.Sujud Tilawah
Sujud
tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Artinya
: Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan
menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud,
maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud,
tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh
Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)
Dengan
hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung
bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat
yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi
kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat
tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha :
Artinya
: “Barangsiapa mengamalkan
suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak.
(HR. Muslim)
Kemudian
dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
Artinya
: “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus … .”(Al Bayyinah : 5)
Sedangkan
kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
:
Artinya
: “Jika engkau berlaku
syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)
Definisi
Sujud Tilawah
Secara
bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca
ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.
Disyariatkannya
Sujud Tilawah Dan Hukumnya
Sujud
tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan
kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam
Nawawi.
Di
antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :
1.
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
Artinya
: “Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam pada surat
(idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq).
(HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407,
Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)
2.
Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu ‘anhu bersabda :
Artinya
: “Bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm.” (HR. Bukhari
dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)
Dari
hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud
tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama
berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya
Umar radhiallahu ‘anhu pernah membaca surat
An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun
seraya sujud dan sujudlah para manusia.
Pada
hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat
sajdah tersebut, beliau berkata :
Artinya
: “Wahai manusia,
sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia
mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa.
[ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.”
] (HR. Bukhari)
Perbuatan
Umar radhiallahu ‘anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada
seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat
bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian
adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam
Fiqhus Sunnah.
Syaikh
Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak
ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’,
maupun qiyas … .” (Taudlihul Ahkam, halaman 167)
Pendapat
lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh
Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat
Al Insyiqaq :
Artinya
: “Mengapa mereka tidak mau
beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud.
(Al Insyiqaq : 20-21)
Dengan
adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika
dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka
menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih
(kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di
depan. Wallahu A’lam.
Di
antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari :
Artinya
: “Bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm.
(HR. Bukhari)
Pada
hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Artinya
: “Saya pernah membacakan
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan
adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib
hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang-kadang
bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak
sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca –dalam hal ini Zaid bin
Tsabit– tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.
Hal
ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu ‘anhu tidak
bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau
radhiallahu ‘anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Tempat-Tempat
Disyariatkannya Sujud Tilawah
1.
Pendapat Madzhab Syafi’i
Sujud
tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud
tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang
berpendapat surat
Al Hujurat sampai An Nas).
2.
Pendapat Madzhab Hanafi
Sujud
tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali
hanya satu sujud.
3.
Pendapat Madzhab Hanbali
Sujud
tilawah terdapat pada lima
belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.
Pendapat
pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam tidak sujud pada
surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud,
1403)
Ibnu
Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al
Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah
haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dlaif.” An Nasa’i berkata :
“Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia
syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”
Ibnul
Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya
dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan
haditsnya.”
Padahal
telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau sujud
bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’
bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk
surat-surat mufashal).
Beliau
masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun.
Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam
keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah.
Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi
Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati
keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad,
juz 1 halaman 273)
Pendapat
pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj,
Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada
padanya surat-surat mufashal.”
Abu
Dawud berkata : “Riwayat Abu
Darda dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam tentang sebelas sujud
ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah,
sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”
Pendapat
kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam membacakan kepadanya lima
belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan
dua pada surat
Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)
Hadits
ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud
tilawah ada lima
belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al
Albani berkata : “Kesimpulannya,
hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.
Namun,
meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal
dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua
pada surat Al
Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi
shahabat bersujud ketika membaca surat
ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak
diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.”
(Tamamul Minnah, halaman 270)
Adapun
kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :
1.
Al A’raf ayat 206.
2.
Ar Ra’d ayat 15.
3.
An Nahl ayat 50.
4.
Maryam ayat 58.
5.
Al Isra’ ayat 109.
6.
Al Hajj ayat 18.
7.
Al Hajj ayat 77.
8.
Al Furqan ayat 60.
9.
An Naml ayat 26.
10.
As Sajdah ayat 15.
11.
Shad ayat 24.
12.
An Najm ayat 62.
13.
Fushilat ayat 38.
14.
Al Insyiqaq ayat 21.
15.
Al ‘Alaq ayat 19.
Tata
Cara Sujud Tilawah
Tata
cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits
yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas.
Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah turun dari
kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika
membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian
penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.
Beliau
menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi
dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah
seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah
bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak
kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”
Ketika
mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin
padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh
Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum
Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan
wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena
takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau
gangguan wudlu.
Hal
ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari
golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya,
padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa
sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang
tidak. Wallahu A’lam.”
Jadi,
kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun
yang tidak.
Termasuk
dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai
hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul
Ahkam.
Adapun
yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar
shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan
oleh Abdur Razaq : “Apabila
seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”
Beliau
(Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan
Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya
shahih.”
Adapun
ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh
Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.
Dari
kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud
tilawah :
1.
Tidak diharuskan berwudlu.
2.
Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.
3.
Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para
fuqaha.
Tentang
masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang
berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman
As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau
sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan
mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)
Namun,
untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha,
sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.
4.
Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5.
Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang
membaca sujud dan tidak bila tidak.
6.
Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring)
seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al
Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus
sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.
7.
Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :
Artinya
: “Wajahku sujud kepada
Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya
upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR.
Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan
disepakati oleh Dzahabi)
Tidak
ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di
atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh
Al Albani.
b. Sujud Syukur
Sujud
syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari
nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini
dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali
Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.
Hukum
Sujud Syukur
Jumhur
ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid
Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di
antara hadits-hadits yang digunakan adalah :
a.
Hadits dari Abi Bakrah :
Artinya
: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau
tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477,
Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan
menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani).
b.
Hadits :
Artinya
: “Bahwasanya Ali
radhiallahu ‘anhu menulis (mengirim surat )
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam mengabarkan tentang
masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian
mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan
atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam
Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)
c.
Hadits Anas bin Malik :
Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud
syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini
terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena
ada syawahidnya.”
d.
Hadits Abdurrahman bin Auf :
Artinya
: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira
seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca
shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi
salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena
rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)
Hadits-hadits
di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai
berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk
menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini.
Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu
‘anhum.
Di
antara atsar-atsar para shahabat adalah :
1.
Sujud Ali radhiallahu ‘anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok
khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari
beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.
2.
Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira
bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim
8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460,
6/378-390.
Menanggapi
atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh
karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya
sujud syukur.
Barangsiapa
menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid’ah, maka janganlah menengok
kepadanya setelah peringatan ini.”
(Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)
Bagaimana
syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?
Imam
Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di
atas : “Tidak ada pada
hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya
pakaian dan tempat.”
Imam
Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid
Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat
sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.
Imam
Yahya mengatakan pula : “Tidak
ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”
Abu
Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul
Authar, juz 3 halaman 106)
Imam
Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci
pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat.
Wallahu A’lam.
Kesimpulan
Dari
keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar
shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud.
Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.
2.
Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.
3.
Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada
waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan
kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga
dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.
4.
Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang
shalat.
5.
Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan
sujud syukur tidak.
6.
Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.
Wallahu
A’lam.
Apa
bacaannya pada saat sujud tilawah atau sujud sahwi?
Jawab:
Adapun
sujud tilawah ada dua hadits yang menjelaskannya, tapi keduanya adalah hadits
dho’if (lemah).
Satu
: Hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ سُجُوْدِ الْقُرْآنِ
بِالْلَيْلِ سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعُهُ وَبََصَرُهُ بِحَوْلِهِ
وَقُوَّتِهِ
“Adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa
salam beliau membaca dari sujud Al-Qur’an (sujud tilawah-pent.) pada malam hari
: “Telah sujud wajahku kepada Yang Menciptakanku, maka beratlah pendengaran dan
penglihatan karena kemampuan dan kekuatan-Nya”. Dan dalam riwayat Hakim ada
tambahan : “Maka Maha Berkah Allah sebaik-baik pencipta”. Dan dalam riwayat
Ibnu Khuzaimah : “Beliau mengucapkannya tiga kali“.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahaway dalam Musnadnya 3/965 no.1679, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushonnaf 1/380 no.4372, Ahmad dalam Musnadnya 6/30, Tirmidzy
2/474 no.580 dan 5/456 no.3425, An-Nasai 2/222 no.1129 dan Al-Kubro 1/239
no.714, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashhabul Hadits no.82, 83, Ibnu Khuzaimah
1/382, Hakim 1/341-342, Ad-Daraquthny 1/406, Al-Baihaqy 2/325, Abu Syaikh
Al-Ashbahany dalam Ath-Thobaqat 3/513 dan Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 4/9
no.4376.
Semua
meriwayatkan hadits ini dari jalan Khalid bin Mihran Al-Hadzdza` dari
Abul’Aliyah dari’Aisyah.
Cacat
yang menyebabkan hadits ini lemah adalah Khalid bin Mihran tidak mendengar dari
Abul’Aliyah. Berkata Imam Ahmad :
“Khalid tidak mendengar dari Abul’Aliyah“. Baca : Tahdzib
At-Tahdzib dan Jami’ At-Tahshil karya Al- ˜Ala`i.
Dan
Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya menegaskan bahwa sebenarnya antara Khalid dan
Abul’Aliyah ada perantara yaitu seorang rowi mubham (seorang lelaki yang tidak
disebut namanya-pen.).
Saya
berkata : Apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ini memang
benar karena Khalid bin Mihran dari seluruh referensi yang disebutkan di atas
ia meriwayatkan dari Abul’Aliyah dengan lafadz’An (dari) sehingga riwayat
Khalid ini dianggap terputus dari Abul’Aliyah apabila telah terbukti ada
riwayat lain menyebutkan ada perantara antara Khalid dengan Abul’Aliyah.
Dan
ternyata ada riwayat dari jalan’Isma’il bin’Ulayyah dari Khalid bin Mihran dari
seorang lelaki dari Abul’Aliyah dari’Aisyah -radhiyallahu’anha-.
Riwayat’Isma’il
bin’Ulayyah ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 6/217, Abu Daud 2/60
no.1414, Ibnu Khuzaimah 1/283 dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 1/325 dan As-Sughro
1/509.
Maka
bisa disimpulkan bahwa hadits’Aisyah ini adalah hadits yang lemah karena Khalid
tidak mendengar dari Abul’Aliyah dan perantara antara keduanya adalah seorang
rawi mubham. Karena itulah hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady
Al-Wadi’y -rahimahullahu- dalam Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Shihhah hadits
no. 395.
Kedua
: Hadits Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-
قَرَأَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَجَدَةً ثُمَّ سَجَدَ فَسَمِعْتُهُ
وَهُوَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِيْ بِهَا عِنْدَكَ أَجَرًا وَضَعْ عَنِّيْ بِهَا
وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِيْ عِنْدَكَ ذَخَرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّيْ كَمَا تَقَبَّلْتَهَا
مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam
membaca satu ayat dari ayat-ayat sajadah lalu beliau sujud kemudian beliau
membaca doa : “Wahai Allah tulislah untukku dengannya disisiMu sebagai pahala
dan letakkanlah dariku dengannya dosa dan jadikanlah untukku disisiMu sebagai
modal dan terimalah dariku sebagaimana Engkau menerima dari hambaMu (Nabi) Daud“.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Tirmidzy 2/472 no.549 dan 5/455-456 no.3424, Ibnu Majah
1/334 no.1053, Ibnu Khuzaimah 1/282-283 no.572-573, Ibnu Hibban sebagaimana
dalam Al-Ihsan 6/473 no.2568 dan Al-Mawarid no.691, Al-Hakim 1/341, Al-Baihaqy
2/320, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashhabul hadits no.84, Ath-Thobarany
11/104 no.11262, Al-‘Uqoily dalam Ad-Du’afa` 1/242-243, Al-Khalily dalam
Al-Irsyad 1/353-354 dan Al-Mizzy dalam Tahdzib Al-Kamal 6/314.
Semuanya
meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Yazid bin Hunais dari Hasan bin Muhammad
bin’Ubaidillah bin Abi Yazid berkata kepadaku Ibnu Juraij : “Wahai Hasan, kakekmu’Ubaidillah bin
Abi Yazid mengabarkan kepadaku dari Ibnu’Abbas”.
Saya
berkata : Dalam hadits ini ada dua cacat :
1.
Muhammad bin Yazid bin Hunais. Abu Hatim berkomentar tentangnya : “Syaikhun
sholihun (Seorang Syaikh yang sholeh)”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam
Ats-Tsiqot maka rawi seperti ini tidak dipakai berhujjah kalau bersendirian
karena itu Al-Hafidz menyimpulkan dari Taqrib At-Tahdzib : “Maqbul (diterima
haditsnya kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada pendukungnya ia adalah
layyinul hadits (lembek haditsnya)”.
2.
Hasan bin Muhammad bin’Ubaidillah. Adz-Dzahaby berkomentar tentangnya : “Berkata Al-‘Uqoily : “laa
yutaba’u’alaihi (Ia tidak mempunyai pendukung)” dan berkata yang lainnya :
“Padanya (Hasan bin Muhammad) ada Jahalah (tidak dikenal)”. Maka
rawi ini juga tidak dipakai berhujjah kalau bersendirian.. Apalagi Imam
At-Tirmidzy menganggap bahwa hadits ini adalah hadits ghorib. Dan istilah
hadits ghorib menurut Imam At-Tirmidzy adalah hadits lemah. Wallahu A’lam.
Kesimpulan:
Tidak
ada hadits yang shohih tentang doa sujud tilawah maka kalau seseorang membaca
ayat dari ayat-ayat sajadah dalam sholat kemudian ia sujud maka
ia membaca doa seperti yang ia baca dalam sujud sholat.
Ini merupakan pendapat Imam Ahmad sebagaimana dalam Al-Mughny 2/362 dan Masail
Imam Ahmad riwayat Ibnu Hany 1/98.
Adapun
kalau sujud tilawahnya di luar sholat maka tidak ada syariat membaca doa
apapun. Wallahu A’lam.
Adapun
doa sujud sahwi kami tidak mengetahui ada doa yang khusus pada sujud sahwi
tersebut mungkin karena itu Imam Ibnu Qudamah berkata bahwa yang
dibaca dalam sujud sahwi adalah sama dengan apa yang dibaca pada sujud sholat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar