya terjepit diantara pohon bambu yang tidak bisa segera ia lepaskan. Gerak batang bambu yang tak beraturan tersebut membuat Harimau semakin kesulitan melepaskan lidahnya. Angin kencang tersebut tidak berlangsung lama. Pada akhirnya ia bisa menarik paksa lidahnya. Sakit, perih, dan berbagai perasaan yang dirasakan Harimau saat ini. Ia semakin jengkel karena juga telah ditipu oleh Kancil dan hampir saja ia mati karenanya.
“Awas kau Cil, kau pasti akan menerima akibatnya.” Demikian kata Harimau sambil berjalan menahan sakit meninggalkan tempat itu.







NASIB GAJAH YANG CONGKAK

Sudah beberapa hari ini Harimau pergi meninggalkan pusat kerajaan hutan untuk mengembara. Sama sekali tidak ada kabar tentang bagaimana keadaanya dan dimana ia sekarang. Seluruh tugas terdahulunya dibebankan kepada Gajah yang kini menjadi penguasa sementara di hutan. Lama hanya berdiam diri disekitar daerah kekuasaan barnya itu tentu saja membuat Gajah bosan. Pagi itu ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan menikmati indahnya mentari. Kedudukan baru yang dimiliki oleh Gajah saat ini menjadikannya agak congkak. Ia berjalan dengan sombongnya karena merasa tidak akan ada yang berani terhadapnya. Badannya yang besar, belalai kuat dengan disertai gading tajam sudah cukup membuat dirinya disegani oleh pemghuni hutan, apalagi sekarang dia adalah raja maka semua warga hutan harus tunduk dan  menghormatinya.
Mentari belumlah tinggi saat Gajah melangkahkan kaki meninggalkan tempat tinggalnya. Ia berjalan dengan tidak menghiraukan apapun disekitarnya. Ratusan pohon-pohon kecil terinjak hingga rusak dan mati. Demikian juga dengan yang terjadi pada hewan-hewan kecil seperti Rayap dan Semut, tidak sedikit dari mereka yang mati akibat injakkan kaki sang raja baru.
Gajah sama sekali tidak menyadari bahwa langkah kakinya telah menyakiti banyak pihak. Sama sekali ia tidak mempedulikan dengan kerusakan yang ditimbulkannya malah terlihat sangat menikmatinya. Semakin jauh ia melangkah, semakin langkah kakinya membuat kerusakan hutan dan ratusan hewan-kecil yang mati.
Akhirnya sampailah ia di sebuah telaga yang cukup besar, segera ia berendam dan bermain disana. Dengan belalainya ia menyedot air sebanyak-banyaknya untuk kemudian demprotkan keatas. Tubuh raksasanya bergelimpangan kekiri dan kekanan hingga mengakibatkan telaga yang semula jernih menjadi keruh. Puluhan ikan yang semula berenang tenang dan ceria kini menjadi pusing karena keruhnya telaga.
Puas bermain air, Gajah meninggalkan telaga. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dalam dirinya karena telah menyebabkan beberapa ikan menjadi pingsan karenanya. Ia berjalan dengan congkak dan kembali kerumahnya. Suara yang melengking tajam menandakan sang raja baru akan segera lewat.
Gajah berjalan seenaknya tanpa memperhatikan apa yang dilaluinya. Puluhan semut yang tidak bersalah kembali terinjak dan tidak sedikit dari mereka yang mati. Gajah kemudian beristirahat sesampainya ia dirumah barunya.
Ratusan Semut yang merasa terganggu dengan tingkah laku Gajah tersebut, kemudian datang menghadap raja mereka. Kepada raja Semut, mereka menceritakan semua kejadian yang baru saja mereka alami pagi ini. sang rajapun mendengarkannya dengan seksama dan penuh perhatian.
“Kalau begitu, aku akan menghadap kepada Gajah untuk menyampaikan keluhan kalian sore ini.” Demikian ucap pemimpin Semut ini pada rakyatnya.
“Terimakasih banyak yang mulia.”
Serombongan Semut tersebut kemudian segera pulang setelah puas dengan jawaban dan janji raja mereka.
Tidak menunggu waktu lama, raja Semut inipun segera pergi meninggalkan sarangnya untuk menemui sang Gajah dengan harapan ia bisa sampai di kediaman Gajah pada sore harinya. Benar saja, pimpinan Semut ini. Raja Semut inipun langsung mengatakan kepada Merpati sang hulubalang raja, bahwa ia ingin bertemu dengan Gajah karena ada hal penting yang hendak ia sampaikan.
“Tunggu disini. Aku akan menemui sang raja.” Merpatipun terbang meninggalkan Semut guna menemui sang Gajah.
Terlihat sang raja baru tengah bersantai menikmati suasana senja di tempat barunya. Merpatipun turun dan berdiri di hapadan rajanya.
“Ada apa engkau menghadapku?”
“Raja semut ingin menghadap yang mulia, dan sekarang ini ia telah berada di gerbang.” Jelas Merpati.
“Semut? Untuk apa ia menghadapku? Sepertinya aku tidak pernah punya kepentingan dengannya.” Gajah terheran-heran.
“Bagaimana yang mulia? Apakah paduka berkenan menerima sekarang atau menyuruhnya menunggu sampai esok hari?”
“Suruh dia menghadapku. Aku penasaran ada apa gerangan ia ingin bertemu denganku.”
“Terimakasih yang mulia.”
Merpati pergi meninggalkan kediaman sang raja untuk menemui Semut yang menunggu di gerbang.
“Bagaimana tuan hulubalang? Apakah sang raja berkenan menerima saya hari ini?” Semut langsung bertanya ketika melihat Merpati sudah berada dihadapannya kembali.
“Sang raja menunggu kedatanganmu sekarang.”
“Terimakasih tuan Merpati. Kalau begitu saya akan segera menemui yang mulia. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.”
Semut masuk kedalam kerajaan guna bertemu raja baru yang telah menindas rakyatnya.
“Ada apa kau ingin bertemu dengan denganku?” Tanya Gajah ketika Semut sudah berada dihadapannya.
Semut menjelaskan bahwa kedatangannya kali ini untuk menyampaikan keluhan dari warganya tentang apa yang telah dilakukan oleh Gajah tadi pagi.
“Tidak sedikit dari saudara-saudara hamba yang meninggal karena terinjak oleh kaki paduka”. Jelasnya melanjutkan.
“Lantas apa yang kau inginkan?”
“Hamba hanya mohon agar paduka lebih memperhatikan setiap jengkal jalan yang hendak yang mulia lewati. Disamping perjalanan yang mulia akan lebih aman, juga tidak akan menimbulkan malapetaka bagi yang lainnya.”
Gajah terdiam mendengar nasehat dari sang Semut. Namun ia diam bukan karena tersentuh hatinya, malainkan lebih disebabkan oleh kemarahannya yang tertahan.
“Aku adalah raja dan memiliki kekuatan yang sangat besar. Mengapa harus mendengarkan nasehat dari hewan kecil seperti Semut?” Demikian pikirnya.
Tapi sebagai raja, ia tetap harus menjaga perasaan rakyatnya.
“Kalau begitu baiklah. Aku terima saran darimu. Sekarang kembalilah kau kepada trakyatmu dan sampaikan permintaan maafku pada mereka.” Kata Gajah dengan manis.
“Terimakasih banyak yang mulia, rasanya memang tidak salah kalau sang Harimau memberikan kepercayaanya kepada tuan. Hamba mohon pamit.”
Gajah melepaskan kepergian Semut dengan tatapan mata sinis. Ia merasa terhina karena diperingatkan oleh seekor hewan yang sangat kecil dan lemah.
“Berani sekali Semut itu.” Gumam sang Gajah.
Seperti hari yang lalu, pagi itu sang Gajah keluar dari kediamannya untuk sekedar berjalan-jalan melihat daerah sekelilingnya. Beberapa lama berjalan, ia melihat sekelompok Semut yang tengah berjalan untuk mencari makan. Seketika itu pula sang raja baru ini teringat akan kata-kata pemimpin Semut yang menemuinya kemarin. Kebenciannya pada hewan kecil itu tiba-tiba memuncak dan muncullah niatnya untuk meluapkan sakit hatinya.
Dengan kepala mendongak penuh kecongkakan, sang Gajah mempercepat langkahnya guna melampiaskan kemarahannya dengan cara menginjak ratusan semut yang tengah berjalan beriringan. Akibatnya ratusan Semut tersebut terluka dan mati.
Puas dengan apa yang dilakukannya, Gajah meninggalkan ratusan Semut yang terluka dan mati. Sementara Semut yang bisa menyelematkan diri segera melaporkan kejadian tersebut kepada raja mereka. Mendengar kejadian yang menimpa rakyatnya, meledaklah kemarahan pemimpin Semut ini. Ia tidak menyangka ternyata janji Gajah padanya hanyalah omong kosong belaka.
Tidak berlama-lama, raja Semut ini kemudian mengumpulkan seluruh rakyatnya dan jutaan Semutpun berbondong-bondong memenuhi panggilan pemimpin mereka. Raja Semut yang tengah marah ini lantas mengatakan apa maksudnya memanggil semua rakyatnya untuk berkumpul. Ia menjelaskan bahwa Gajah telah menindas bangsa Semut, sang raja juga menceritakan bahwa Gajah juga telah melanggar janji dan kesepakatan dengannya.
“Kita harus melawan pemimpin seperti itu.” Raja Semut menambahkan.
“Bagaimana kita bisa melawan Gajah yang teramat kuat dan besar?” Tanya salah seorang Semut nampak ragu.
“Jika kita semua mau bersatu, rasanya tidak ada yang tidak mungkin. Kita berjumlah jutaan dan mempunyai satu tujuan yaitu mengalahkan pemimpin yang menindas kita.”
“Apakah anda punya gagasan untuk mengalahkan sang Gajah yang perkasa tuanku?”
Pemimpin Semut inipun terdiam sesaat mendengar pertanyaan dari salah satu warganya. Namun tidak lama ia termenung, raut wajah sang pemimpin ini kembali berseri.
“Aku punya ide!” Demikian katanya penuh kegirangan. “Namun kita semua harus bekerja sama dan bahu-membahu.” Tambahnya
“Apa yang menjadi gagasan anda tuan? Bukankah selama ini kita selalu saling membantu dan bekerja bersama-sama? Jadi bukankalah sebuah masalah apabila anda menyuruh kami untuk bekerjasama. Katakan, apa yang menjadi ide yang mulia?”
“Ikutilah aku. Aku akan menunjukkan rencanaku kepada kalian.”
Raja Semut berjalan keluar dari sarangnya dengan diikuti oleh jutaan rakyatnya. Ternyata raja Semut ini menuntun rakyaknya ke sebuah lubang besar yang terletak tidak jauh dari telaga tempat Gajah biasanya mandi diwaktu pagi. Lubang itu cukup tersembunyi diantara semak dan ilalang.
Sampai ditempat itu, sang raja kemudian memerintahkan jutaan rakyatnya untuk memungut ranting dan dedaunan kering agar dapat menutup lubang tersebut. Jutaan pasukan Semut melaksanakan perintah dari sang raja. Mereka bekerja sama saling bahu-membahu mengangkut ranting-ranting kering yang banyak ditemukan disekitar telaga itu. Untuk memindahkan ranting yang sangat besar bagi mahluk seukuran Semut, tidak menjadi sesuatu yang berat karena mereka mengerjakannya secara bersama.
Hari belumlah malam ketika seluruh bagian dari lubang besar itu tertutup oleh ranting dan dedaunan kering.
“Esok hari, ditempat ini kita akan menghentikan penindasan sang Gajah kepada kita.” Kata sang raja.
“Saya belum mengerti apa yang tuan maksudkan?”
“Kita akan menjebak Gajah disini.” Jelasnya. “Kita akan memancing Gajah untuk sampai ketempat ini. Malam ini, kita semua akan menginap disini dan besok aku akan memimpin kalian untuk memancing Gajah sampai ketempat ini. sekarang beristirahatlah, karena besok pagi kita akan melakukan sesuatu yang melelahkan.”
Demikianlah, jutaan Semut akhirnya menginap di lubang tersebut. Mereka semua menebak-nebak apa yang menjadi rencana dari sang raja yang katanya hendak menghentikan penindasan Gajah terhadap mereka. Namun karena lelah setelah bekerja keras seharian, jawaban dari pertanyaan mereka tidaklah terjawab. Pada akhirnya para semut itu lelap tertidur.
Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Kokok ayam jantan mulai terdengar memecah keheningan. Langit yang semula gulita nampak mulai memerah dan sang mentari perlahan-lahan muncul di ufuk timur. Raja Semut dan seluruh rakyatnyapun terbangun. Tanpa diperintah, sebagian Semut pergi mencari makanan. Sementara sang raja juga langsung berdiri ditengah-tengah rakyatnya menjelaskan apa yang menjadi rencananya.
“Seperti biasa, aku kira Gajah akan datang ketelaga itu untuk mandi dan berendam. Sebelum ia sampai ditempat tujuannya, aku dan beberapa dari kalian akan mengganggu perjalannya dengan jalan menggigit sang Gajah yang lainnya tetap bersembunyi disini dan menunggunya di sekitar lubang jebakan.”
“Kenapa harus tuan yang membawa Gajah kemari? Bukankah banyak dari kita yang mau melakukan tugas itu?” Seekor Semut menanggapi.
“Aku adalah pemimpin kalian, jadi kalaupun ada yang harus terluka ataupun mati dalam rencana ini aku ingin menjadi yang pertama.”
“Tapi siapa yang akan memimpin kami nantinya kalau terjadi apa-apa dengan anda? Lebih baik tugas untuk memancing Gajah kemari biarlah hamba yang melakukannya.” Ucap Semut lainnya yang ternyata mendapat dukungan dari semua Semut yang ada di tempat itu.
Sang raja tidak bisa menolak permintaan dari seluruh rakyatnya. Akhirnya ia memilih beberapa Semut untuk menggantikan tugasnya.
Dari kejauhan, rombongan Semut yang semula pergi untuk mencari makan juga telah kembali. Semua Semut-semut kemudian makan bersama-sama untuk kesiapan tenaganya dan mendengarkan paparan mengenai rencana sang raja.
Tidak beberapa lama setelah semua Semut selesai makan, sayup terdengar suara Gajah memecah kesunyian hutan. Puluhan Semut yang diserahi tugas untuk menggiring Gajah ke dalam lubangpun berangkat kejalan setapak yang hendak dilalui sang raja hutan itu.
Tak lama menunggu, tubuh besar sang Gajah mulai terlihat menerobos rimbunnya hutan dan semakin mendekati puluhan semut yang telah menunggunya. Begitu kaki besar dari sang Gajah berada dihadapannya, pemimpin rombongan Semut itu segera merayap naik ketubuh besar itu. Sementara yang lainnya berjajar mengarah ke lubang jebakan yang telah mereka persiapkan. Semut yang merayap di kaki Gajah kemudian menggigit kaki itu sekuat tenaga. Walaupun tidak begitu sakit bagi hewan besar seukuran Gajah, tentu saja gigitan itu mengagetkan sang raja hutan.
Gajah menatap kakinya dimana didapatinya seekor Semut kecil menggigitnya. Ia sangat marah karena hal itu. Kemudian dihentak-hentakkan kakinya ketanah dengan tujuan Semut tersebut jatuh. Semut kecil itu tidak mampu menahan hentakan kaki sang Gajah yang berusaha untuk melepaskan gigitannya. Pada akhirnya hewan kecil itupun jatuh ketanah dan langsung berlari kearah lubang yang telah mereka persiapkan.
Kemarahan benar-benar membuat Gajah gelap mata. Ia kemudian berlari mengejar Semut yang menggigitnya, ternyata ia juga melihat puluhan Semut lainnya disekitar tempat itu. Gajah semakin bersemangat mengejar Semut-semut yang berlarian menuju lubang jebakan. Semut-semut yang menjadi umpan itu sampai di tengah tengah lubang jebakan, dan berpura-pura kelelehan.
Menyaksikan hal itu, tanpa pikir panjang, Gajah melompat hendak menginjak mereka dengan kaki raksasanya. Namun apa yang dibayangkan tidaklah seperti apa yang ada dipikirannya. Hewan raksasa itu terperosok masuk lubang ketika kakinya menginjak dedaunan kering penutup lubang. Sang raja hutan ini mengeluarkan suara melengking keras karena sadar telah masuk kedalam jebakan. Usaha kerasnya untuk keluar dari lubang jebakan yang dalam dan besar itu sia-sia belaka.
Menyaksikan kejadian itu, raja Semut yang semula bersembunyi bersama jutaan rakyatnyapun keluar. Bersama-sama mereka menuju lubang dimana sekarang ini Gajah terjebak. Beramai-ramai Semut-semut ini menaiki tubuh raksasa yang telah menindasnya. Gajahpun tidak tinggal diam, ia membentur-benturkan tubuhnya pinggiran lubang untuk menghalau Semut-semut tersebut. Usahanya berhasil membuat puluhan bahkan ratusan Semut mati, namun yang menyerangnya kali ini berjumlah jutaan. Dan tidak sedikit dari mereka yang berhasil memasuki telinganya dan lubang belalainya.
Gajah berteriak kesakitan dan meminta ampun kepada Semut-semut yang telah disakitinya. Namun teriakan kesakitan dan rintihan minta ampun dari sang Gajah tidak membuat Semut berhenti menggigit seluruh tubuh raksasa itu. Karena begitu banyaknya Semut yang berhasil masuk kelubang telinga dan belalainya akhirnya Gajah menyerah. Ia terus berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang mendengarnya.
Sementara itu, Harimau yang dalam perjalanan pulang setelah ditipu mentah-mentah oleh si Kancil, kebetulan berada di dekat tempat tersebut. Telinganya yang tajam mendengar teriakan meminta tolong.
“Sepertinya aku tahu suara itu.” Kata Harimau dalam hati.
Harimau berlari secepatnya menuju sumber suara tersebut. Tidak butuh waktu yang lama, ia sampai juga kesumber suara. Betapa kagetnya sang Harimau ketika melihat kejadian didepannya.
“Hentikan!” Bentak Harimau kepada jutaan Semut.
Suara menggelegar dari Harimau tentu saja membuat semua Semut terperanjat. Serta merta mereka berhenti menggingit Gajah yang tidak berdaya itu. Namun karena luka yang dideritanya terlalu parah, maka nyawa sang Gajah sudah tidak bisa tertolong lagi. Akhirnya hewan besar yang gagah perkasa harus mati ditangan para Semut-semut kecil yang dianiaya olehnya.
Tewasnya sang Gajah tentu saja membuat Harimau marah. Namun, kemarahannya perlahan-lahan mereda setelah mendengar penjelasan dari raja Semut tentang penindasan yang dilakukan sang Gajah. Serta merta cerita dari raja Semut menyadarkan Harimau bahwa segala yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin dan terwujud dengan usaha yang keras dan bersatu.
Akhirnya, raja hutan ini memerintahkan kepada raja Semut dan pasukannya untuk menguburkan mayat sang Gajah secara baik-baik dan memaafkan semua Semut beserta pasukannya yang telah membunuh wakilnya di hutan itu. Menyaksikan kenyataan yang baru saja terjadi, raja hutan yang gagah perkasa ini menjadi semakin sadar bahwa ia sebenarnya hanyalah mahluk kecil yang dapat dengan mudah dikalahkan. Semua keperkasaannya akan sia-sia jika ia berkelakuan buruk. Sekelompok hewan yang dianggapnya lemah bisa saja membunuhnya dengan mudah jika ia bertindak lalai.
Peristiwa yang baru saja dilihatnya itu juga menyadarkan Harimau yang telah berbuat lalai terhadap Kutilang kecil yang dimangsanya beberapa waktu yang lalu. Kejadian yang menimpa Gajah benar-benar membuat hati Harimau terbuka. Iapun berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi perbuatan Gajah yang sombong itu.
KESOMBONGAN BERBUAH PETAKA

“Ini sudah sangat jauh dari rumpun bambu, aku rasa Harimau tidak akan mengejarku sampai tempat ini.” Gumam Kancil yang sudah berlari beberapa hari untuk menghindari kejaran Harimau yang telah ditipunya.
Langit yang semula cerah tiba-tiba menjadi gelap. Awan hitam berarak menutup matahari senja. Hari menjadi gelap padahal malam belumlah tiba. Kancil menyadari bahwa sebentar lagi akan segera turun hujan. Ia bergegas mempercepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh.
Tetes-tetes air mulai mengenai kulit si Kancil menandakan gerimis telah jatuh. Hewan cerdik ini berlari kencang menuju pohon jati besar yang dilihatnya dari kejauhan. Gerimis berubah menjadi hujan lebat tatkala si Kancil tiba di bawah pohon jati, tidak jauh dari sungai yang mulai mengering airnya karena kemarau panjang.
Kilat dan halilintar menyertai titik-titik air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hewan yang tengah kehausan, tanah menyerap air hujan dengan cepatnya. Dedauan yang semula  kelabu karena tertutup debu kembali segar setelah terbasuh hujan. Semua hewan air bergembira menyambut datangnya hujan pertama setelah sekian lama.
Namun kegembiraan itu tidak sepenuhnya dirasakan si Kancil. Tubuhnya basah kuyup karena guyuran air yang jatuh dari pucuk-pucuk daun dan dahan jati tempatnya berteduh. Ia merapatkan tubuh mungilnya kebatang pohon untuk menghindari tetesan air yang semakin deras tapi ternyata batang pohon besar tersebut juga telah basah. Kancil mulai menggigil kedinginan karenanya.
Akhirnya hujan deras itu perlahan-lahan mereda. Matahari mulai terlihat lagi di langit barat. Burung-burung yang semula berlindung disarangnyapun keluar dan berkicau riuh untuk merayakan datangnya musim penghujan. Penghuni hutan yang semula harus berjalan jauh untuk mencari minum, kini tidak lagi kesulitan untuk menemukan sumber air. Semuanya senang menyambut datangnya musim hujan kali ini.
Hujan kini telah benar-benar reda. Kancil yang semula menggigil kedinginan bejalan keluar dari tempatnya berteduh. Ia berjalan menuruti kemana langkah kakinya menapak. Si Kancil sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan dalam pengembaraannya kali ini. Sambil terus berjalan, ia mengingat-ingat kembali semua kejadian yang baru saja dialaminya. Sejak tertangkap dan berhasil meloloskan diri dari cengkraman Pak Tani dengan jalan menipu Anjing miliknya. Kemudian dengan kecerdikannya ia berhasil mengalahkan Kera, selamat dari mulut Buaya, dan yang paling membanggakannya adalah ketika ia berhasil mengelabuhi Harimau sang raja hutan.
“Seharusnya akulah yang menjadi raja hutan, bukan Harimau. Aku telah mengalahkannya, bukan dengan kekuatan badan, melainkan dengan kecerdikanku.” Kata Kancil pada dirinya sendiri.
Mengetahui bahwa ia telah berhasil mengalahkan binatang-binatang yang jauh lebih kuat daipada dirinya, Kancil menjadi congkak dan sombong. Ia merasa bahwa dirinyalah hewan terkuat di dalam hutan itu. Hewan cerdik ini berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan terkadang melompat kecil untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling hebat.
Langkah kakinya semakin tidak beraturan yang mengakibatkan ia tidak memeperhatikan jalan hingga akhirnya tersandung sesuatu di depannya. Merasa terantuk batu, si Kancil berhenti dan mencari batu mana gerangan yang mengenai kakinya. Matanya menangkap sebuah benda berwarna kehitaman berbentuk bulat. “Rupanya, batu ini yang menghalangi perjalananku.” Karena marah, Kancil kemudian menedang benda tersebut.
“Aduh.” Benda yang ditendang si Kancil ternyata dapat berbicara. Hal itu tentu saja membuat si Kancil kaget dan penasaran. Ia belum begitu yakin kalau benda itulah yang mengeluarkan suara. Kancil kembali mendekati benda tersebut dan menendangnya sekali lagi dengan lebih keras.
Benda kehitaman yang ternyata tidak sepenuhnya berbentuk bulat itu menggelinding karena tendangan Kancil. Sekali lagi Kancil mendengar suara mengaduh. Kali ini Kancil yakin bahwa benda yeng ditendangnya tersebut dapat berbicara. Ia kemudian mendekati benda tersebut yang masih terus merintih dan mengaduh.
“Siapa kamu?” Tanya Kancil.
Kancil tidak langsung mendapat jawaban dari pertanyaan yang diajukannya. Benda bulat kehitaman itu peralahan-lahan bergerak dan terlihat terangkat keatas. Setelah semua jelas, barulah Kancil mengetahui bahwa benda tersebut ternyata adalah seekor Keong.
“Aduh, aku pusing sekali. Siapa yang tega melemparkan aku?”
“Aku yang menendangmu karena kukira engkau adalah sebuah batu.” Jelas Kancil.
Keong tersebut berjalan mendekat. Melihat cara berjalan dari Keong itu, Kancil tertawa terpingkal-pingkal.
“Kenapa engkau tertawa Kancil?”
“Aku tertawa karena melihat caramu berjalan sangatlah lucu.”
“Semua Keong berjalan dengan cara seperti ini, lalu apa aneh dan lucunya?”
“Menurutku cara berjalanmu itu sangatlah lucu, dan amat pelan. Kapan kau bisa sampai ketujuanmu kalau kau berjalan dengan cara seperti itu?” Hina Kancil. “Sekarang katakan padaku, kemana tujuanmu?” Tanya Kancil mengejek.
“Aku sedang berjalan kearah sungai yang berada tidak jauh dari sini. Setiap musim penghujan aku kesana untuk bertelur.” Jelas Keong.
“Ya, aku tahu sungai itu memang sudah tidak jauh dari sini. Aku bisa mencapai tempat itu dalam waktu singkat karena aku bisa berlari dengan cepat. Tapi bagaimana denganmu? Dengan cara berjalanmu yang seperti itu, aku kira kau baru akan sampai disana besok hari.”
“Tidak apa-apa, yang penting aku bisa sampai disana.”
“Bagaimana kalau aku menolongmu agar bisa cepat sampai ditempat tujuanmu?” Kancil menawarkan.
“Tidak usah kawan. Aku menghargai niatmu, tapi aku tidak ingin menyusahkan siapapun.” Ucap Keong menolak tawaran Kancil.
Penolakan halus dari sang Keong ternyata tidak bisa diterima oleh Kancil. Menurut Kancil penolakan dari Keong adalah sebuah kesombongan.
“Kalau begitu aku pergi dulu kawan.” Bersamaan dengan itu, Keong berjalan merayap menyusuri tanah yang masih basah menuju kearah sungai.
Kancil merasa semakin dihina dengan kelakuan Keong yang dinilainya sombong. Sekali lompat, Kancil sudah berada didepan Keong kembali.
“Sombong sekali kau Keong.” Kancil berkata dengan marah.
Keong terheran-heran dengan ucapan Kancil yang baru saja didengarnya.
“Sombong? Apa yang aku sombongkan darimu kawan?”
“Kau berjalan dengan sangat lambat, dan aku ingin menolongmu agar kau bisa sampai ketempat tujuanmu dengan cepat. Namun kau menolaknya, bukankah itu merupakan sebuah kesombongan?”
“Itu bukanlah sebuah kesombongan kawan. Semua bangsa kami berjalan dengan cara seperti ini, namun ini bukan berarti kami lambat. Dan keinginanmu untuk menolongku adalah sebuah niat yang mulia, tapi aku tidak bisa menerimannya karena pertolongan tidak datang setiap saat. Jika aku menerima pertolongan darimu karena kau merasa kasihan dengan caraku berjalan, itu sama saja aku ingin selalu dikasihani dan aku tidak bisa menerima itu sebab aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan seperti ini.” Jelas Keong.
Bukannya menerima penjelasan dari Keong, Kancil malah semakim marah karena merasa disepelekan. Ia tidak habis pikir ada hewan yang berjalan dengan cara merayap sangat pelan bisa sedemikian sombongnya. Terbersitlah niat jahat dalam pikiran Kancil.
“Dasar tidak tahu diri.” Dengus Kancil.
Bersamaan dengan itu ia kembali menendang Keong hingga tubuhnya menggelinding kencang. Cangkang setengah bulat dari sang Keong terus ditendang oleh si Kancil menuju kearah sungai walaupun Keong sendiri terus menerus memohon pada Kancil untuk menghentikan perbuatannya. Keong terus menggelinding mengikuti kemana arah yang diinginkan oleh Kancil.
Tidak beberapa lama, Kancil mendengar gemericik air yang menandakan bahwa sungai telah berada dekat di depan mereka. Keong yang dari tadi menggelinding akhirnya berhenti karena terbentur rumpun ilalang dipinggir sungai. Ia terus merintih tiada henti karena pusing yang dirasakannya.
“Kau benar-benar tidak punya perasaan Kancil. Teganya engkau menindasku yang lemah dan tidak berdaya ini.”
“Hei Keong, sama sekali aku tidak menindasmu. Bukankah aku malah menolongmu untuk sampai kepinggir sungai dengan lebih cepat?”
“Memang benar, tapi kau membawaku kemari dengan cara menendangku. Bukankah itu sama saja menyiksa?”
“Berjalanmu sangat lambat dan tentu, kau juga tidak bisa memanjat kepunggungku agar aku dapat menggendongmu. Jadi satu-satunya jalan untuk membawamu kemari adalah menggelindingkan tubuhmu.” Ejek Kancil.
“Aku memang lambat, tapi belum tentu engkau bisa lebih cepat dariku.”
Kancil tertawa terpingkal-pingkal mendengar apa yang diucapkan oleh Keong. Ia tidak habis pikir bagaimana hewan kecil dan lambat seperti Keong bisa lebih cepat darinya.
“Apa maksudmu? Kau ingin beradu cepat denganku? Kau tidak akan mungkin menang.”
“Kalu begitu mari kita buktikan siapa yang lebih cepat dalam sebuah perlombaan lari.” Tantang Keong kepada Kancil.
“Baiklah, ayo kita lakukan sekarang. Kau boleh berlari terlebih dahulu.”
Keong sadar dia tidak akan mungkin menang melawan Kancil dalam sebuah perlombaan lari jika ia sendirian. Maka dari itu, ia berusaha mencari alasan agar Kancil mau menunda perlombaan antara mereka sampai esok hari.
“Tidak mungkin kita melakukan perlombaan itu hari ini. Disamping hari hampir gelap, aku juga masih sangat pusing karena kau tendang kesana-kemari. Tapi aku akan siap melawanmu besok pagi.” Keong beralasan.
“Baiklah kalau begitu, kita akan berlomba besok pagi. Silahkan kau yang menentukan tempat pertandingan kita.” Tegas Kancil.
“Kalau begitu, kita bertemu lagi besok pagi ditempat ini. Dan kita akan berlomba disepanjang aliran sungai. Dimulai dari sini dan berakhir dicabang sungai yang terletak cukup jauh didepan kita. Kau setuju?”
“Baik, aku setuju.”
“Sekarang aku akan beristirahat di sungai untuk memulihkan tenagaku. Jika kau mau tetap disini silahkan saja.”
Tidak menunggu jawaban dari si Kancil, Keong berjalan menuju pinggiran sungai dan kemudian menceburkan diri kedalamnya dan Kancil ditinggalkannya sendirian di tempat itu.
Merasa dirinya disepelekan oleh Keong, Kancilpun pergi meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali besok pagi untuk berlomba.
“Bagaimaan mungkin Keong bisa menang melawanku?” Gumam Kancil sambil melangkah pergi.
Sementara itu, ternyata dipinggiran sungai yang tidak berarus deras, Keong tidaklah sendiri. Disana telah berkumpul ratusan Keong lainnya yang memang setiap musim penghujan datang berkumpul disungai itu. Segera ia menceritakan apa yang baru saja dialaminya juga dengan lomba adu cepat yang telah disepakatinya bersama Kancil.
Semua Keong yang ada di tempat itu tentu saja terperanjat kaget dengan apa yang dikatakan oleh kawannya tersebut.
“Kau menantang Kancil lomba lari?” Tanya salah satu Keong terheran-heran.
“Apa mungkin kau bisa menang melawan Kancil?” Keong yang lain turut bertanya.
“Iya, aku memang menantang Kancil untuk beradu cepat besok pagi. Tapi aku tidak akan berlomba lari dengan Kancil sendirian. Kita semualah yang akan berlomba melawan Kancil.” Jelasnya.
“Kita semua? Apa maksudmu?”
“Kita mempunyai kesamaan bentuk dan ukuran, jadi aku punya rencana untuk mengalahkan Kancil dalam perlombaan itu. Kita diuntungkan oleh kemiripan dan juga oleh derasnya arus sungai.”
“Aku semakin tidak mengerti.”
Keong kemudian mengutarakan rencananya agar dapat mengalahkan Kancil. Ia menjelakan, dengan kemiripan yang mereka punyai ia ingin membodohi Kancil yang sombong itu. Keong ini kemudian meminta teman-temannya untuk membantu dengan jalan mereka semua bersembunyi terlebih dahulu dirimbunnya ilalang yang ada disepanjang aliran sungai dengan jarak tertentu sampai pada cabang sungai.
“Dengan bantuan arus sungai kita dapat dengan cepat sampai pada pos kita masing-masing.” Keong mengakhiri penjelasannya yang ternyata dapat diterima oleh semua teman-temannya.
“Kapan kita bisa mulai?”
“Sekarang saja kita mulai berpencar. Hal itu bisa menambah waktu kita semua untuk beristirahat malam ini.”
Keong kemudian membagi teman-temannya dalam beberapa kelompok dan tempat mana yang akan ditempati. Hal itu bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penempatan diri Keong-keong tersebut. Tidak lupa Keong ini juga berpesan kepada teman-temannya, begitu mereka sudah menyelesaikan tugasnya agar segera menyelam kedalam sungai dan berkumpul ditempat akhir perlombaan.
Setelah semuanya mengerti dengan jelas dengan apa yang akan dilakukannya, mereka semuapun berangkat dengan diantarkan oleh arus aliran sungai. Hanya Keong yang menantang Kancil yang tinggal ditempat itu, karena dialah yang akan memulai lomba.
Matahari barulah terbit dengan sempurna dan Kancil ternyata sudah berada ditempat yang disepakatinya bersama Keong sebagai permulaan lomba. Rupanya semalamalan ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan perlombaannya dengan Keong. Kancil merasa sangat terhina karena tantangan dari Keong untuk beradu cepat dengannya dalam sebuah perlombaan lari.
Kancil berjalan kesana kemari tidak beraturan karena gelisah dan tidak sabar menunggu Keong yang belum juga muncul. Ia mendekati sungai untuk melihat apakah calon lawannya itu sudah menampakkan dirinya atau belum.
“Keong, dimana kamu?” Teriak Kancil memanggil. Namun sama sekali Kancil tidak mendengar jawaban dari Keong.
“Jangan-jangan Keong itu melarikan diri.” Pikir Kancil. “Tapi aku akan menunggunya beberapa saat lagi, mungkin Keong itu masih tidur.”
Beberapa lama ia menunggu, Kancil memanggil Keong sekali lagi dan berharap ia menerima jawaban.
“Iya cil aku disini.”                 
 “Dimana Kamu?” Kancil bertanya sekali lagi karena ia tidak melihat keberadaan dari Keong.
“Aku disini.” Ternyata Keong tersembunyi dibalik rerumputan. Ia berjalan amat lambat mendekati Kancil.
“Bagaimana kau bisa menang melawanku, sedangkan untuk berjalan dari sungai kesini saja sangat lama?” Kata Kancil sambil tersenyum mengejek.
“Kita buktikan dengan berlomba saja Cil.”
“Kapan kita bisa mulai perlombaan ini keong? Sekarang?”
“Iya sekarang saja Cil.”
“Kalau begitu silahkan engkau berlari terlebih duhulu Keong.”
“Tidak bisa seperti itu Cil, kita harus memulainya bersama. Walaupun menurutmu aku hewan yang pelan tapi aku tidak mau kau perlakukan seperti itu.
“Baik, ayo kita mulai. Dasar sombong, lihat saja aku pasti akan mengalahkanmu.”
Mereka berdua akhirnya memulai perlombaan, Kancil langsung berlari sekuat tenaga dan berusaha meninggalkan Keong sejauh-jauhnya agar ia bisa sampai ditempat akhir lomba terlebih dahulu. Benar saja, Kancil berhasil meninggalkan Keong sangat jauh. Sementara itu, sang Keong segera menuju sungai dan menghanyutkan dirinya bersama arus.
Karena sudah merasa cukup jauh meninggalkan Keong, Kancil memperlambat larinya. Tapi betapa kagetnya dia karena ternyata ia melihat Keong sudah berada didepannya.
“Ayo Cil kejar aku.”
Mendengar tantangan Keong, Kancilpun kembali mempercepat larinya dan berhasil menyusul lawannya itu. Keong kedua itupun segera menceburkan dirinya setelah merasa Kancil tidak melihatnya lagi. Kancil yang sudah berada didepan, kemudian memanggil lawannya untuk mengetahui dimana keberadaan dari sang Keong.
“Aku sudah berada didepanmu Cil, mengapa kau begitu lambat?” Sahut Keong untuk menjawab panggilan Kancil.
Kancil semakin terbakar emosinya karena sang Keong ternyata sudah berhasil mendahuluinya. Ia tidak habis pikir mengapa Keong yang lambat itu bisa selalu berada didepannya. Kancil yang marah, sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Ia terus berlari dan berlari. Namun yang dialaminya selalu sama. Keong terus berada didepannya dan memimpin perlombaan.
Sementara itu, Keong pertama sudah berada dicabang sungai dengan diantarkan oleh aliran air. Ia berjalan perlahan untuk mencapai tempat akhir perlombaan yang telah disepakatinya bersama Kancil kemarin. Keong itupun berhenti diatas sebuah batu yang cukup besar dengan tujuan agar Kancil bisa melihatnya begitu ia sampai ditempat tersebut. Tidak lama kemudian, dari kejauhan dilihatnya Kancil berlari cepat dengan nafas terengah-engah karena kelelahan. Hewan cerdik ini terpetanjat kaget ketika melihat Keong ternyata sudah terlebih dahulu sampai di garis akhir perlombaan.
“Kau kalah Cil, ternyata aku lebih cepat darimu.”
“Tidak mungkin, kau pasti mencurangi aku.” Kancil berkata sambil terengah-engah.
“Bagaimana mungkin aku curang kepadamu, lihatlah badanku yang penuh keringat ini karena terus berlari untuk mendahuluimu.” Keong menunjukkan sekujur tubuhnya yang basah karena baru saja keluar dari sungai.
“Makanya Cil, kita itu tidak usah sombong. Semua hewan dihutan ini tahu bahwa kau bisa berlari dengan cepat, dan aku adalah hewan yang lambat. Tapi karena kesombonganmu itulah kau bisa aku kalahkan.” Keong menasehati.
Kancil sangat terpukul dengan kenyataan yang dihadapinya. Ia sama sekali tidak mendengarkan nasehat dari Keong dan memilih kembali berlari secepatnya karena malu dengan kekalahannya kali ini.




















KISAH SEMUT DAN MERPATI

Siang itu langit kembali mendung. Awan hitam terlihat tebal menyelimuti langit yang semula cerah. Seolah tidak peduli dengan keadaan alam yang tengah terjadi, Kancil terus berjalan sambil menundukkan muka karena malu dengan kekalahan yang diterminanya ketika berlomba lari dengan Keong tempo hari. Ia tak pernah berhenti memikirkan bagaimana cara Keong untuk mengalahkannya.
“Aku telah berhasil mengalahkan hewan buas dan lebih kuat dariku, tapi aku dikalahkan oleh Keong ini sungguh memalukan.”
Terus berpikir dengan kekalahannya tempo hari, tanpa sadar Kancil telah keluar dari hutan. Sekarang ini ia berada di pinggiran sebuah telaga cukup besar yang sebenarnya terletak tidak begitu jauh dari ladang milik Pak Tani. Ditempat itulah Kancil memilih berhenti untuk beristirahat karena hujan rintik-rintik juga sudah mulai turun.
Bersandar pada sebuah batu besar dipinggir telaga, ia merebahkan badan sambil merenungi apa yang sudah menimpa dirinya. Semua dialaminya dalam beberapa waktu belakangan tergambar jelas dalam ingatanya. Namun yang paling mengganjal tentulah kekalahannya dari Keong. Ditempat itu pula Kancil teringat akan nasehat terakhir Keong yang diberikan kepadanya.
Kemenangan yang diraihnya dari Kera, Harimau dan Buaya memang telah menjadikannya lupa diri dan merasa bahwa dialah yang paling hebat hingga menyepelekan Keong yang kemudian berhasil mengalahkannya dalam perlombaan lari tempo hari.
“Apa yang telah dikatakan Keong padaku memang benar adanya. Aku terlalu sombong hingga lupa diri.”
Kancil terus merenungi semua yang sudah menimpanya. Ia merasa sangat bersalah atas kesombongannya terhadap Keong. Ingin ia meminta maaf karena telah menghina dan menyiksanya. Selain kepada Keong, Kancil juga merasa bersalah kepada Kera, Harimau, dan Buaya karena telah menipunya.
“Jangan-jangan Harimau itu mati karena lidahnya terjepit bambu. Jika dia mati siapa yang memimpin hutan ini?” Pikir Kancil.
Rasa bersalah dan lamunan Kancil tiba-tiba berhenti ketika Merpati hulubalang raja tiba-tiba hinggap diatas batu tempatnya bersandar. Kancil merasa ketakutan setengah mati melihat sang Merpati. Pasti Merpati ini ditugaskan oleh sang raja untuk mencarinya, demikian pikir Kancil.
“Kebetulan sekali aku bertemu engkau disini Cil.”
“Engkau mencariku? Ada apa gerangan?”
“Aku mencari semua warga hutan untuk menyampaikan undangan dari sang raja. Beliau meminta semuanya berkumpul.”
“Sang raja kembali mengumpulkan semua warganya?”
“Iya Cil, paduka raja ingin mengumumkan bahwa kekuasaan hutan ini telah kembali kepadanya setelah kematian sang Gajah beberapa waktu lalu.”
Kancil terperangah mendengar berita tentang kematian Gajah yang gagah perkasa.
“Gajah telah meninggal? Bagaiamana bisa? Apakah ia mati ditangan para pemburu?”
“Bukan, sang Gajah mati karena ribuan Semut telah mengeroyoknya.”
Kancil seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa Semut membunuh Gajah? Merpati yang melihat ketidakpercayaan Kancil kemudian menceritakan kejadian bagaimana kesombongan Gajah setelah memegang tampuk kekuasaan dan bertindak semaunya. Karena kecongkakan Gajah itulah ia kemudian bertindak lalai dan menindas para Semut yang dikiranya hewan kecil dan lemah. Tapi ternyat ia salah, karena pada akhirnya seluruh semut bersatu dan berhasil mengalahkan Gajah secara bersama-sama.
“Maka dari itu Cil, jangan mentang-mentang kita kuat maka kita berbuat lalai kepada yang lemah.” Nasehat Merpati pada Kancil.
“Benar sekali apa yang kau katakan. Pada akhirnya kesombongan akan mencelakakan diri kita. Tapi mengapa engkau bisa sampai kesini? Bukankah ini sudah tidak termasuk wilayah hutan?”
“Setiap aku mendapat dari sang raja untuk memanggil warganya, aku selalu mampir kesini. Disini merupakan tempat yagn sangat bersejarah bagiku Cil.”
“Kenapa?”
“Dulu aku pernah hampir saja tewas ditangan seorang pemburu disini kalau saja tidak ada Semut yang menolongku.”
Merpati menatap kosong ketengah telaga. Ia teringat akan pengalaman yang beberapa waktu lalu menimpanya ditempat yang sama.
“Waktu itu, hujan juga turun seperti ini Cil.” Merpati mengawali ceritanya.
Karena hujan yang mulai turun, Merpati memutuskan berhenti untuk mencari tempat perlindungan. Dipilihnya sebatang pohon berdaun lebat yang kiranya dapat dijadikan tempat berteduh. Hujan gerimis turun semakin besar, tatkala Merpati mendengar sayup-sayup teriakan meminta tolong. Ia berusaha mencari siapa yang berteriak membutuhkan pertolongan itu. Tapi matanya yang memang tidak setajam Elang, tidak bisa menemukan siapa yang berteriak itu.
“Tolong, aku tidak bisa berenang.”
Teriakan itu kembali terdengar oleh Merpati. Karena rasa kasihan dan penasaran, ia kemudian turun dari dahan pohon menuju sebuah batu yang berada dipinggiran telaga. Disitu ia memasang telinga dan matanya baik-baik.
“Tolong, aku mohon, aku tidak bisa berenang.”
Sekali lagi teriakan itu terdengar. Ternyata suara itu berasal dari tengah telaga jernih didepannya. Sang Merpati kemudian terbang ketengah telaga untuk melihat siapa yang sedang membutuhkan pertolongan. Ditengah telaga, terlihat olehnya seekor Semut yang sedang terombang-ambing berusaha untuk menepi. Namun karena ia tidak bisa berenang arus air membawanya kembali ketengah telaga.
“Merpati tolong aku, kumohon.” Pinta Semut yang sedang kesusahan tersebut.
“Tunggu disini teman, aku akan segera kembali untuk membantu menolongmu.”
Merpati langsung terbang kearah pohon tempatnya semula berteduh. Dengan paruhnya ia memtuk sebuah daun yang sudah hampir kering yang kemudian dibawanya terbang kembali ketengah telaga. Merpati terbang dengan rendah agar dapat melihat secara jelas keberadaan Semut malang itu. Tepat berada diatas si Semut, Merpati melepaskan daun yang ada diparuhnya.
“Berusahalah untuk naik kedaun itu, angin akan membawamu kepinggir telaga.” Merpati mengarahkan.
Semut dengan sekuat tenaga berusaha berenang untuk menggapai daun yang tidak jauh darinya. Akhirnya dengan usaha yang pantang menyerah, Semut berhasil menggapai daun yang akan menjadi perahunya. Angin yang tidak begitu kencang membawa daun kepinggir telaga. Merpati yang sedari tadi mengawasi, terbang mendekati daun yang mengangkut sang Semut.
“Ayo cepat naik kesini.” Perintah Merpati pada Semut ketika melihatnya sudah benar-benar merapat ditepi telaga.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Semut merayap untuk mendaki tebing telaga yang agak licin karena gerimis. Namun keinginan untuk terus bertahan hidup mebuat semangat dan tenaganya kembali pulih. Dan dengan waktu yang tidak begitu lama, sampailah Semut ketempat yang benar-benar aman.
“Terimakasih sekali Merpati. Kau telah menyelamatkan aku. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas semua ini.”
“Kau tak perlu berterimakasih teman, siapaun pasti akan melakukan hal yang sama seperti apa yang telah aku lakukan. Bagaimana engkau bisa jatuh dan hampir tenggelam ketelaga?”
“Tapi kalau kau tidak ada, aku tidak akan mungkin dapat selamat dan kembali kepada keluargaku. Aku kurang hati-hati ketika berjalan kepinggir telaga, maka dari itu aku terperosok dan jatuh kedalamnya.”
Gerimis turun semakin besar hingga mengakibatkan bulu-bulu sang Merpati mulai nampak basah.
“Maafkan aku teman, aku harus kembali berteduh. Kalau seluruh badanku basah, akan sulit bagiku untuk bisa kembali terbang.”
“Baiklah teman, sekali lagi aku mengucapkan terimakasihku padamu. Aku juga harus segera pulang karena keluargaku pasti telah cemas menunggu kepulanganku. Sampai jumpa lagi teman.”
Kedua sahabat baru itu kemudian berpisah, Merpati kembali ketempatnya berteduh semula dan Semut berjalan menyusuri telaga untuk pulang kesarangnya. Semut kini berjalan dengan lebih hati-hati supaya ia tidak terpeleset dan jatuh kedalam telaga lagi. Dalam perjalanan pulang kesarangnya itulah, sang Semut melihat ada seorang pemburu yang tengah mengarahkan senapannya kearah Merpati yang tengah berlindung di dahan pohon.
Menyadari bahaya yang mengancam Merpati penolongnya itu, ia berlari agar bisa segera sampai sedekat mungkin dengan sang pemburu yang bersiap-siap melepaskan tembakan. Pemburu telah mengarahkan senapannya tepat kebadan Merpati dan jari telunjuknyapun sudah menyentuh pelatuk senapan. Tidak membuang waktu, Semut langsung menggigit kuat-kuat kaki pemburu jahat itu. Karena kaget, pemburu menarik pelatuk senapan yang semula sudah tepat mengarah ketubuh Merpati menjadi melenceng jauh.
Suara keras yang ditimbulkan oleh letupan senapan membuat sang Merpati sadar bahwa bahaya telah mengancam. Namun karena kepanikan yang melanda, ia justru malah terbang kearah sang pemburu yang terus menggerutu dan menggaruk-garuk kakinya karena gigitian dari sang Semut.
“Dasar Semut kurang ajar. Dimana kamu? Awas kalau nanti ketemu.” Gerutu sang pemburu.
Rupanya ucapan pemburu ini didengar oleh Merpati yang terbang diatasnya. Sang merpati kini tahu bahwa bidikan senapan dari pemburu itu meleset karena Semut telah menggigit kakinya. Dalam hati, Merpati mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya pada Semut yang sudah menolongnya itu.
Pemburu yang kecewa karena tidak mendapatkan buruannya kemudian pergi meninggalkan telaga untuk pulang kerumahnya. Merpati yang terus terbang tinggi berputar-putar lalu turun ketika melihat pemburu yang mengincarnya telah jauh meninggalkan tempat itu.
“Semut, dimana kamu?”
“Aku disini Merpati.”
Semut kecil itu kemudian berjalan keluar dari balik daun-daun kering yang berserakan disekitan tempat itu ketika mendengar merpati memanggilnya.
“Kau telah menyelamatkan nyawaku Semut. Sepertinya tidak ada yang pantas untuk menggantikan jasamu padaku ini.”
“Tidak Merpati. Engkau juga telah menyelamatkan aku yang hampir saja tenggelam di telaga. Kalau tidak ada engkau akupun tidak akan bertemu pemburu yang hendak menembakmu itu karena aku sudah tenggelam terlebih dahulu.”
“Semut, biar bagaimanapun kau telah menyelamatkan aku. Aku tetap ingin mengucapkan terimaksihku yang sebesar-besarnya padamu.
“Sama-sama Merpati, engkau juga telah menolongku.”
“Akhirnya kami berdua berpisah ditempat ini, Cil.” Kata Merpati mengahiri ceritanya.
“Sungguh mengharukan ceriamu Merpati. Dan sungguh mulia hati kalian serta betapa indahnya hidup saling tolong-menolong satu dengan lainnya.”
“Benar Cil. Maka dari itu, aku selalu menyempatkan waktuku untuk mengunjungi tempat ini untuk mengenang kembali kebaikan dari Semut yang menyelematkan aku dari pemburu itu.”
Hari sudah menjelang senja dan hujan rintik-rintik sudah mulai reda.
“Sepertinya aku harus kembali kehutan guna melaporkan hasil kerjaku kepada sang raja Cil. Aku tak mau kemalaman dijalan dan sepertinya gerimis sudah mulai reda hingga aku tak perlu takut untuk terbang.”
“Silahkan saja kalau kau ingin melanjutkan perjalananmu kembali Merpati. Aku juga akan mencari tempat menginap malam ini.”
“Baiklah kalau begitu, tapi aku harap kau mau datang ketempat pertemuan yang diadakan oleh sang raja.”
“Aku pasti datang Merpati. Banyak hal yang ingin aku sampaikan kepada sang raja disana.”
“Aku permisi dulu Cil.”
“Hati-hati Merpati, sampai jumpa lagi di istana sang raja.”
Merpati kemudian terbang dan Kancil sendiri juga meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat menginap yang bisa melindunginya dari dinginnya malam dan hujan kalau seandainya saja kembali turun malam ini.



KERBAU LUGU DAN BUAYA SERAKAH

Musim penghujan benar-benar telah datang. Sudah beberapa hari terakhir hujan terus menerus mengguyur tanpa pernah berhenti. Hampir semua hewan-hewan penghuni hutan menjadi susah karena keadaan tersebut. Burung-burung tidak berani keluar dari sarangnya untuk terbang mencari makan. Kawanan Kera yang biasanya bergelantungan dan berlompatan dari satu dahan pohon kepohon lainnya lebih memilih untuk berlindung dari dinginnya guyuran air hujan. Demikian halnnya dengan hewan-hewan lainnya yang lebih memilih untuk berdiam diri ditempat perlindungannya.
Hujan yang terus-menerus juga menyebabkan sungai-sungai disekitar hutan meluap. Air sungai yang semula jernih kini berubah menjadi keruh kecoklatan serta alirannya yang semula tenang, sekarang menjadi deras dan berbahaya. Tidak sedikit penghuni sungai yang bertubuh kecil akhirnya hanyut terbawa air karena tidak mampu berenang mempertahankan diri. Sementara hewan sungai yang bertubah besar dan kuat, lebih memilih untuk berada ditepi sungai dimana arus air tidak begitu deras.
Buaya, sang raja disungai juga lebih memilih untuk berada ditepi guna menghindari arus ditengah sungai yang sangat deras. Buaya besar ini terus mencari tempat yang dirasa aman olehnya. Ia terus berjalan hingga tanpa sadar ia sudah terlalu jauh meninggalkan sungai masuk kekawasan hutan. Cukup lama berjalan, akhirnya Buaya ini berhenti di bawah sebatang pohon tua. Buaya yang merasa lelah karena baru saja berjalan jauh ini kemudian tertidur dengan lelap.
Baru sesaat sang Buaya tertidur, hujan deras tiba-tiba reda digantikan oleh tiupan angin kencang. Pucuk-pucuk pohon yang tinggi bergoyang karena tertiup angin. Daun-daun kering disetipa ranting pohon mulai berguguran karena tidak mampu menahan laju dari udara yang kuat. Semakin lama angin berhembus semakin kuat mulai mematahkan dahan dan cabang-cabang bahkan tidak sedikit dari pohon-pohon yang juga turut roboh. Suara gemuruh yang disebabkan oleh tumbanya pepohonan menghiasi seluruh hutan.
Namun kebisingan yang ditimbulkan tidak cukup untuk membangunkan Buaya yang tengah tertidur dengan pulas. sang Buaya besar ini baru terbangun ketika pohon tua yang menjadi tempat berlindung roboh dan menimpa tubuhnya. Ia sangat kaget karena tiba-tiba merasa ada sebuah beban yang sangat berat berada dipunggungnya. Sekuat tenaga sang Buaya berusaha melepaskan diri dari pohon yang menghimpitnya tapi usahanya tetap sia-sia karena pohon itu terlampau besar dan berat. Buaya yang terjebak ini sekarang hanya mampu berteriak meminta tolong dan berharap ada yang bisa membantunya melepaskan diri.
Tiupan angin topan yang melanda hutan akhirnya berhenti. Matahari juga mulai terlihat sudah condong kebarat menadakan hari telah senja. Burung-burung yang semula hanya berdiam diri disarangnya kini mulai keluar dan berkicau riang. Riuh rendah suara patahnya ranting dan tumbangnya pepohonan berganti dengan nyanyian merdu burung-burung penghuni hutan. Warga hutan yang semula takut, kini mulai berani keluar untuk mencari makan. Dari kejauhan terlihat seekor Kerbau yang berjalan kearah sungai untuk mencari rumput yang biasanya banyak ditemuinya tumbuh disekitar sungai.
Ia berjalan sendirian melalui jalan yang tidak jauh dari tempat Buaya terjepit batang pohon besar.dari temptanya berjalan, Kerbau kekar ini mendengar sayup-sayup suara rintihan minta tolong yang berasal tidak jauh darinya. Suara rintihan itu menuntun sang Kerbau untuk mendekatinya.
“Kerbau, kumohon tolong aku dari jepitan kayu besar ini.” Buaya memohon sambil terus merintih kesakitan karena terjepit kayu.
Sang Kerbau yang melihat Buaya tengah kesakitan dan butuh pertolongan merasa kasihan. Namun keinginannya untuk menolong Buaya malang itu terhenti ketika ketakutannya kalau-kalau Buaya itu akan memakannya setelah berhasil lolos dari himpitan kayu.
“Untuk apa aku menolongmu? Bukankah kau selalu menjadikan teman-temanku sebagai makananmu? Dan jika kau berhasil kutolong tentulah kau akan memakanku juga.”
“Tidak Kerbau, aku bukanlah hewan yang tidak tahu balas budi. Jika kau menolongku aku berjanji tidak akan memakanmu dan juga teman-temanmu.”
Buaya terus merintih kesakitan, rintihan inilah yang menjadikan Kerbau kasihan kepadanya.
“Apakah kau akan menepati janjimu jika aku menolongmu?”
“Benar Kerbau, kau bisa memegang kata-kataku. Aku tidak akan memangsamu dan seluruh kerbau-kerbau lainnya. Tolonglah, aku sangat kesakitan disini.”
“Baiklah Buaya, aku percaya padamu.”
Lalu Kerbau mendekati Buaya dan pohon yang menghimpitnya. Dengan tanduk dan kekuatan besar yang dimilikinya, ia mengangkat batang pohon besar yang menimpa Buaya. Dengan dibantu oleh Kerbau, akhirnya Buaya malang itu terbebas dari jepitan kayu besar yang menindihnya. Tapi persoalan yang dihadapi oleh Buaya tidak berhenti sampai disitu, sekarang punggungnya terasa sangat sakit sehingga ia tidak bisa berjalan kembali kesungai.
“Kerbau, tolonglah aku sekali lagi. Karena terjepit oleh kayu itu, tulang dipunggungku serasa patah dan aku tidak bisa berjalan untuk kembali kesungai.”
“Mengantarkanmu? Bagaimana caranya?”
“Engkau hewan yang sangat kuat Kerbau. Kau mampu mengangkat batang kayu yang besar itu, tentulah bukan sebuah kesulitan bagimu untuk menggendongku sampai kesungai.”
“Kasihan sekali kau Buaya, baiklah aku akan menggendongmu.”
Lalu Kerbau menundukkan badannya supaya Buaya dapat dengan mudah naik keatas punggungnya. Dengan kesakitan dan sisa tenaga yang dipunyai Buaya berusaha naik kepunggung Kerbau yang baik hati itu. Buaya berpegangan erat dipunuk Kerbau agar tidak jatuh begitu sang Kerbau mulai berjalan. Melihat punuk Kerbau yang besar dan penuh daging itu timbullah niat jahat dari Buaya. Ia ingin memakan punuk itu karena sang Buaya sadar, dengan keadaannya sekarang ini ia tidak akan bisa leluasa mencari makan.
“Kerbau kau sangat baik hati telah menolongku dari himpitan kayu dan sekarang kau bersedia mengantarkan aku kesungai. Maukah kau memberikan sesuatu milikmu untuk menolongku sekali lagi?”
“Aku menolongmu karena kau memang sedang membutuhkan pertolongan. Selain itu, kau juga berjanji tidak akan memakan aku dan teman-temanku. Apa lagi yang kau inginkan dariku Buaya?”
“Sekarang aku sangat lapar Kerbau. Bolehkah aku memakan punukmu ini?”
Permintaan dari Buaya kali ini tentu saja langsung ditolak oleh Kerbau, sementara sang Buaya culas ini terus menerus meminta Kerbau untuk memberikan punuknya sebagai makanannya. Pertengkaran hebat anatara merekapun terjadi. Kerbau meminta Buaya untuk turun dari punggungnya atau ia akan menghempaskan Buaya kuat-kuat. Namun sang Buaya tetap tidak mau turun bahkan ia mencengkeran kuat-kuat punuk Kerbau hingga terluka dan berdarah sehingga niat Kerbau untuk menghempaskan Buaya culas itu batal terlaksana.
“Aku hanya menginginkan punukmu, bukan ingin memakanmu.”
“Tapi itu sama saja menyakitiku. Kau sungguh tidak tahu balas budi Buaya. Aku telah menolongmu tapi sekarang kau malah ingin memakan punukku. Sekarang turun dari punggungku” Bentak Kerbau.
“Aku tidak akan turun sebelum engkau mau memberikan punukmu sebagai makananku. Kalau kau tetap tidak mau memberikannya, aku akan memakanmu.”
Pertengkaran antara mereka berduapun terjadi semakin hebat. Kerbau dan Buaya sama-sama tidak mau mengalah dan merasa bahwa merekalah yang paling benar. Kerbau yang kesakitan karena cengkraman kuku Buaya dipunuknya berjalan semakin cepat kearah sungai. Buaya yang takut kalau-kalau Kerbau akan menghempaskannya juga mencengkeram semakin kuat.
Dari kejauhan, Buaya dan Kerbau melihat Kancil yang sedang berjalan kearah mereka. Kancil sendiri kebetulan lewat tempat itu karena hendak mengikuti pertemuan warga hutan yang diadakan sang Harimau. Melihat kedatang hewan cerdik ini, Kerbau mengusulkan pada Buaya untuk meminta pendapat dari Kancil tentang cara penyelesaian dari pertengkaran diantaranya.
“Kancil terkenal sebagai hewan yang cerdik, tentulah ia bisa membantu kita untuk memutuskan mana yang terbaik.”
“Aku setuju dengan apa usulmu Kerbau. Kau memang telah menolongku, tapi tanpa makan aku juga akan mati. Aku telah berjanji untuk tidak memakanmu, maka dari itu aku hanya menginginkan punukmu ini. Kalau begitu mari kita tanyakan masalah ini kepada Kancil.”
Dengan menggendong Buaya, Kerbau mendatangi Kancil dengan maksud ingin mendengar pendapat Kancil tentang penyelesaian masalah yang sedang dihadapinya.
“Berhenti sebentar Cil, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.” Kata Kerbau setelah berada didekat Kancil.
Kancil tentu saja terheran-heran melihat ada seekor Buaya besar dipunggung Kerbau yang memanggilnya itu.
“Ada apa Kerbau? Dan mengapa ada seekor Buaya dipunggungmu?”
“Justru karena itulah aku ingin meminta pendapatmu.”
“Pendapatku?”
Kerbau dan Buaya secara bergantian lantas menjelaskan duduk permasalah yang sedang mereka hadapi. Secara rinci, kedua hewan yang tengah bertengkar itu menceritakan dari awal, bagaimana Buaya bisa berada di gendongan Kerbau sekarang ini. Tidak lupa Kerbau juga mengatakan bahwa sekarang ini Buaya ingin memakan punuknya, dan kalau ia tidak mau memberikan punuk itu maka sang buaya akan memakan seluruh tubuh dari Kerbau.
“Bagaimana menurutmu Cil? Apakah aku harus menyerahkan punukku atau Buaya yang seharusnya turun dari gendonganku?” Tanya Kerbau setelah mengakhiri penjelasannya.
“Memang sulit untuk memutuskan masalah yang sedang kalian hadapi. Disatu sisi, engkau telah menolong Buaya. Tapi disisi lain, Buaya juga membutuh makanan sedangkan sekarang ini ia tengah terluka dan itu akan menyulitkannya untuk mencari makan.”
“Kau adalah hewan yang banyak akal Cil. Dulu kau pernah membohongi aku dan teman-temanku untuk menyebarangi sungai. Dan aku rasa sekarang ini kau tentu punya ide untuk menyelesaikan masalah diantara kami.” Ujar Buaya.
Kancil termenung sesaat memikirkan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah diantara kedua hewan tersebut. Akhirnya ia menemukan ide untuk membantu Kerbau lolos dari cengkeraman Buaya culas tersebut.
“Sepertinya aku tidak bisa menolong. Masalah yang kalian hadapi sangtlah rumit. Ini menyangkut hidup dan mati. Mungkin aku bisa membantu kalian jika saja melihat secara langusung apa yang terjadi diantara kalian.”
“Maksudmu apa Cil?” Tanya Buaya.
“Aku akan membantu menyelesaikan masalah kalian berdua asalkan kalian mau menunjukkan awal kejadiannya padaku.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan membawamu ketempat dimana pohon itu tumbang. Mari ikuti aku Cil.”
Kerbau dengan menggendong Buaya berjalan didepan sementara Kancil mengikutinya dari belakang. Tidak lama kemudian mereka bertiga sampai ditempat pohon tumbang yang menjepit Buaya.
“Sekarang tunjukkan padaku bagaiman keadaan Buaya ketika terjepit batang pohon lalu engkau kemudian datang untuk menolongnya.” Perintah Kancil kepada Kerbau.
Kerbau dan Buaya menuruti saja apa yang diperintahkan oleh Kancil. Kemudian Kerbau meminta Buaya turun dari gendongannya dan menempati posisi dimana ia semula terjepit oleh batang pohon. Setelah Buaya berada diposisinya maka Kerbau kembali mengangkat batang pohon besar tersebut dengan tanduknya untuk menindih tubuh sang Buaya culas itu.
“Sekarang tunjukkan padaku darimana engkau datang dan bagaimana engkau bisa menolong Buaya ini.” Perintah selanjutnya dari Kancil kepada Kerbau.
Tanpa menolak sedikitpun, Kerbau lantas menunjukan jalan yang semula dilaluinya untuk mencari makan hingga akhirnya melihat Buaya yang sedang kesakitan karena terjepit kayu besar.
“Sekarang aku benar-benar sudah paham dengan kejadian yang menimpa kalian berdua.”
“Kau bisa membantu kami untuk menyelesaikannya Cil? Bagaimana? Kerbau, ayo segera bebaskan aku lagi” Buaya berkata dengan kesakitan karena kembali terjepit batang pohon.
Kerbau berjalan hendak mengangkat batang pohon yang menimpa Buaya, namun Kancil menghentikan niatnya.
“Untuk apa kau kembali menolongnya? Buaya itu pasti akan memakan punukmu kalau kali ini kau membebaskannya kembali. Sudah, lebih baik kita tinggalkan saja dia dan biarkan Buaya tetap seperti itu sampai ada yang mau menolongnya.
“Kurang ajar kau Cil, kau membohongi aku lagi.” Teriak Buaya marah.
“Kali ini aku tidak berbohong padamu, itu adalah hukuman setimpal yang harus kau terima karena tidak tahu balas budi. Kerbau, ayo kita pergi sekarang. Hari sudah hampir malam.”
“Terimakasih Cil, kau telah menolongku.”
Si Kancil dan Kerbau lalu pergi meninggalkan Buaya yang terus berteriak marah karena merasa telah kembali ditipu. Tapi kemarahan Buaya ini tidak bisa berbuat banyak untuk menolongnya yang harus kembali terjepit oleh sebatang pohon besar. Sementara itu si Kancil dan Kerbau telah hilang dari pandangan matanya.


























SALING BERMAAFAN UNTUK KEBERSAMAAN

Si Kancil dan Kerbau berjalan bersama melintasi lebatnya hutan guna mencari tempat peristirahatan malam ini. Berhubung musim penghujan telah benar-benar datang, mereka harus menemukan tempat menginap yang juga sekaligus bisa melindungi mereka kalau-kalau hujan turun. Tidak jauh didepan mereka, akhirnya terlihatlah sebuah gua kecil yang kiranya cukup untuk ditempati bersama.
“Bagaimana dengan luka dipunukmu teman?” Kancil bertanya pada Kerbau setelah mereka berdua memasuki gua tersebut.
“Sudah tidak begitu sakit Cil. Kau lihat sendiri bukan? Darahnya juga sudah mulai mengering.”
Si Kancil memandangi punuk sang Kerbau dimana terdapat luka bekas cengkeraman kuku-kuku Buaya yang memang nampak telah mengering.
“Lebih baik malam ini kita menginap disini saja Cil, besok barulah kita melanjutkan perjalanan menuju pertemuan hutan.”
“Iya, walaupun gua ini kecil tapi cukup untuk melindungi kita dari dinginnya hujan. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu sang raja.”
“Memangnya ada hal penting yang ingin kau sampaikan pada paduka hingga kau cepat-cepat ingin bertemu dengannya.”
“Aku telah melakukan kesalahan pada sang raja dan warga hutan lainnya. Aku ingin meminta maaf sekaligus memohon ampunan. Aku yakin disana akan berkumpul semua hewan yang telah aku sakiti.”
“Memangnya kau ini telah melakukan apa Cil? Apakah kesalahan yang kau lakukan sedemikian besar?”
Kancil menceritakan semua yang telah dilakukannya kepada Anjing milik pak tani, Kera, Harimau dan juga Keong kepada Kerbau. Pengalaman yang dialaminya dengan Keong benar-benar telah merubah hatinya. Tak lupa Kancil juga mencerikatan pertemuannya dengan Merpati yang semakin menguatkan niatnya untuk meminta maaf dan merubah sikapnya.
“Pantas saja Buaya tadi mengatakan pernah kau tipu Cil. Ternyata kau memang pernah bertemu dengan dia sebelumnya.” Ucap Kerbau setelah Kancil selesai menceritakan pertualangannya.
“Biasanya Keong dan Kera memang hadir dalam pertemuan hutan. Tapi aku belum pernah melihat Anjing yang engkau ceritakan itu menghadiri pertemuan Cil.”
“Engkau benar Kerbau. Aku mungkin tidak akan menjumpai Anjing tersebut. Tapi tidak apa, aku akan meminta maaf pada semua yang hadir dipertemuan dimana dia pernah aku sakiti.”
“Senarnya engkau tidaklah menyakiti mereka sepenuhnya Cil. Engkau hanya membela diri.”
“Aku memang hanya membela diri, tapi apa yang aku lakukan, bisa saja membunuh mereka.”
Kedua sahabat baru itu terus bercakap-cakap dan bertukar pikiran sampai larut malam. Mereka nampak akrab layaknya teman lama yang sudah lama tidak saling bertemu. Perbincangan antara mereka berdua berhenti ketika suara Burung Hantu terdengar menghiasi malam.
“Rupanya hari sudah benar-benar malam Cil, lebih baik kita tidur karena perjalanan kita masih panjang.”
Kancil dan Kerbau kemudian sama-sama menyandarkan badan mereka didinding gua untuk beristirahat ditemani suara Jangkrik dan Burung Hantu.
Kokok Ayam jantan memecah keheningan hutan manadakan pagi telah datang walaupun matahari sendiri belum terlihata karen tertutup oleh mendung tebal. Kancil dan Kerbaupun segera tebangun walaupun mereka berdua masih nampak lesu dan bermalas-malasan. Namun mereka berdua segera bergegas ketika mengingat bahwa pertemun warga hutan akan diadakan keesokkan hari.
“Kerbau, kita harus cepat menuju kekediaman Harimau, lebih baik kita sampai disana sebelum senja dan beristirahat serta menginap disana.”
“Iya Cil, kalau begitu mari kita berangkat sekarang saja. Dijalan kita pasti akan menemui banyak makanan serta tidak akan kesulitan mencari sumber air.”
Kancil dan Kerbau melanjutkan perjalanan mereka menuju kediaman Harimau untuk menghadiri pertemuan seluruh warga hutan. Sebenarnya hari telah siang ketika mereka memutudkan untuk beristirahat dipinggir sungai, namun karena langit tertutup oleh mendung maka matahari sama sekali tidak tampak hingga hutan telihat remang. Mereka berdua melepaskan melepaskan dahaga pada air sungai yang mengalir deras. Kerbau yang sepertinya sudah merasa lapar langsung memakan rumput ilalang yang banyak dijumpainya hampir disepanjang aliran sungai. Sementara si Kancil lebih memilih untuk menyandarkan diri pada batu besar dipinggir sungai.
“Apakah perjalanan menuju kediaman Harimau masih jauh Kerbau?”
“Tidak Cil, kediaman paduka berada didedat muara sungai ini. Sebentar lagi kita akan sampai disana.” Kerbau menjelaskan.
“Kalau begitu kita istirahat saja dulu disini.”
“Aku rasa juga begitu Cil. Kalau kita sampai disana terlalu cepat, kita akan kesepian karena hewan-hewan yang lain belum ada yang tiba di kediaman paduka raja.”
Semilir angin dan suasana mendung di hutan membuat mata si Kancil mengantuk. Namun kantuknya itu tiba-tiba hilang ketika melihat sebuah benda bulat hitam yang berjalan pelan diantara rerumputan dipinggir sungai. Itu Keong, aku harus menemuinya, teriak si Kancil dalam hatinya.
“Keong tunggu!”
Kancil bergegas menghampiri Keong yang sempat kaget karena teriakan Kancil memanggilnya.
“Kamu Cil, ada apa memanggilku?”
“Tidak apa-apa Keong. Kamu hendak kemana? Sepertinya tergesa-gesa sekali. Apakah kau juga ingin memenuhi undangan dari sang Harimau untuk berkumpul dikedianmannya?”
“Iya Cil. Maka dari itu aku seharian ini mengikuti arus air agar bisa sampai disana tepat waktunya. Kau sendiri hendak kemana?”
“Aku juga akan datang kepertemuan itu. Keong, aku menghentikan perjalananmu kali ini sebenarnya ingin meminta maaf atas perlakuanku padamu beberapa waktu yang lalu. Aku sungguh menyesal telah menyepelakan dan menendangmu kesana kemari. Aku mohon maafkan aku Keong.” Pinta Kancil sepenuh hati.
Permintaan si Kancil kali ini tentu saja membuat Keong terperanjat kaget. Ia sama sekali tidak menyangka kalau si Kancil akan berkata seperti itu. Keong menatap dalam-dalam mata si Kancil dan ia melihat ada ketulusan dalam permintaan maafnya.
“Sudahlah Cil, lupakan saja apa yang sudah terjadi diantara kita. Itu hanyalah masa lalu dan kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa itu. Aku juga berterimakasih padamu. Karena kejadian itu kami semua para Keong bisa bersatu.”
“Kau memaafkan aku Keong? Terimakasih sekali. Kejadian waktu itu mempersatukan kalian? Apa maksudmu?”
Keong lantas menceritakan kejadian sebenarnya bagaimana ia bisa memenangkan lomba adu cepat dengan si Kancil.
“Karena itulah aku meminta pertandingan antara kita diadakan dipinggir sungai Cil. Hal itu bertujuan untuk memudahkan kami agar bisa mencapai garis akhir perlombaan dengan cepat.” Kata Keong menutup ceritanya.
Kancil menghela nafas panjang kemudian tersenyum setelah mengetahui bagaimana Keong mengalahkannya.
“Kenapa Cil?”
“Tidak apa-apa Keong. Dari cerita yang baru saja kudengar darimu itu membuatku semakin sadar kalau aku tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Aku membutuhkan teman-teman yang saling mendukung agar bisa menjadi pemenang, walaupun hidup ini bukan untuk saling mengalahkan.”
Keong semakin kaget melihat perubahan yang terjadi pada diri si Kancil. Terakhir bertemu dengannya si Kancil masih mempunyai perangai sombong dan bertindak semuanya. Ternyata ia sekarang telah menjadi hewan yang baik dan rendah hati.
“Aku juga berterimakasih padamu Keong, karena kalau saja aku tidak kalah dalam pertandingan itu, tentu sekarang akan menjadi semakin lupa diri dan hukuman atas kesombonganku itu pastilah akan semakin besar.”
“Kau benar sekali Cil. Tidak ada gunanya kita menyombongkan diri, karena diatas langit pasti masih ada langit yang lebih tinggi lagi.”
“Cil, ayo kita melanjutkan perjalanan.” Tiba-tiba suara Kerbau memanggil.
“Kau bersama Kerbau Cil?” Tanya Keong.
“Iya Keong. Kerbau, tunggu sebentar.”
“Cepatlah, sepertinya hujan akan segera turun.” Suara Kerabu kembali terdengar.
“Keong bagaimana kalau kau ikut bersama kami menuju kediaman Harimau.” Kancil menawarkan.
“Tidak perlu Cil, lebih baik aku menempuh perjalananku melalui sungai saja. Disamping itu lebih cepat juga tidak merepotkan kamu dan Kerbau.”
Si Kancil tentulah sudah sangat tahu kalau Keong adalah hewan yang tidak mau merepotkan siapapun tidak berani memaksa untuk ikut bersamanya menuju kediaman Harimau.
“Kalau begitu semoga kita bisa bertemu lagi secepatnya dikediaman sang raja.” Kancil mengucapkan kata perpisahannya pada Keong.
“Iya Cil, sampai jumpa lagi.”
Si Kancil bergegas menyusul Kerbau yang sudah menantinya, sementara Keong turun kembali kesungai.
Kerbau dan si Kancil setengah berlari ketika merasakan gerimis mulai turun. Mereka berdua tidak mau perjalanannya terhambat karena hujan yang mungkin turun semakin deras. Akhirnya sebelum hari menjadi gelap tibalah mereka di gerbang kediaman sang raja. Disana sudah menunggu Merpati dan Kera yang merupakan pembantu terdekat raja. Kera yang melihat kedatangan si Kancil tersenyum sinis mengingat apa yang telah dilakukan oleh Kancil kepadanya beberapa waktu lalu. Namun ia tidak berani bertingkah macam-macam dikediaman Harimau karena takut ia akan terkena hukuman nantinya. Ia langsung memasang muka manis untuk menyambut kedatangan dua tamu rajanya itu.
“Silahkan masuk, beberapa hewan lain juga telah ada didalam.” Ucap Kera kepada kedua tamunya yang baru datang itu.
“Terimaksaih Kera. Ayo Cil kita masuk.” Ajak Kerbau.
“Kau masuk lebih dahulu saja Kerbau. Aku masih menunggu seorang teman.”
“Aku tunggu kamu didalam Cil.”
Kerbau kemudian masuk meninggalkan si Kancil dipintu gerbang kediaman Harimau bersama Kera dan Merpati.
“Merpati, apakah Keong sudah sampai disini.” Tanya si Kancil untuk berbasa-basi.
“Belum Cil. Ada apa?”
“Tidak apa-apa, tadi aku sempat bertemu dengannya.”
“Apa kabarmu tuan Kera?” si Kancil memberanikan dirinya untuk bertanya pada Kera walaupun tadi ia sempat melihat bagaimana ekspresi wajah Kera ketika melihat kedatanganya bersama Kerbau.
“Baik, kau?” Kera menjawab ketus.
“Saya baik juga tuan.”
Si Kancil terlihat bingung bagaimana ia harus mengucapkan permintaan maafnya pada Kera. Melihat dari cara Kera memandang dan menjawab pertanyaannya, “sepertinya ia tidak akan memaafkan perbuatanku tempo hari.” Guman si Kancil. “Tapi aku harus mencoba untuk meminta maaf kepadanya.”
Kancil berjalan agar lebih dekat dengan Kera. Ia berdiri tepat berada disamping hewan yang pandai memanjat itu.
“Tuan, saya kesini disamping untuk menghadiri undangan dari sang raja juga untuk menyampaikan permintaan maaf saya kepada semua yang telah saya sakiti termasuk anda. Saya mohon maaf sebesar-besarnya dan sudilah kiranya anda memaafkan.”
“Tidak semudah itu Cil. Lihatlah hasil perbuatanmu, luka diwajahku belumlah hilang karena sengatan tawon.”
“Saya mengerti kalau tuan masih menyimpan rasa marah kepada saya, tapi saya benar-benar tulus ingin meminta maaf dan juga berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Saya mohon maafkan saya tuan. Dan masalah sengatan Tawon diwajah tuan, saya rasa itu dikarenakan keserakahan anda sendiri.”
“Apa katamu Cil?” Kera membentak.
Suara keras Kera dalam membentak si Kancil rupanya terdengar oleh Merpati.
“Ada apa dengan kalian berdua?”
Kera dan si Kancil menjawab bersamaan.
“Tidak ada apa-apa.”
“Ya sudah, jangan bertengkar disini atau aku laporkan kepada paduka.”
“Tidak merpati, kami tidak bertengkar. Hanya saja karena sudah lama tidak saling bertemu kami tidak mampu menahan kerinduan untuk saling bertukar cerita.” Kancil memberi penjelasan.
“Apa maksudmu dengan keserakahanku Cil?” Kembali bertanya hanya saja kali ini dengan suara yang lebih rendah.
“Cobalah tuan ingat-ingat kembali, bukankah karena keinginan tuan untuk menguasai hutan ini dengan jalan menabuh kenong wasiat dewa itu hingga tuan bisa saya bohongi? Dan kalau saja tuan bisa berbuat adil kepada saya ketika menyantap buah pisang itu tentulah hubungan antara kita akan baik-baik saja.”
“Berani sekali kau mengatakan aku serakah Cil. Kalau tidak karena bujuk rayumu aku juga tidak mungkin punya pikiran sampai kesitu.”
“Karena itulah saya meminta maaf tuan. Kita berdua sebenarnya sama-sama salah. Tuan telah bertindak aniaya dan saya juga pendendam waktu itu. Jadi saya mohon maafkanlah saya.”
Kera tetap saja sinis mendengar penjelasan dan permintaan maaf dari si Kancil. Sakit hatinya terhadap si Kancil ternyat tidak bisa serta merta hilang dengan permintaan maaf si Kancil. Namun karena ketakutannya kalau Kancil mengadu kepada sang raja mengenai keinginannya untuk memiliki sendiri kenong wasiat dewa, ia menjadi sedikit melunak.
“Aku akan menunggu keputusan sang raja Cil. Kalau ia bisa memaafkan perbuatanmu yang menipunya waktu itu. Aku juga akan turut memberi maaf.”
“Berarti anda tidak tulus memaafkan saya?” si Kancil mendesak.
“Walaupun aku tidak tulus memaafkanmu, aku juga tidak akan bisa berbuat banyak kalau paduka ternyata memberimu ampunan.”
Si Kancil sedikit kecewa dengan ditolaknya permintaan maaf darinya kepada Kera. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia sadar maaf itu tak bisa dipaksakan.
“Hari sudah hampir malam tuan Kera. Lebih baik saya masuk dan beristirahat.”
Si Kancil langsung masuk kedalam kawasan kediaman Harimau untuk beristirahat tanpa menunggu jawaban Kera untuk mempersilahkannya. Tidak lama setelah Kancil pergi, datanglah Keong yang juga langsung menuju tempat pertemuan.
Waktu pertemuan akhirnya datang juga. Pagi itu semua warga hutan nampak hadir, Harimau sebagai tuan rumah menyambut kedatangan warganya dengan hangat.
“Semua yang hadir disini tentu merasa bingung mengapa aku mengundang kalian. Aku mengadakan pertemuan ini sebenarnya hanya untuk menyampaikan bahwa kekuasaan yang semula keberikan kepada Gajah kini kutarik kembali. Selain itu untuk mempererat persatuan semua warga hutan aku ingin mengadakan pertemuan rutin semacam ini setiap tiga bulan sekali. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya pemburu yang mengancam kehidupan kita semua dan juga semakin semakin sempitnya hutan kita.”
“Benar sekali paduka. Hamba kebetulan tinggal diwilayah hutan yang kebetulan dekat dengan pemukiman manusia. Mereka menangkapi teman-teman hamba untuk dijadikan hewan penarik gerobak maupun pembajak sawah dan setelah kami tua mereka menyembelih kami untuk dimakan.” Terang Kerbau.
“Demikian juga yang menimpa teman-taman hamba. Karena banyaknya pohon yang ditebang untuk dijadikan rumah dan membuka lahan pertanian, semakin hari kami seolah tidak mempunyai tempat lagi untuk membuat sarang.” Burung Hantu menambahkan.
“Pada musim Kemarau yang lalu, manusia juga membakar hutan ilalang tempat kami biasa mencari makan. Oleh karena itu sekarang kami mencari makan ditempat yang jauh.” Kuda turut mengatakan keluhannya.
“Ketika musim hujan datang seperti sekarang ini, sungai-sungai dihutan mudah sekali meluap airnya demikian juga dengan arus airnya yang bertambah deras. Hal itu menyebabkan hamba dan semua teman-teman mudah terbawa kuatnya arus air. tidak sedikit dari teman hamba yang akhirnya mati karena teubuhnya membentur batu ketika berenang.” Kata Keong.
Harimau sangat murung mendengar laporan dari warganya. Sama sekali tidak didengarnya cerita bahagia dari semua yang hadir disitu. Mereka semua mengeluhkan tindakan manusia yang semauanya membakar dan menebang hutan tanpa memperhatikan kehidupan lain.
“Kita tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah perbuatan manusia dalam memburu dan merusak hutan kita. Kita hanya bisa berdo’a semoga saja mereka sadar bahwa semua yang ada didunia tidak bisa hidup sendiri.”
Semua warga hutan diam merenungi nasib dan tempat tinggal mereka. Keheningan suasana itu tiba-tiba pecah karena kedatangan Kutilang yang rupanya terlambat menghadiri pertemuan.
“Maaf saya datang terlambat yang mulia.”
Kutilang mungil yang berada didepannya kali ini tentu saja langsung mengingatkan Harimau bahwa ia pernah memangsa seekor Kutilang karena keinginannya untuk dapat bernyanyi. Ia merasa sangat menyesal karena perbuatannya itu hingga tanpa sadar matanya berkaca-berkaca.
“Kenapa yang mulia nampak begitu sedih setelah kedatangan Kutilang?” Kera memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Kera, kau tentu ingat dalam perjalanan kita beberapa waktu lalu ketika aku memangsa seekor Kutilang karena keinginanku untuk dapat bernyanyi seperti dia. Aku sangat menyesal telah melakukan itu.”
Harimau menatap Kutilang dalam-dalam.
“Kutilang, aku ingin meminta maaf karena perbuatanku yang telah memangsa salah satu temanmu. Dan tolong sampaikan juga permintaan maafku ini kepada keluarganya.”
Semua yang hadir disitu terperanjat dengan apa yang baru saja didengarnya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Harimau yang gagah perkasa sekaligus raja mereka, tidak malu untuk meminta maaf kepada Kutilang kecil yang lemah. Mereka semakin bangga kepada raja mereka karena permintaan maaf itu diucapkannya didepan semua warga hutan. Ia sama sekali tidak takut kehilangan wibawanya sebagai pemimpin dengan meminta maaf kepada Kutilang.
“Baiklah yang mulia, saya akan menyampaikan permintaan maaf baginda kepada keluarga teman hamba sepulangnya hamba dari pertemuan ini. Hamba yakin mereka akan memaafkan baginda dengan setulus hati.”
Kera yang melihat kejadian itu turut tersentuh hatinya. Ia teringat permintaan maaf si Kancil padanya kemarin. Raut wajah menyesal Kera terlihat jelas karena ia tidak langsung memaafkan Kancil. Padahal dalam perseteruannya dengan si Kancil ia juga tidak sepenuhnya benar, bahkan ialah yang mengawali permusuhan itu karena keculasannya.
Si Kancil yang dari tadi berada dibelakang kini maju kedepan untuk menghadap sang raja.
“Hamba datang kesini selain karena ingin memenuhi undangan dari paduka juga disebabkan oleh rasa bersalah hamba kepada yang mulia atas kejadian di hutan bambu. Hamba mohon yang mulia sudi memaafkan hamba karena hampir saja mencelakakan paduka.”
“Tidak apa-apa Cil, sekarang aku sadar bahwa apa yang menimpaku dihutan bambu itu adalah sebuah peringatan sekaligus hukuman setimpal untukku atas apa yang aku lakukan kepada Kutilang sebelumnya. Kejadian yang menimpa Gajah telah menyadarkan mataku bahwa yang kuat tidak selamanya bisa mengalahkan yang lemah. Hanya dengan persatuan kita bisa menang. Dan Semut telah mencontohkannya pada kita semua.”
Permintaan maaf si Kancil yang dikabulkan oleh Harimau tentu saja sangat melegakan hatinya. Perasaan bersalah yang selama ini menghantuinya langsung sirna begitu Harimau memberinya maaf, walaupun masih ada yang mengganjal dihatinya yaitu Kera yang belum bisa memaafkannya. Baru saja si Kancil merasa masih ada yang mengganjal dihatinya, Kera mendekat dan memeluknya erat-erat.
“Maafkan aku Cil, akulah yang seharusnya meminta maaf karena keculasan yang telah kulakukan padamu dipohon pisang waktu itu. Kau telah berbesar hati dengan meminta maaf padaku padahal sebenarnya engkau tidak sepenuhnya bersalah. Sekarang kumohon maafkan aku Cil.”
“Tuan Kera, anda tidak perlu seperti ini. Saya telah memaafkan tuan sebelum saya datang kesini untuk meminta maaf kepada anda. Sekarang saya benar-benar merasa lega karena tidak ada lagi yang mengganjal dihati saya.”
Saling memaafkan antara Gajah dan Semut juga terjadi. Warga hutan terharu dengan apa yang baru saja mereka alami. Sekarang semuanya nampak begitu akrab layaknya teman lama yang tidak pernah bermusuhan ataupun berselisih. Harimau sang raja terlihat sangat bahagia menyaksikan kebahagiaan dan semangat persatuan yang dimiliki oleh semua warganya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar